Kamis, 29 Juli 2021

Rahasia di Balik Kematian

Ditulis oleh: Shelma Atira.


Disclaimer: Cerpen ini kuikutkan pada Kompetisi Menulis 2021 yang diadakan Jenius pada laman Co.Create.  Aku membagikan ke blog ini sebagai arsip pribadi.

〰〰


"Hari ini tanggal 24 Juni, seorang wanita tewas bunuh diri dari gedung tempatnya bekerja. Diduga, wanita tersebut stres karena pekerjaannya. Korban telah dievakuasi."

Suara pembicara televisi terdengar memberitakan sesuatu. Samar-samar, dering suara telepon menyusul berisik, seolah meminta untuk segera diangkat. Aku berdecak malas melangkah keluar dari kamar menuju ruang tengah, ke tempat telepon itu berada. Kuangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga.

"Halo?" panggilku menyapa pertama kali.

Segera, suara berat pria paruh baya terdengar menjawab cepat. "Apakah ini dengan kediaman Ibu Lita? Kami hendak memberikan kabar penting."

Aku meneguk ludah. Agak terkejut karena orang asing ini membahas perihal Ibu. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi entah mengapa perasaanku mendadak tidak enak. "Iya, ini dengan Shana, anaknya. Ada apa dengan Ibu saya?"

Suara dari seberang terdiam sejenak, tampak ragu mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia melanjutkan pembicaraannya. "Ini dari kantor polisi. Saya hendak memberitahukan perihal kasus bunuh diri yang dialami Ibu Lita."

Suara seberang segera memberikan banyak penjelasan. Detik setelahnya, suara itu menyusul menanyaiku akan kebenaran dan informasi tambahan untuk laporan. Aku sebagai anaknya dengan gemetar menjawab pertanyaan itu satu-satu. Mengenai apa yang terjadi dengan Ibu belakangan. Apakah Ibu stres sungguhan dengan pekerjaannya. Hingga kemudian suara polisi itu memintaku menyerahkan telepon ke Ayah.

Di saat bersamaan, Ayah datang dengan tergesa. Mungkin beliau sadar akan gelagat atau suara parauku yang menyebut kata 'Ibu' berulang-ulang di sela obrolan. Cekatan, Ayah merenggut telepon itu panik. Aku membiarkan Ayah melanjutkannya. Aku berusaha mengatur napasku, tertegun. Mataku berkaca-kaca. Kutelusupkan jemariku ke sela rambut dan memegangi kepalaku sendiri sedih. Aku terduduk jatuh ke lantai. Kugigit bibir bawahku. Perlahan, setetes dua tetes air mata mengucur dari mataku ketika aku sudah berusaha tegar menahannya. Tangisku akhirnya rebas. Kututup mulutku, masih tak menyangka hal itu terjadi. Televisi melanjutkan berita kasus bunuh diri yang tadi sedikit kudengar.

Ternyata itu ... Ibu?

***

Seminggu sebelum Ibu dikabarkan meninggal hari ini di tempat, Ibu sempat bertengkar dengan Ayah perihal krisis biaya.

"Kamu tuh nggak becus kerja! Kenapa selalu malas-malasan sampai dikeluarin dari perusahaan?" Ibu marah-marah ke Ayah. Aku mengintip dari sela pintu kamar. Ibu terlihat menggulirkan layar di ponselnya, lantas mengatakan sesuatu berkaitan itu. "Lihat, nih! Di catatan pengeluaran aplikasi Jeniusku! Moneytory di sini ngasih tahu aku kalau pengeluaran kita nggak sepadan dengan penghasilan. Lebih besar pasak, daripada tiang! Bentar lagi Shana juga akan kuliah! Kamu mau anak kita nggak ngelanjutin pendidikan?"

Ayah terlihat tak mau kalah. Wajahnya ikut bersungut. "Ngomong apa, sih kamu? Kamu pikir kenapa aku kayak gini? Karena setiap aku punya uang, kamu selalu punya cara buat buang-buang itu! Entah buat apa! Nggak usah sok-sokan bahas uang kuliah Shana!"

