Rabu, 27 Maret 2024

Matahari di Balik Awan

 Ditulis oleh: Ni Wayan Maeta Dewi Suryantari & Shelma Atira Dewi.

--

Cerita kolaborasi.

--


Matahari di Balik Awan


Manusia adalah orang yang menjalankan peran di dunia. Suka dan duka adalah uraian kata dari banyaknya frasa yang ada. Waktu adalah bukti bahwa manusia tak akan bermakna jika kita berdiam diri dan mengabaikan hal yang berarti. Di bawah cahaya gemilang, pasti butuh kedamaian dalam pelukan. Seperti hal nya matahari dan awan, dua elemen yang tak akan terpisahkan namun akan ada rasa kehilangan pada waktu matahari tenggelam.

Hai, namaku Arga Ditya Permana, biasa dipanggil Arga. Aku adalah seorang musisi Bali dari Kota Denpasar. Setiap malam, panggung menjadi kanvas bagi kisah hidupku yang penuh liku. Hidupku tak hanya tentang gemerlap panggung, tepuk tangan, dan sorakan yang diucapkan. Namun ada melodi yang selalu menjadi saksi setiap perjalanan. Inilah kisahku, kisah tentang cinta yang hilang dan janji yang terabaikan oleh kesalahanku.

Matahari mulai memancarkan panasnya dan keringat membasahi dahiku. Masih ada empat lagu yang harus aku bawakan, namun aku merasa tak mampu untuk tetap berdiri. Akhirnya, dengan upaya keras, aku memaksakan diri untuk menghibur ribuan orang di acara tersebut. Dan pada akhirnya, acara itu pun berakhir.

Ketika sampai di rumah, tubuhku langsung terkulai lemas menanti saat aku menutup mata. Akhirnya, aku pun tertidur. Suara kicauan burung membangunkanku di pagi hari itu. Perutku terasa lapar dan menggerutu, menginginkan makanan. Aku kemudian berjalan menuju meja makan.

Aku sangat terkejut melihat meja makan yang penuh dengan makanan. Dalam hati, aku bertanya-tanya siapa yang memasak semuanya. Tiba-tiba, muncul seorang wanita berambut panjang berpakaian putih dari balik pintu dapur. Dan ternyata, itu adalah kekasihku, Gauri Lakshmi Permata.

Gauri, wanita yang sangat aku cintai. Dia penyabar, jujur, perhatian, dan setia. Banyak lagu yang aku ciptakan terinspirasi olehnya. Dia adalah bidadari yang turun ke hatiku dan menjadi kekasih dalam hidupku.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya aku.

"Sejak kamu masih tidur," jawabnya dengan senyuman manis. "Mengapa kamu tidak membangunkanku?" tanyaku.

"Aku melihat kamu begitu lelah dan menikmati tidurmu," jawabnya.

Karena perutku terasa lapar, aku segera menyantap roti keju yang ada di hadapanku. Gauri melirikku dengan senyuman.

"Lapar ya, Sayang?" tanya Gauri dengan nada manja. "Iya," jawabku sambil menganggukkan kepala.

Tak lama kemudian, aku mendapat telepon dari produser untuk menghadiri rapat dengannya. Padahal, pada hari itu aku telah berjanji pada Gauri untuk menemaninya ke rumah orang tuanya di Renon. Akhirnya, rencana itu batal, dan Gauri tidak jadi pergi ke Renon karena aku harus rapat dan bekerja pada proyek dengan produser. Aku berjanji pada Gauri bahwa bulan depan aku akan menemaninya ke Renon.

Setiap malam, aku menciptakan lagu untuk mempersiapkan album baru aku yang akan dirilis bulan depan. Sehingga waktu luang aku habis hanya untuk membuat lagu, dan waktu untuk Gauri terabaikan. Setiap kali Gauri mengajak bertemu, aku selalu mengelak dengan alasan pekerjaan.

Tiga minggu berlalu tanpa aku bertemu dengan Gauri. Rasa rindu mulai tumbuh di hatiku. Namun, ketika akhirnya kami bertemu, sikap Gauri agak berubah. Dia tampak lebih pendiam dan pasif dari biasanya. Mungkin dia sedikit marah karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, aku tidak mengambilnya serius.

