Rabu, 27 Maret 2024

Matahari di Balik Awan

 Ditulis oleh: Ni Wayan Maeta Dewi Suryantari & Shelma Atira Dewi.

--

Cerita kolaborasi.

--


Matahari di Balik Awan


Manusia adalah orang yang menjalankan peran di dunia. Suka dan duka adalah uraian kata dari banyaknya frasa yang ada. Waktu adalah bukti bahwa manusia tak akan bermakna jika kita berdiam diri dan mengabaikan hal yang berarti. Di bawah cahaya gemilang, pasti butuh kedamaian dalam pelukan. Seperti hal nya matahari dan awan, dua elemen yang tak akan terpisahkan namun akan ada rasa kehilangan pada waktu matahari tenggelam.

Hai, namaku Arga Ditya Permana, biasa dipanggil Arga. Aku adalah seorang musisi Bali dari Kota Denpasar. Setiap malam, panggung menjadi kanvas bagi kisah hidupku yang penuh liku. Hidupku tak hanya tentang gemerlap panggung, tepuk tangan, dan sorakan yang diucapkan. Namun ada melodi yang selalu menjadi saksi setiap perjalanan. Inilah kisahku, kisah tentang cinta yang hilang dan janji yang terabaikan oleh kesalahanku.

Matahari mulai memancarkan panasnya dan keringat membasahi dahiku. Masih ada empat lagu yang harus aku bawakan, namun aku merasa tak mampu untuk tetap berdiri. Akhirnya, dengan upaya keras, aku memaksakan diri untuk menghibur ribuan orang di acara tersebut. Dan pada akhirnya, acara itu pun berakhir.

Ketika sampai di rumah, tubuhku langsung terkulai lemas menanti saat aku menutup mata. Akhirnya, aku pun tertidur. Suara kicauan burung membangunkanku di pagi hari itu. Perutku terasa lapar dan menggerutu, menginginkan makanan. Aku kemudian berjalan menuju meja makan.

Aku sangat terkejut melihat meja makan yang penuh dengan makanan. Dalam hati, aku bertanya-tanya siapa yang memasak semuanya. Tiba-tiba, muncul seorang wanita berambut panjang berpakaian putih dari balik pintu dapur. Dan ternyata, itu adalah kekasihku, Gauri Lakshmi Permata.

Gauri, wanita yang sangat aku cintai. Dia penyabar, jujur, perhatian, dan setia. Banyak lagu yang aku ciptakan terinspirasi olehnya. Dia adalah bidadari yang turun ke hatiku dan menjadi kekasih dalam hidupku.

"Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya aku.

"Sejak kamu masih tidur," jawabnya dengan senyuman manis. "Mengapa kamu tidak membangunkanku?" tanyaku.

"Aku melihat kamu begitu lelah dan menikmati tidurmu," jawabnya.

Karena perutku terasa lapar, aku segera menyantap roti keju yang ada di hadapanku. Gauri melirikku dengan senyuman.

"Lapar ya, Sayang?" tanya Gauri dengan nada manja. "Iya," jawabku sambil menganggukkan kepala.

Tak lama kemudian, aku mendapat telepon dari produser untuk menghadiri rapat dengannya. Padahal, pada hari itu aku telah berjanji pada Gauri untuk menemaninya ke rumah orang tuanya di Renon. Akhirnya, rencana itu batal, dan Gauri tidak jadi pergi ke Renon karena aku harus rapat dan bekerja pada proyek dengan produser. Aku berjanji pada Gauri bahwa bulan depan aku akan menemaninya ke Renon.

Setiap malam, aku menciptakan lagu untuk mempersiapkan album baru aku yang akan dirilis bulan depan. Sehingga waktu luang aku habis hanya untuk membuat lagu, dan waktu untuk Gauri terabaikan. Setiap kali Gauri mengajak bertemu, aku selalu mengelak dengan alasan pekerjaan.

Tiga minggu berlalu tanpa aku bertemu dengan Gauri. Rasa rindu mulai tumbuh di hatiku. Namun, ketika akhirnya kami bertemu, sikap Gauri agak berubah. Dia tampak lebih pendiam dan pasif dari biasanya. Mungkin dia sedikit marah karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, aku tidak mengambilnya serius.