Ibu sontak terdiam mendengarnya. Tetapi kemudian Ibu kembali dengan kekukuhannya dan enggan menyerah.
"Oke, kalau gitu aku yang kerja! Soal kamu, terserah. Aku bakal ngurus surat cerai."

Perbincangan terjeda sejenak. Hanya ada suara deru napas masing-masing. Suasana kian mencekam, panas bercampur tegang usai Ibu mengucapkan kata 'cerai'.

Lantas kemudian, suara tamparan terdengar keras.

Ayah menampar Ibu.

"Wanita gila! Sadar! Kamu pikir apa yang bakal terjadi kalau kita cerai? Kamu nggak mikirin Shana?!"

Aku meneguk ludah resah mendengar pertengkaran itu. Untuk pertama kalinya seumur hidup, orang tuaku bertengkar sehebat itu. Aku hanya memeluk diriku di balik pintu kamar. Aku meringsut pelan mengontrol diri untuk tetap baik-baik saja.

Itulah.

Itulah kejadian terakhir yang sempat terekam di memoriku. Aku tidak menceritakan pertengkaran itu ke polisi yang menelepon karena menurutku itu privasi. Di sisi lain aku memang tidak siap untuk cerita karena setiap aku berusaha mengutarakan, suaraku akan terpaku lebih dulu, hatiku bergemuruh dan aku jadi ingin menangis.

Semuanya bertambah kelu hari demi hari. Sehabis ikut menerima telepon itu, Ayah menjadi manusia yang jarang bicara. Sering kudengar Ayah terisak di kamar, lantas dia pura-pura baik-baik saja di depanku padahal mata bengkak dan muka merahnya tak bisa menipuku.

"Ayah baik-baik aja?" Aku bertanya pagi ini sambil membuat sarapan roti dengan selai stroberi. Ayah hanya duduk terdiam menikmati nasi goreng buatannya sendiri sambil sesekali tersenyum padaku, tak bicara apapun.

Aku mengembuskan napas lemah, mengunyah rotiku dengan hening. Lantas, sesuatu terbersit di kepalaku. Pertanyaan yang mengganjal.

"Ayah," panggilku pada Ayah. Dia hanya menoleh, seolah menanti apa yang hendak kubicarakan. "Ayah tahu kalau Ibu nggak bunuh diri, kan?"

Ayah tampak bingung.

"Ayah tahu sendiri kalau Ibu orangnya keras. Dia seperti orang yang cinta untuk hidup, sangat keduniawian. Ngapain dia bunuh diri. Lagipula, dia kan masih punya tanggung jawab Shana. Dia nggak akan tega ninggalin itu semua gitu aja. Karena setahu Shana, orang yang bunuh diri adalah orang yang nggak punya alasan untuk hidup. Tapi Ibu punya, kan?"

Ayah terdiam mendengar pertanyaanku. Mukanya yang ditampakkan bersemangat di depanku mendadak sayu. Sebetulnya aku juga mengerti bahwa Ayah sangat terpukul. Atau bahkan dia juga menyesali pertengkaran yang dia buat dengan Ibu hingga menamparnya.

Ayah tampak berpikir. Lantas menormalkan air mukanya yang suram. Kemudian dengan aura tegasnya, dia memberi balasan. "Shana tahu? Kita nggak pernah tahu isi hati manusia kayak apa. Di balik sifatnya yang seperti itu apakah bisa bertolakan dengan niatnya. Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan. Kita nggak pernah tahu yang sebenarnya. Shana ngerti, kan?"

Kata-kata Ayah panjang, tak seperti sebelumnya dia irit bicara. Aku lega mendengarnya. Tetapi aku tak lega akan maksud Ayah yang seolah menyerah membiarkan Ibu pergi. Seolah tak perlu lagi untuk dibahas. Atau dia memang jadi kian menderita untuk terus teringat Ibu, jadi dia memutus pembahasan dengan berkata seperti itu.