Sehari sebelum peluncuran album, produser mengadakan rapat dan check sound. Hari yang aku tunggu akhirnya tiba. Aku berharap peluncuran album ini berjalan lancar dan album yang aku garap sukses di pasaran.

Di awal acara, aku menerima telepon dari Gauri yang mengingatkan janji untuk menemaninya pergi ke Renon. Akhirnya, aku memutuskan agar Gauri pergi sendiri, dan aku akan menyusulnya besok pagi. Tanpa menunggu jawaban, Gauri langsung memutus telepon. Namun, aku tidak mengambilnya dengan serius. Dan acara tersebut berjalan lancar.

Tiba-tiba, aku mendapat kabar bahwa Gauri mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku segera bergegas menuju rumah sakit. Namun, kedatangan aku terlambat. Gauri sudah pergi sebelum aku tiba.

Air mata aku menetes saat aku melihat sosok yang aku cintai terbaring tak bergerak di hadapan aku. Wajahnya seolah tersenyum menyambut kedatanganku. Menyambut kedatangan orang yang tak memiliki hati.

Aku melihat selembar kertas di samping tubuh Gauri yang ternyata adalah pesan terakhirnya. Dalam pesan itu, Gauri menulis tiga kata yang membuatku sangat menyesal. "Aku menunggumu di sana," itulah pesan yang ditulis Gauri sebelum pergi ke Renon. Ternyata, dia sudah merasakan apa yang akan dialaminya.

Mungkin, batu nisan memisahkan kita di dunia ini, tetapi kamu akan selalu ada di hidupku. Menemani setiap detak jantungku dan meresap ke dalam lubuk jiwaku. Penyesalan tidak akan membawamu kembali, namun aku yakin kamu bahagia di singgasana surga.

Setelah kepergian Gauri, kesedihan melanda hatiku seperti badai yang tak terduga. Setiap sudut rumah kami terasa kosong tanpa kehadirannya. Aku merenungkan semua momen indah yang pernah kami lewati bersama, mulai dari senyumnya yang manis hingga tawa riangnya yang selalu menghangatkan hati.

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang terus menerus terombang-ambing antara penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Aku merasa seperti telah kehilangan bagian dari diriku yang paling berharga.

Di tengah kesedihan yang melanda, aku menemukan selembar kertas di antara barang-barang pribadi Gauri. Itu adalah sebuah surat yang ditulisnya untukku. Dalam surat itu, dia menuliskan betapa besar cintanya padaku dan berharap aku bisa melanjutkan hidup dengan bahagia meskipun dia telah pergi.

Setiap kata dalam surat itu seperti menyentuh hatiku yang paling dalam, mengingatkan bahwa meskipun fisiknya telah tiada, namun cintanya tetap abadi dalam hatiku.

Setiap malam, aku duduk di ruang kerja kami sambil memainkan melodi- melodi yang pernah kami ciptakan bersama. Melalui nada-nada yang mengalun, aku merasakan kehadiran Gauri di sekelilingku, seperti dia masih ada bersamaku, menyemangati dan mendukungku dalam setiap langkahku.

Walaupun Gauri telah pergi, namun cintanya tetap melekat dalam jiwa dan hatiku. Aku berjanji untuk terus mengenangnya dengan setiap nafas yang kuambil, dan merawat kenangan indah yang telah kami bagi bersama. Hingga suatu hari nanti, saat kita dipertemukan kembali di dunia yang lain, aku akan memeluknya erat dan mengucapkan rasa cintaku padanya, tanpa batas dan tanpa akhir.

Maafkan aku, Gauri. Aku akan terus mencintaimu, bahkan dalam kepergianmu yang abadi.

***

“Arga, kenapa lagu itu ajaibnya, bisa menenangkan?” Suara Gauri remaja dulu sempat bertanya, selepas aku bilang aku suka menulis lagu dan menyanyi karena melaluinya, aku bisa bernapas.

Saat itu kami berada di Pantai Wertasari, mata bulatnya berkilau terkena sinar matahari, terbersit tanda tanya.

“Seperti kamu suka alam, wisata, Gauri. Kamu akan temukan kenapa hidup ini terasa berarti dari-Nya. Mengapa, Gauri tertarik menjadi musisi juga?”