Sehari sebelum peluncuran album, produser mengadakan rapat dan check sound. Hari yang aku tunggu akhirnya tiba. Aku berharap peluncuran album ini berjalan lancar dan album yang aku garap sukses di pasaran.

Di awal acara, aku menerima telepon dari Gauri yang mengingatkan janji untuk menemaninya pergi ke Renon. Akhirnya, aku memutuskan agar Gauri pergi sendiri, dan aku akan menyusulnya besok pagi. Tanpa menunggu jawaban, Gauri langsung memutus telepon. Namun, aku tidak mengambilnya dengan serius. Dan acara tersebut berjalan lancar.

Tiba-tiba, aku mendapat kabar bahwa Gauri mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku segera bergegas menuju rumah sakit. Namun, kedatangan aku terlambat. Gauri sudah pergi sebelum aku tiba.

Air mata aku menetes saat aku melihat sosok yang aku cintai terbaring tak bergerak di hadapan aku. Wajahnya seolah tersenyum menyambut kedatanganku. Menyambut kedatangan orang yang tak memiliki hati.

Aku melihat selembar kertas di samping tubuh Gauri yang ternyata adalah pesan terakhirnya. Dalam pesan itu, Gauri menulis tiga kata yang membuatku sangat menyesal. "Aku menunggumu di sana," itulah pesan yang ditulis Gauri sebelum pergi ke Renon. Ternyata, dia sudah merasakan apa yang akan dialaminya.

Mungkin, batu nisan memisahkan kita di dunia ini, tetapi kamu akan selalu ada di hidupku. Menemani setiap detak jantungku dan meresap ke dalam lubuk jiwaku. Penyesalan tidak akan membawamu kembali, namun aku yakin kamu bahagia di singgasana surga.

Setelah kepergian Gauri, kesedihan melanda hatiku seperti badai yang tak terduga. Setiap sudut rumah kami terasa kosong tanpa kehadirannya. Aku merenungkan semua momen indah yang pernah kami lewati bersama, mulai dari senyumnya yang manis hingga tawa riangnya yang selalu menghangatkan hati.

Hari-hari berlalu dengan perasaan yang terus menerus terombang-ambing antara penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Aku merasa seperti telah kehilangan bagian dari diriku yang paling berharga.

Di tengah kesedihan yang melanda, aku menemukan selembar kertas di antara barang-barang pribadi Gauri. Itu adalah sebuah surat yang ditulisnya untukku. Dalam surat itu, dia menuliskan betapa besar cintanya padaku dan berharap aku bisa melanjutkan hidup dengan bahagia meskipun dia telah pergi.

Setiap kata dalam surat itu seperti menyentuh hatiku yang paling dalam, mengingatkan bahwa meskipun fisiknya telah tiada, namun cintanya tetap abadi dalam hatiku.

Setiap malam, aku duduk di ruang kerja kami sambil memainkan melodi- melodi yang pernah kami ciptakan bersama. Melalui nada-nada yang mengalun, aku merasakan kehadiran Gauri di sekelilingku, seperti dia masih ada bersamaku, menyemangati dan mendukungku dalam setiap langkahku.

Walaupun Gauri telah pergi, namun cintanya tetap melekat dalam jiwa dan hatiku. Aku berjanji untuk terus mengenangnya dengan setiap nafas yang kuambil, dan merawat kenangan indah yang telah kami bagi bersama. Hingga suatu hari nanti, saat kita dipertemukan kembali di dunia yang lain, aku akan memeluknya erat dan mengucapkan rasa cintaku padanya, tanpa batas dan tanpa akhir.

Maafkan aku, Gauri. Aku akan terus mencintaimu, bahkan dalam kepergianmu yang abadi.

***

“Arga, kenapa lagu itu ajaibnya, bisa menenangkan?” Suara Gauri remaja dulu sempat bertanya, selepas aku bilang aku suka menulis lagu dan menyanyi karena melaluinya, aku bisa bernapas.

Saat itu kami berada di Pantai Wertasari, mata bulatnya berkilau terkena sinar matahari, terbersit tanda tanya.