"Ya. Shana ngerti, Ayah. Shana berangkat sekolah dulu."

***

Semuanya berjalan cepat. Aku tetap berusaha fokus akan sekolahku karena kini aku sudah kelas tiga, sebentar lagi harus berjuang mengejar perguruan tinggi. Ditambah, semenjak Ibu meninggal, Ayah jadi lebih suka bekerja. Aku rasa dia mulai lebih sadar untuk mementingkan aku karena dia tahu, aku hanya punya dia.

Teman dekatku, Dinka, jadi sering menyemangatiku ketika teman-temanku yang lain berbisik-bisik mengomentariku. Semenjak kematian Ibu, beberapa orang memandangku kasihan, sedangkan beberapa lainnya memandang menelisik aneh dan bergelut dengan asumsi mereka yang dibuat-buat.

"Kamu pasti bisa menjalani ini." Dinka meraih kedua tanganku, menyatukannya, kemudian menangkupkan kedua tangannya padaku. "Kamu bisa cerita apapun tentang perasaanmu kalau kamu butuh."

Aku tersenyum canggung, menghargai ketulusan Dinka. Kuembuskan napasku pelan, lantas menggigit dasar mulutku resah, gelisah mengingat kematian Ibuku lagi dan lagi. Walaupun dia tak pernah menjadi Ibu yang baik, hanya sekadar menanyakanku kabar sekolah, kecukupan persediaan makan, menyuruhku membersihkan dan melakukan setiap pekerjaan rumah, dia tetap orang yang kusayang.

Aku meremas tangan Dinka.

"Aku masih nggak percaya Ibuku bunuh diri," bisikku bercerita. Tanpa izin, mataku berkaca-kaca. "Rasanya aku masih nggak terima ngelihat Ibu terbaring tidur selamanya, pergi ke pelukan Tuhan. Aku benci pikiranku yang selalu teringat pemakaman Ibu, serta rasa sedihku yang meluap ketika di atas makam itu Ayah berulang kali mengusap matanya yang basah. Padahal Ayah orang yang jarang nangis."

Dinka mengangguk.

Ruang kelas tampak ricuh, sibuk sendiri. Jam kosong ini memberi kesempatan untuk aku pelan-pelan bercerita dengan suara kecil agar tak begitu terdengar.

Dinka memberi timpalan. Timpalan yang tak searah dengan ceritaku, tapi cukup menyinggung ke arah situ.

"Kamu sadar sekelas ngobrolin apa akhir-akhir ini?"

"Apa, Din?" tanyaku.

"Kabar tentang berita yang bilang kalau Ibumu berbincang lama dengan kawan laki-laki asingnya sebelum bunuh diri."

Aku terdiam. Ya, aku tahu. Tetapi aku tak merasa ada yang salah dengan itu.

Dinka memberi penjelasan lebih. "Kamu pikir dia siapa, Shan?"

Aku mengernyit. Rasa sedihku teralihkan karena kini sibuk berpikir.

"Mana aku tahu? Emang menurutmu siapa?" tanyaku balik.

Dinka menegakkan kepalanya, memandang ke atas, tampak berpikir keras, tapi kemudian berdecak. "Ah udahlah, aku juga nggak bisa duga itu secara pasti, kan. Nggak baik juga buat berasumsi buruk tentang orang."

Persoalan tentang itu akhirnya terhenti. Tetapi itu justru menanggalkan tanda tanya juga pada benakku. Membuat aku jadi ikut penasaran, padahal sebelumnya aku tak mempermasalahkannya.

Apa aku perlu tanya Ayah?

Seharian aku jadi tidak semangat menjalani sekolah sebab pikiranku berada di tempat lain.

Pulang sekolah, aku hendak menaiki bus seperti biasa untuk pulang. Tetapi, suara dering telepon menginterupsi kegiatanku. Telepon dari Ayah.

Tak seperti biasa.