Mata Gauri membelalak, kemudian menggeleng. “Tidak, aku mau cari cita-cita lain, cita-cita itu buatmu saja. Nanti kita jadi saingan kalau sama-sama jadi musisi.”

Ingatan memori perbincangan itu menguar setelah sepatah guratan surat peninggalan Gauri waktu lalu yang kubaca menerangkan: “Arga, senang bisa mencintai lagu juga karenamu, sehingga apabila lagu-lagu itu merenggutmu juga dari pelukku, aku tidak masalah, Arga, karena aku setengah hidupmu, dan setengahnya lagi ialah lagu-lagu yang menyelamatkan hidupmu. Bahkan setelah berpasangan seumur hidup denganmu, kita pernah membuat lagu bersama, di setiap lagumu yang kamu tuliskan selalu tentangku. Semuanya tentang aku.”

Sekali waktu aku mengunjungi rumah orang tua Gauri di Renon, sekadar bermain di area tersebut. Aku ada di satu titik menyadari bahwa kala itu, Gauri hendak pulang ke Renon karena ia tidak ingin sendiri. Bersamaku, ia selalu sendirian. Aku tidak pernah menemani, pulang-pulang bukannya membawa martabak manis justru membawa skrip lagu atau bahkan kepenatan untuk Gauri selalu terima bagian lelahnya.

Maka untuk menebus dosaku, setelah berbulan-bulan, menjelma tahun hingga sepuluh tahun berlalu aku lebih banyak mengalunkan melodi dan terus mengenang Gauri yang telah tiada, suatu waktu aku mendatangi Pura, beribadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa, meminta petunjuk-Nya. Meskipun Gauri terasa masih berkeliaran di sekelilingku, mendukungku selalu menciptakan lagu, aku tahu itu bukan keinginan Gauri, itu hanya inginku. Maka setelah menitipkan doa yang penuh permohonan ampunan, aku juga ingin memberikan apa yang Gauri inginkan, setidak-nya, menyelakan waktu untuk menemuinya di hal-hal yang dia suka.

Hal inilah yang membuatku bertemu dengan anak kecil bernama Susma Saraswati.

Gauri suka alam dan wisata, maka aku sering mengunjungi tempat-tempat yang selalu ingin dikunjungi oleh Gauri bersamaku, berharap di sana aku bisa semakin merasa dekat dengan Gauri.

“Kok sedih?” Itu pertanyaan pertama dari Susma, waktu aku duduk memandang hamparan pasir di Pantai Wertasari. Anak aneh, kalau bisa kubilang padamu, Gauri. “Biasa lihat kakak main gitar, nyanyi-nyanyi sendiri. Sumpah seram, Kak kalau tiba-tiba jadi pendiam begini.”

Susma merupakan anak berusia lima belas tahun yang pandai berbahasa asing. Dia tumbuh tanpa orang tua dan menjadi pemandu wisata. Cita-citanya jalan-jalan dan menelusuri seluruh tempat di Bali. “Kalau boleh sih, suatu hari diajak ke luar negeri,” katanya.

Aku ingin sekali bilang ke Gauri kalau aku menemukan Gauri versi anak kecil. Suka jalan-jalan, peduli sekali dengan orang asing. Sampai kesamaan itu membuatku meneteskan air mata, sebab sempat anak itu menanyakan, sesuatu yang dulu sangat sering Gauri tanyakan, tetapi dengan bahasa Susma yang tetap anehnya: “Kak, apa selama ini bikin lagu, menyanyikan lagu bikin Kakak lebih tenang? Lalu apakah menciptakan lagu bisa menjadi media bertaubat?”

Pertama, pertanyaan itu justru membuatku merenungi. Sejatinya, ada beberapa waktu, mengomposisikan lagu tidak membuatku tenang. Aku teringat Gauri, dan setiap membuat lagunya, aku menangis. Artinya, ketenangan itu justru bisa aku dapatkan dengan tidak menjadi musisi. Kedua, berkulik di lagu tidak menghapus dosaku, atau justru menambah? Hal ini karena musiklah aku tidak bisa menjaga Gauri, memastikan ia baik-baik saja sehingga ia tidak akan meninggal dunia.