“Seperti kamu suka alam, wisata, Gauri. Kamu akan temukan kenapa hidup ini terasa berarti dari-Nya. Mengapa, Gauri tertarik menjadi musisi juga?”

Mata Gauri membelalak, kemudian menggeleng. “Tidak, aku mau cari cita-cita lain, cita-cita itu buatmu saja. Nanti kita jadi saingan kalau sama-sama jadi musisi.”

Ingatan memori perbincangan itu menguar setelah sepatah guratan surat peninggalan Gauri waktu lalu yang kubaca menerangkan: “Arga, senang bisa mencintai lagu juga karenamu, sehingga apabila lagu-lagu itu merenggutmu juga dari pelukku, aku tidak masalah, Arga, karena aku setengah hidupmu, dan setengahnya lagi ialah lagu-lagu yang menyelamatkan hidupmu. Bahkan setelah berpasangan seumur hidup denganmu, kita pernah membuat lagu bersama, di setiap lagumu yang kamu tuliskan selalu tentangku. Semuanya tentang aku.”

Sekali waktu aku mengunjungi rumah orang tua Gauri di Renon, sekadar bermain di area tersebut. Aku ada di satu titik menyadari bahwa kala itu, Gauri hendak pulang ke Renon karena ia tidak ingin sendiri. Bersamaku, ia selalu sendirian. Aku tidak pernah menemani, pulang-pulang bukannya membawa martabak manis justru membawa skrip lagu atau bahkan kepenatan untuk Gauri selalu terima bagian lelahnya.

Maka untuk menebus dosaku, setelah berbulan-bulan, menjelma tahun hingga sepuluh tahun berlalu aku lebih banyak mengalunkan melodi dan terus mengenang Gauri yang telah tiada, suatu waktu aku mendatangi Pura, beribadah kepada Sang Hyang Widhi Wasa, meminta petunjuk-Nya. Meskipun Gauri terasa masih berkeliaran di sekelilingku, mendukungku selalu menciptakan lagu, aku tahu itu bukan keinginan Gauri, itu hanya inginku. Maka setelah menitipkan doa yang penuh permohonan ampunan, aku juga ingin memberikan apa yang Gauri inginkan, setidak-nya, menyelakan waktu untuk menemuinya di hal-hal yang dia suka.

Hal inilah yang membuatku bertemu dengan anak kecil bernama Susma Saraswati.

Gauri suka alam dan wisata, maka aku sering mengunjungi tempat-tempat yang selalu ingin dikunjungi oleh Gauri bersamaku, berharap di sana aku bisa semakin merasa dekat dengan Gauri.

“Kok sedih?” Itu pertanyaan pertama dari Susma, waktu aku duduk memandang hamparan pasir di Pantai Wertasari. Anak aneh, kalau bisa kubilang padamu, Gauri. “Biasa lihat kakak main gitar, nyanyi-nyanyi sendiri. Sumpah seram, Kak kalau tiba-tiba jadi pendiam begini.”

Susma merupakan anak berusia lima belas tahun yang pandai berbahasa asing. Dia tumbuh tanpa orang tua dan menjadi pemandu wisata. Cita-citanya jalan-jalan dan menelusuri seluruh tempat di Bali. “Kalau boleh sih, suatu hari diajak ke luar negeri,” katanya.

Aku ingin sekali bilang ke Gauri kalau aku menemukan Gauri versi anak kecil. Suka jalan-jalan, peduli sekali dengan orang asing. Sampai kesamaan itu membuatku meneteskan air mata, sebab sempat anak itu menanyakan, sesuatu yang dulu sangat sering Gauri tanyakan, tetapi dengan bahasa Susma yang tetap anehnya: “Kak, apa selama ini bikin lagu, menyanyikan lagu bikin Kakak lebih tenang? Lalu apakah menciptakan lagu bisa menjadi media bertaubat?”

Pertama, pertanyaan itu justru membuatku merenungi. Sejatinya, ada beberapa waktu, mengomposisikan lagu tidak membuatku tenang. Aku teringat Gauri, dan setiap membuat lagunya, aku menangis. Artinya, ketenangan itu justru bisa aku dapatkan dengan tidak menjadi musisi. Kedua, berkulik di lagu tidak menghapus dosaku, atau justru menambah? Hal ini karena musiklah aku tidak bisa menjaga Gauri, memastikan ia baik-baik saja sehingga ia tidak akan meninggal dunia.