Kuangkat panggilan itu. Percakapan singkat berlangsung. Ayah hanya bilang bahwa dia sudah menunggu di depan gerbang untuk menjemput. Aku yang sudah berjarak agak jauh dari gerbang sekolah—berada di halte akhirnya menghentikan tujuanku. Aku berniat menghampiri Ayah langsung ke depan gerbang sekolah lagi, tapi pikiranku terlintas suatu ide. Maka pada ujung akhir percakapan itu, aku menutupnya dengan: "Tunggu ya, Ayah. Shana mungkin akan agak lama. Ada yang perlu Shana lakuin."

Aku memasukkan kembali ponselku cepat-cepat ke dalam tas. Lantas aku bergegas menuju toko bermacam barang dekat sekolahku, dengan cekatan membeli satu buku kosong bersampul hitam beserta bolpoin berwarna sama yang menggantung sepaket dengan itu. Aku sudah membayarnya, tapi ada buku non fiksi menarik yang terpajang di etalase dekat area kasir mencuri perhatianku. Judulnya ialah 'Cara Berpikir Positif'. Aku menanyai penjaga kasir akan itu, kemudian membelinya juga.

Kulihat jam pada jam tanganku. Sudah lima menit aku berada di sini. Cepat, aku keluar dari toko itu dan berjalan ke depan gerbang sekolah. Sekolah masih cukup ramai. Mataku segera menangkap mobil abu-abu kecil di situ, kudekatilah.

Aku membuka pintu dan masuk ke jok bagian belakang, karena ternyata di jok depan sisi Ayah, ada Tante Tia, adik Ayah.

Aku jadi bingung. Ada apa?

"Ayah, kenapa jemput Shana? Rumah kita, kan deket sama sekolah. Shana lebih enak berangkat-pulang pakai bus aja." Aku basa basi membahas hal ini. "Oh, iya. Tumben ada Tante Tia. Ada apa, nih, Yah? Kita mau jalan-jalan, kah? Atau main ke rumahnya?"

Pertanyaan bertubi-tubiku membuat kedua orang di jok depanku ini terdiam. Suasana terlihat mencekam, tapi aku tak mengerti ada apa gerangan. Aku meneguk ludah.

"Kita akan pergi ke suatu tempat. Shana jangan banyak tanya dulu, ya," ujar Tante Tia lembut, yang seketika membungkam pertanyaan lanjutan dari mulutku.

Aku mendesah, lantas mengeluarkan buku kosong sepaket dengan bolpoin, langsung menyerahkannya ke Ayah. Mobil belum berjalan, jadi aku rasa ada waktu cukup untuk bicara dengan Ayah.

"Ini buku kosong sama bolpoin, buat Ayah cerita ke buku ini. Shana nggak tahu gimana perasaan asli Ayah setelah Ibu meninggal. Tapi Shana tahu Ayah sedih. Lebih sedih dari Shana. Ayah pasti nyembunyiin banyak hal dari Shana juga, kan? Termasuk perasaan Ayah. Seperti kata Ayah tadi pagi: 'Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan'. Ayah nggak pernah ceritain sisi sedih Ayah, jadi mungkin buku itu bisa ngewakilin Shana untuk Ayah cerita."

Ceritaku panjang. Bahkan aku hendak menjelaskan maksudku lebih dalam akan hal itu. Tetapi tatapan Ayah yang menengok ke belakang—ke arahku membuat aku terpaku. Menyadari raut muka Ayah yang sedih, haru.

"Makasih, Shana."

Itu jawaban Ayah sebelum kemudian, mobil berjalan menuju entah ke mana.

Aku hanya sibuk bertanya-tanya sendiri dalam pikiran. Kulihat pemandangan luar dari mobil yang tampak menenangkan. Langit biru memamerkan awan-awan putih dengan mentari yang ingin ikut andil menyilaukan pandanganku. Dedaunan pohon bergerak menyejukkan mataku dengan kehijauannya.