Sekelebat fakta itu lewat, hingga aku merasakan kerongkonganku panas, tercekat. Mataku yang melihat mata anak kecil asal bicara itu melebar, tidak berkedip untuk waktu lama, hingga aku kian merasa mukaku kian basah.

“Duh, gimana, sih malah menangis. Daripada menangis mending ajak jalan-jalan aku ke luar negeri,” candanya. “Jadi apa jawabannya, aku penasaran, tahu! Khawatir kalau Kakak tiba-tiba jadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) gara-gara Kak Gauri itu!”

Aku terdiam.

Tertawa tipis.

“Susma,” panggilku. “Pertama, bikin lagu bikin Kakak tenang. Nafkah dari bermusik itulah yang bisa kakak hasilkan untuk mengasihi orang-orang tersayang Gauri sekarang. Kedua, bertaubat harusnya beribadah ke Pura. Namun karena musik bisa membuat Kakak berbagi, menghibur orang lain, serta menyegarkan tempat kesukaan Gauri (alam dan tempat wisata), Gauri pasti akan memaafkan.”

Selepas itu, aku meraih tangan Susma, mengajaknya beranjak dari situ. Kebetulan hari itu aku tidak membawa gitar. Aku ajak Susma berdiri, menjauh dari Pantai. Susma hanya mengikuti. Tangannya yang kasar dan sedikit menghitam karena bersahabat dengan sinar matahari justru membalas genggaman erat tanganku, seolah senang-senang saja apabila ia dibawa pergi olehku, orang yang sebenarnya tidak asing-asing amat tetapi punya potensi menculik.

“Kita akan pergi ke rumah Kak Gauri? Ke rumah Kak Arga?”

Aku menaikkan alis, menggeleng.

“Tidak, kita akan mengunjungi tempat di manapun Kak Gauri berada, tempat kesukaannya. Kita akan ke tempat  wisata.”

“Di mana, Kak?”

“Di luar negeri.”

Tanpa memberikan waktu banyak untuk Susma untuk berpikir, mencerna, bahwa di hari itu juga ia akan terbang melintasi benua dan melihat pesawat terbang di atas lautan, kami berangkat ke Jerman.

Petualangan itu kalau bisa kurincikan ialah seputar: (1) Susma yang terlalu bersemangat main ke luar negeri dan hiperaktif dengan penduduk asli. Suka mendekati orang, dan menjadi tugas besarku, bukan aku yang menculik, tetapi menjaga ia supaya tidak diculik ketika ditanya: “Wie wäre es, wenn wir zusammen in einem Restaurant essen?” (Bagaimana kalau kita makan di restoran bersama?), (2) Susma yang membuka mulutnya hampir 3 jam penuh sewaktu aku menampilkan musik sebagai perwakilan Indonesia di kehadiran undangan kolaborasi tampilan Indonesia-Jerman, dan bilang: “It’s cool! Why don't you let me know you could play as the legendary Mozart does?”, atau (3) Susma yang dengan bahagia meminta uang sumbangan ke penonton permainanku di tempat terbuka padahal sudah kubilang: “Susma, aku tampil gratis untuk berbagi hiburan, bukan sedang mengemis dan butuh uang.”

Sampai, 3 hari itu terasa cepat, tetapi yang aku lihat di mata Susma, ia punya kebingungan menghadapi dunia luar. Tidak seperti di Bali, dia bisa menaruh sesajen di beberapa tempat, beribadah dengan nyaman di rumah, atau bermain turis-turis-an (menjadi pemandu wisata) kalau lelah tinggal pulang ke rumah, sedangkan di sini tidak bisa. Dia harus mengikutiku. Lagipula, Susma pernah bilang dia dekat dengan banyak turis di Bali. Namun, karena dia anak yang aneh, dia pasti mengganggu. Dia bisa manis, tetapi manisnya membuat dia takut diculik. Kalau di Bali dia masih bisa kabur, dia hapal 3/4 seluruh lokasi di Bali, rumah penduduk, letak sungai, arah kompas. Nah, namun itu hanya di Bali. Beda dengan di luar negeri, sehingga selama 3 hari Susma berusaha keras mengingat tempat dan jalan yang ia kunjungi, tetapi berarti nihil.