Sekelebat fakta itu lewat, hingga aku merasakan kerongkonganku panas, tercekat. Mataku yang melihat mata anak kecil asal bicara itu melebar, tidak berkedip untuk waktu lama, hingga aku kian merasa mukaku kian basah.

“Duh, gimana, sih malah menangis. Daripada menangis mending ajak jalan-jalan aku ke luar negeri,” candanya. “Jadi apa jawabannya, aku penasaran, tahu! Khawatir kalau Kakak tiba-tiba jadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) gara-gara Kak Gauri itu!”

Aku terdiam.

Tertawa tipis.

“Susma,” panggilku. “Pertama, bikin lagu bikin Kakak tenang. Nafkah dari bermusik itulah yang bisa kakak hasilkan untuk mengasihi orang-orang tersayang Gauri sekarang. Kedua, bertaubat harusnya beribadah ke Pura. Namun karena musik bisa membuat Kakak berbagi, menghibur orang lain, serta menyegarkan tempat kesukaan Gauri (alam dan tempat wisata), Gauri pasti akan memaafkan.”

Selepas itu, aku meraih tangan Susma, mengajaknya beranjak dari situ. Kebetulan hari itu aku tidak membawa gitar. Aku ajak Susma berdiri, menjauh dari Pantai. Susma hanya mengikuti. Tangannya yang kasar dan sedikit menghitam karena bersahabat dengan sinar matahari justru membalas genggaman erat tanganku, seolah senang-senang saja apabila ia dibawa pergi olehku, orang yang sebenarnya tidak asing-asing amat tetapi punya potensi menculik.

“Kita akan pergi ke rumah Kak Gauri? Ke rumah Kak Arga?”

Aku menaikkan alis, menggeleng.

“Tidak, kita akan mengunjungi tempat di manapun Kak Gauri berada, tempat kesukaannya. Kita akan ke tempat  wisata.”

“Di mana, Kak?”

“Di luar negeri.”

Tanpa memberikan waktu banyak untuk Susma untuk berpikir, mencerna, bahwa di hari itu juga ia akan terbang melintasi benua dan melihat pesawat terbang di atas lautan, kami berangkat ke Jerman.

Petualangan itu kalau bisa kurincikan ialah seputar: (1) Susma yang terlalu bersemangat main ke luar negeri dan hiperaktif dengan penduduk asli. Suka mendekati orang, dan menjadi tugas besarku, bukan aku yang menculik, tetapi menjaga ia supaya tidak diculik ketika ditanya: “Wie wäre es, wenn wir zusammen in einem Restaurant essen?” (Bagaimana kalau kita makan di restoran bersama?), (2) Susma yang membuka mulutnya hampir 3 jam penuh sewaktu aku menampilkan musik sebagai perwakilan Indonesia di kehadiran undangan kolaborasi tampilan Indonesia-Jerman, dan bilang: “It’s cool! Why don't you let me know you could play as the legendary Mozart does?”, atau (3) Susma yang dengan bahagia meminta uang sumbangan ke penonton permainanku di tempat terbuka padahal sudah kubilang: “Susma, aku tampil gratis untuk berbagi hiburan, bukan sedang mengemis dan butuh uang.”

Sampai, 3 hari itu terasa cepat, tetapi yang aku lihat di mata Susma, ia punya kebingungan menghadapi dunia luar. Tidak seperti di Bali, dia bisa menaruh sesajen di beberapa tempat, beribadah dengan nyaman di rumah, atau bermain turis-turis-an (menjadi pemandu wisata) kalau lelah tinggal pulang ke rumah, sedangkan di sini tidak bisa. Dia harus mengikutiku. Lagipula, Susma pernah bilang dia dekat dengan banyak turis di Bali. Namun, karena dia anak yang aneh, dia pasti mengganggu. Dia bisa manis, tetapi manisnya membuat dia takut diculik. Kalau di Bali dia masih bisa kabur, dia hapal 3/4 seluruh lokasi di Bali, rumah penduduk, letak sungai, arah kompas. Nah, namun itu hanya di Bali. Beda dengan di luar negeri, sehingga selama 3 hari Susma berusaha keras mengingat tempat dan jalan yang ia kunjungi, tetapi berarti nihil.