Keramaian lalu lintas seperti biasa mewakilkan emosi para pengendaranya yang suka membunyikan klakson padahal lampu memang masih merah, atau mereka yang hendak menyelip padahal tidak ada cela. Keheningan dalam mobil tak memakan banyak pikiranku sebab fokusku tertuju pada hal di balik jendela luar mobil.

Semua pandangan sibukku itu terhenti ketika mobil mulai bergerak lambat hingga benar-benar terparkir di suatu tempat.

"Ayo, Shana. Kita turun." Tante Tia berjalan lebih dulu. Ayah menggerakkan kepala ke arah sebuah gedung, mengodeku berjalan ke situ.

Ayah dan Tante Tia tak bicara apa-apa. Ke mana kita datang dan untuk apa. Tetapi setelah pelan-pelan mendekati gedung itu, aku kini paham ada di mana, yang masih tak kupaham ialah untuk apa.

Mereka mengajakku ke kantor polisi.

Kami pun masuk ke halaman ruang depan kantor polisi. Di sana tampak penjaga, ruang kedatangan yang dilalu-lalangi beberapa petugas administrasi.

"Shana. Boleh Ayah cerita lebih luas perihal sisi manusia?" Ayah mendekat, memegang kedua lenganku.

Fokusku teralih ke Ayah kembali. Kami bertiga—aku, Ayah, dan Tante Tia—sama-sama berdiri. Ayah dan Tante Tia kini tampak menyorotkan pandangan ke arahku.

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ayah.

"Sisi yang Ayah sebut bukan cuma perihal sisi emosi. Bukan cuma sisi senang, sedih. Tapi juga sisi baik buruk." Ayah memaparkan. Aku terpaku bingung

"Lantas?"

"Ada yang Shana sekarang harus tahu." Ayah diam sebentar. Dia menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. "Shana tahu kan, setelah Ayah malas-malasan kerja demi nguji Ibu, Ibu cari kerja sendiri buat menuhin kebutuhannya sendiri?"

Aku terpaku. Bahasan tentang Ibu sejujurnya sensitif juga di telingaku. Pikiranku langsung tersadar penuh, menanti apa yang hendak Ayah beritahukan lebih dalam.

"Maaf untuk baru cerita sekarang. Tapi Ibu kerja dengan jual diri, Shana. Kalau Shana tahu tentang kawan laki-lakinya yang bicara terakhir kali sama dia di CCTV. Itu selingkuhannya, Shana. Dia sama Ibu lagi ngerencanain hal buruk. Maksud Ayah tentang sisi manusia adalah sisi tak terduga mereka. Manusia bisa jadi apa aja. Jadi jahat atau baik. Mereka bebas milih keduanya. Kadang kita juga buta untuk menilai keduanya, karena manusia bisa jadi baik dan jahat di saat bersamaan."

Jual diri?

Rencana buruk?

Badanku mematung. Aku kaget akan fakta yang dipaparkan Ayah. Aku juga bingung. Terutama pada penjelasan teori kemanusiaan Ayah barusan. Apa kaitannya?

Aku diam, membiarkan Ayah mengeluarkan semua kata-katanya sendirinya tanpa kutanya atau kupaksa.

"Ibumu benar-benar gila, Shana. Dia gila materi. Shana benar kalau bilang Ibu memang cinta dunia dan nggak bakal ninggalin ini semua gitu aja dengan bunuh diri. Ibumu cuma pengen senang-senang. Ibu sebetulnya juga sudah bekerja seperti itu bahkan sebelum Ayah berhenti kerja." Ayah menatapku lamat-lamat. Mata tegasnya kini berair. Menatapku penuh rasa bersalah yang aku tak mengerti.

"Udah, Ayah, nggak usah dilanjutin ceritanya kalau bikin Ayah sedih." Jujur aku penasaran akan semua fakta di balik semua ini, tapi semakin membuatku terluka melihat Ayah seperti sekarang. Terang-terangan bersedih di depanku yang sebelumnya dia selalu menyembunyikan itu. "Ayah, ayo pulang aja, yuk. Ayah kalau mau cerita pun di rumah aja. Kita ngapain di kantor polisi gini?"