Di perjalanan pulang, hingga sampai di Bali, Susma menceritakan padaku soal hubungan Bali dengan Jerman, padahal setahuku tidak nyambung sama sekali. Ada kerjasama antara Indonesia dengan Jerman sejak abad ke-19 yang diperkuat dengan kunjungan Presiden ke Berlin di tahun 2016. Hubungannya di mana? Ketika ada pertemuan Eropa dengan Indonesia di Indonesia, Bali selalu menjadi opsi pilihannya. Di situ aku baru menangkap di mana hubungan Bali-Jerman walau konek-ku masih jauh sekali.

Namun, yang mengejutkan bukan waktu Susma cerita itu secara aneh dan random, tetapi waktu dia mengungkapkan sesuatu, yang aku yakin dia tidak bercanda. Tidak dengan yang ini.

“Kak Arga, tahu tidak?”

“Tidak tahu dan tidak mau tahu," kataku sambil menunggu pengambilan koper selepas sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai.

“Kak Arga tidak penasaran kenapa sampai hari ini Susma bisa hidup dan bertahan sendirian?”

Aku hanya diam, takut ini pertanyaan sensitif, membiarkan Susma menerangkan sendiri.

“Dahulu kala... ehem, ini bukan dongeng ya. Intinya, sebelum kenal Kak Arga, Susma sudah kenal dulu dengan Kak Gauri. Di usia yang ke 5 tahun, Susma diambil dari Panti Asuhan dan tinggal di Renon, dekat rumah Kak Gauri ada sendiri, deh pokoknya. Setelah kepergian Kak Gauri, selama sepuluh tahun ini, Susma nunggu Kak Arga datang ke Renon. Ini rahasia besar, Kak. Rahasia negara! Orang tua Kak Gauri saja tidak tahu Susma. Kak Gauri itu baik sekali, katanya dia selalu dapat uang dari suaminya yang musisi. Nah, Kak Gauri minta Susma hidup bersama teman terdekat selama SMA-nya yang tinggal bersama Susma. Pergi ke Jerman ini Susma belum izin, loh! Susma percaya-percaya saja sama Kak Arga, toh kalau diculik yang menculik Kak Arga.”

Terjawab sudah kenapa dahulu Gauri ingin kembali ke Renon. Dia punya anak kecil yang dipertanggungjawabkannya.

Sekarang, gantian Susma yang tidak membiarkanku sedetikpun untuk memahami, dia melanjutkan.

“Nah, Kak Arga. Susma sebenarnya punya Ibu Angkat berarti, ya, Kak Gauri. Susma baru pertama kali dengan sepenuh hati bicara dengan orang asing itu sungguhannya dengan Kak Arga, karena Susma ingin melaksanakan misi mendoakan Kak Gauri di Surga dan membantu orang yang disayangi Kak Gauri: Kak Arga bahagia, tidak sendirian karena ditinggal. Jadi, ehem ini susah sekali bicaranya. Namun dengarkan,” Susma menjeda, “Kira-kira boleh tidak Susma panggil Kak Arga Ayah? Atau Kak Arga mau jadi Ayah Susma?”

Seketika seluruh album yang telah kutulis berkaburan karena ada fakta yang lebih darurat, semua melodi yang mengalun di antara cintaku dengan Gauri berkelebat, seolah selama ini, banyak cinta yang telah diberikan Gauri kepadaku, berlebihan bentuknya malah. Bahkan setelah kepergiannya, walau tanpa menuliskan di surat peninggalannya, Gauri menghadirkan cinta itu. Ia tahu anak hebat temuannya ini akan menemukanku sendiri, tanpa Gauri beritahu aku.

Selain melodi yang menyelamatkan hidupku, Gauri yang hadir membasuh lelah dan ambisiku, di dalam kelam, penerimaan kepergian yang kuusahakan hadang pada gemuruh awan gelap, tangis setiap malam, tidak terduganya, cahaya itu hadir dari anak kecil antah berantah, salah satu titipan Gauri, bahkan setelah ia telah di surga. Matahari ketiga di balik awan. Matahari itu: Susma Saraswati.


- TAMAT -