Di perjalanan pulang, hingga sampai di Bali, Susma menceritakan padaku soal hubungan Bali dengan Jerman, padahal setahuku tidak nyambung sama sekali. Ada kerjasama antara Indonesia dengan Jerman sejak abad ke-19 yang diperkuat dengan kunjungan Presiden ke Berlin di tahun 2016. Hubungannya di mana? Ketika ada pertemuan Eropa dengan Indonesia di Indonesia, Bali selalu menjadi opsi pilihannya. Di situ aku baru menangkap di mana hubungan Bali-Jerman walau konek-ku masih jauh sekali.

Namun, yang mengejutkan bukan waktu Susma cerita itu secara aneh dan random, tetapi waktu dia mengungkapkan sesuatu, yang aku yakin dia tidak bercanda. Tidak dengan yang ini.

“Kak Arga, tahu tidak?”

“Tidak tahu dan tidak mau tahu," kataku sambil menunggu pengambilan koper selepas sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai.

“Kak Arga tidak penasaran kenapa sampai hari ini Susma bisa hidup dan bertahan sendirian?”

Aku hanya diam, takut ini pertanyaan sensitif, membiarkan Susma menerangkan sendiri.

“Dahulu kala... ehem, ini bukan dongeng ya. Intinya, sebelum kenal Kak Arga, Susma sudah kenal dulu dengan Kak Gauri. Di usia yang ke 5 tahun, Susma diambil dari Panti Asuhan dan tinggal di Renon, dekat rumah Kak Gauri ada sendiri, deh pokoknya. Setelah kepergian Kak Gauri, selama sepuluh tahun ini, Susma nunggu Kak Arga datang ke Renon. Ini rahasia besar, Kak. Rahasia negara! Orang tua Kak Gauri saja tidak tahu Susma. Kak Gauri itu baik sekali, katanya dia selalu dapat uang dari suaminya yang musisi. Nah, Kak Gauri minta Susma hidup bersama teman terdekat selama SMA-nya yang tinggal bersama Susma. Pergi ke Jerman ini Susma belum izin, loh! Susma percaya-percaya saja sama Kak Arga, toh kalau diculik yang menculik Kak Arga.”

Terjawab sudah kenapa dahulu Gauri ingin kembali ke Renon. Dia punya anak kecil yang dipertanggungjawabkannya.

Sekarang, gantian Susma yang tidak membiarkanku sedetikpun untuk memahami, dia melanjutkan.

“Nah, Kak Arga. Susma sebenarnya punya Ibu Angkat berarti, ya, Kak Gauri. Susma baru pertama kali dengan sepenuh hati bicara dengan orang asing itu sungguhannya dengan Kak Arga, karena Susma ingin melaksanakan misi mendoakan Kak Gauri di Surga dan membantu orang yang disayangi Kak Gauri: Kak Arga bahagia, tidak sendirian karena ditinggal. Jadi, ehem ini susah sekali bicaranya. Namun dengarkan,” Susma menjeda, “Kira-kira boleh tidak Susma panggil Kak Arga Ayah? Atau Kak Arga mau jadi Ayah Susma?”

Seketika seluruh album yang telah kutulis berkaburan karena ada fakta yang lebih darurat, semua melodi yang mengalun di antara cintaku dengan Gauri berkelebat, seolah selama ini, banyak cinta yang telah diberikan Gauri kepadaku, berlebihan bentuknya malah. Bahkan setelah kepergiannya, walau tanpa menuliskan di surat peninggalannya, Gauri menghadirkan cinta itu. Ia tahu anak hebat temuannya ini akan menemukanku sendiri, tanpa Gauri beritahu aku.

Selain melodi yang menyelamatkan hidupku, Gauri yang hadir membasuh lelah dan ambisiku, di dalam kelam, penerimaan kepergian yang kuusahakan hadang pada gemuruh awan gelap, tangis setiap malam, tidak terduganya, cahaya itu hadir dari anak kecil antah berantah, salah satu titipan Gauri, bahkan setelah ia telah di surga. Matahari ketiga di balik awan. Matahari itu: Susma Saraswati.