Ayah tak merespon akan itu. Tante Tia hanya memandang kami berdua, seolah tak sanggup berkata apa-apa. Tanpa alasan, Ayah kemudian bersimpuh di hadapanku. Tangis Ayah semakin terdengar jelas dengan isakan, raungannya menggema. Aku bahkan bisa merasakan tatapan pekerja di kantor polisi ini menatap ke arah kami.

"Shana ...," panggil Ayah.

Dadaku sesak. Kujongkokkan badanku untuk sejajar dengan Ayah. Kuusap bahu kekarnya lembut, walaupun aku tak tahu sepenuhnya ada apa dan alasan spesifik Ayah bersedih, tiba-tiba seperti ini.

"Ibu ngajuin cerai tapi Ayah nolak. Dia pengen hidup sama selingkuhannya, hidup bebas. Ayah tahu sifatnya yang seperti itu, tapi Ayah nggak nyangka dia akan punya niat dan berjalan sejauh itu. Entah apa yang tiba-tiba ngerasuki dia. Dia emang marah karena Ayah berhenti ngasih pemasokan. Tapi asal Shana tahu, marahnya dia aslinya ya karena dia harus terjebak sama Ayah untuk lebih lama lagi." Ayah bicara terpatah-patah. Hampir saja aku tak mendengar jelas keseluruhan cerita karena suaranya yang bergetar.

"Ibu ngancam mau bunuh Shana. Awalnya Ayah pikir itu nggak mungkin, tapi suatu hari Ayah sadar dia serius akan itu. Karena ada orang yang hendak masuk ke kamar Shana diam-diam malam hari; dia bisa masuk ke rumah karena kunci cadangan punya Ibu. Ibu bener-bener punya pembunuh bayaran untuk ngebunuh anaknya sendiri. Ayah sedih, Shana. Ayah sedih. Ayah takut untuk ngebiarin itu terjadi."

Keterkejutanku akan cerita Ayah sebelumnya tak sebesar keterkejutanku sekarang. Mataku berkaca-kaca, benar-benar ikut berair. Semua ucapan Ayah terdengar mustahil. Tapi aku tahu Ayah tidak pernah bohong. Napasku tersengal, bibirku bergetar tak tahu harus berkata apa. Aku hanya mendekat, memeluk Ayah yang masih bersimpuh.

"Ibu memang gila, Shana. Tapi Ayah lebih gila."

Aku melepaskan rangkulan Ayah, memandangi mukanya yang kini menatapku nanar.

"Maafin Ayah, Shana. Maafin Ayah."

"Maaf kenapa?"

"Karena Ayah nggak bisa nemenin Shana lagi di rumah. Mulai sekarang, Shana tinggal sama Tante Tia, ya. Habis dari kantor polisi ini, Tante Tia yang akan ngendarain mobilnya."

Aku mengerjapkan mata. "Kenapa?"

Ayah tak menjawab pertanyaanku secara langsung. Justru meminta maaf lagi. Maaf yang tak bisa kuterka. Maaf yang kali ini membuat duniaku terasa berhenti.

"Maaf karena Ayah bunuh Ibu di gedung tempatnya bekerja, di bagian sepi dan nggak ada CCTV-nya. Ayah kabur dengan cepat setelah dorong Ibu dari ketinggian. Ayah sedih Ibu meninggal, tapi Ayah lebih sedih karena Ayah sendiri yang melakukannya. Demi Shana. Harusnya lebih baik Ayah nyetujuin gugatan cerai dari awal. Tapi situasi terlanjur chaos."

Plastik berisi buku 'Cara Berpikir Positif' yang kupegang di sisi tubuh terjatuh.

Hatiku mencelos. Sakit. Bingung. Hancur. Perasaan tingkat tinggi terparau selama hidupku.

"Apa?!"