- TAMAT -

Sabtu, 11 Februari 2023

Pendidikan Untuk Merubah Dunia

Ditulis oleh : Shelma Atira Dewi

Note: Cerita ini diikutkan dalam lomba cerita pendek tingkat nasional dan memenangkan juara 1 pada EDUFEST Departemen PENDIKMA BEMP Pendidikan IPS UNJ. Penulis mengupload di sini sebagai arsip pribadi.

Untuk beberapa orang, pendidikan bukanlah tujuan utama untuk mereka tuju. Pendidikan justru bisa menjadi penghalang. Seperti remaja yang tidak punya biaya bersekolah, remaja yang dilarang orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan karena diwajibkan bekerja menjadi tulang punggung keluarga, hingga orang dewasa yang ketinggalan pendidikan dan berhenti mengejarnya karena sudah punya tanggungan lain.

"Ren, udah ke mana aja kamu selama empat tahun ini?" Tanya Olga, teman Shiren.

"Kuliah kok, sama kayak kalian," jawab Shiren singkat. Perempuan itu bereuni dengan teman se-gengnya sewaktu SMA. Dulunya merupakan geng yang kata orang-orang berisikan anak jenius. Ada Olga, Tara, Nuel, Dimas, dan Shiren sendiri. 

"Maksud kamu jalan-jalan kali Ren," timpal Tara sambil tergelak. Laki-laki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan Shiren yang merupakan emas dari SMAN 3 Cakrawala empat tahun silam, tidak melanjutkan studinya dan justru selalu update view baru setiap gadis itu menjadi traveler.

"Shiren sempat kuliah tahu, di luar negeri tapi katanya di-drop out. Karena punya tujuan lain-kah ren?" Nuel menanyakan informasi lain, dan itu mendapat reaksi penasaran dari teman lainnya.

"Kalian nih sok tahu." Akhirnya setelah Olga, Tara, Nuel berkomentar, Dimas berceletuk di terakhir-an. "Kalau kalian tahu Shiren se-ambisius apa soal pendidikan, harusnya kalian lebih mempertanyakan progres pendidikan seperti apa yang dia lakukan lewat jadi traveler itu."

Mendengar pertanyaan sahabatnya satu persatu, Shiren tersenyum sebentar. Empat tahun ini bukan waktu singkat, dan Shiren rasa perlu meluruskan persepsi mereka.

"Aku tetap ambisius soal pendidikan, teman-teman. Yang justru selama ini aku lakukan adalah menjadikan pendidikan sebagai investasi masa depan."

***

Empat tahun berlalu adalah penentuan hidup paling besar. Di mana Shiren, gadis yang dicanangkan menjadi sosok langit inspirasi untuk banyak pelajar, dihadapkan dengan kesempatan untuk dia satu-satunya perwakilan SMAN 3 Cakrawala ditawarkan untuk kuliah di salah satu universitas unggul di Amerika.

Shiren mengambilnya, karena dia tahu kesempatan itu ialah pintu ajaib untuknya menjadi nama baik sekolah maupun negerinya sendiri.

Namun, ada satu kejadian yang membuat Shiren hanya berada di universitas itu selama dua setengah tahun saja, dan kembali ke Indonesia.

"Shiren, I wanna go out from this college!"  seru Karen, sahabat seperkuliahan Shiren di Amerika ketika mereka berdua sedang makan siang bersama.

"Because it's too hard for you to understand the material?" Shiren menebak singkat. 

"No, Shiren." Karen membuat Shiren menunggu keheranan. "Because there are a lot of things out there that we need to try. It's not just about education. I imagined the future."

Saat itu Shiren tidak mengerti. "Future?"

Masa depan seperti apa yang dimaksud Karen? Bukankah setiap orang melanjutkan studi untuk nanti di masa depan bekerja? Mendapatkan kehidupan layak, meraih prestasi atau menjadi nama baik?

"Future, Shiren." Perkataan Karen waktu itu tidak Shiren sadari akan mengubah hidup Shiren juga ke depannya. "The belief that we can change the world now. A future beyond expectations that can only be created from our own hands."

Setelah mengatakan itu, betul saja besoknya Karen mengundurkan diri baik-baik dari universitas yang terkenal ketat jalur masuknya di Amerika itu. Namun hanya cukup satu bulan, Shiren mengerti maksud bulan lalu Karen mengatakan itu padanya. Melalui pendengaran kabar bahwa Karen menjadi calon anggota perakitan robot raksasa dunia khusus Amerika—melalui fokus gadis itu pada perakitan teknologi, Shiren tahu Karen sedang menuju masa depan, tanpa terikat oleh pendidikan yang mencegahnya segera beranjak merealisasikan ide dan kemampuannya.

Shiren tidak ingin ikut-ikutan. Hanya saja, berkat itu, Shiren jadi memiliki visi 'masa depan'-nya sendiri. Masa depan seperti apa yang ingin kamu rakit terlepas mampu atau tidak, dan tidak semua orang bisa mewujudkannya? Shiren tahu ingin apa. Baru dua setengah tahun dia di universitas Amerika, dia segera kembali ke Indonesia.

Shiren memulainya dengan mengikuti kerelawanan calon pengajar. Basic Shiren selama di Amerika ialah sama seperti Karen, pada jurusan teknologi juga. Shiren diterima menjadi calon pengajar, dan istimewanya, perjalanan pertamanya ialah menjadi pelopor pengajar pertama di salah satu daerah kecil Indonesia.

"Seperti inilah daerah ini. Cukup indah areanya, hanya saja minim wisatawan karena akses susah. Untuk pendidikan pun demikian alhasilnya. Jarang ada orang luar berkenan ke sini. Sekiranya Shiren hanya perlu mengajar semampunya. Di sini kita hanya belajar bahasa dasar dan menghitung," ungkap Pak Roman, Ketua Adat yang sudah cukup tua namun tegas wibawanya. 

Shiren tersenyum mendengarnya. Terdengar prihatin, tetapi juga membuatnya bersemangat. 

"Pak Roman, saya minta tolong kumpulkan warga remaja hingga usia produktif yang sekiranya ingin belajar. Sekaligus minta izin untuk memperkenalkan pula menghubungkan daerah ini dengan pembaharuan digital dalam negeri," izin Shiren tepat pada intinya. Waktunya tidak banyak, dia hanya satu bulan berada di sana. 

"Boleh Shiren, asalkan tidak merubah budaya dan adat maupun peraturan di sini. Sudah lama kita sadari kita berada di zaman dinamis. Maka kami persilakan  kamu untuk membantu," balas Pak Roman percaya.

Maka, dimulailah perjalanan Shiren. Shiren ke daerah tersebut juga bukan dengan tangan kosong. Dia bawa semua alat maupun tabung internet yang dia dapatkan sendiri, untuk bisa mengakses dunia tanpa harus ada sambungan sinyal. Shiren hanya seorang diri, namun dia mengajarkan serentak di layar lebar kepada warga yang telah dikumpulkan oleh Pak Roman sekitar dua puluh lima orang. Shiren bagi mereka ke pada empat divisi pendidikan bermacam. Pendidikan budaya-bahasa, teknologi, kesehatan, dan satu divisi khusus. 

Hari pertama Shiren tampilkan perkembangan pendidikan seperti apa yang dia ingin bangun di daerah itu. Baru per-hari dalam empat hari, Shiren mengajarkan pada setiap divisi bergantian. Memang Shiren lebih menggeluti teknologi. Meskipun demikian, selama SMA menjadi emas di SMAN 3 Cakrawala, ilmunya tentang berbagai bidang pun sangatlah tinggi, dan dengan kecakapan teknologinya-lah, Shiren mempermudah pembelajarannya. 

"Saya berterima kasih kalian berkenan mengikuti saya. Dalam berbudaya, sudah saya susunkan aransemen lagu yang juga bermacam untuk mendukung tarian kalian. Sudah saya pilih juga kreativitas batik yang perlu kalian perkaya elemen desain dan kainnya. Melalui tablet pinjaman saya, kalian juga telah rangkap ilmu-ilmu bahasa lain dari berbagai negara. 

"Dalam teknologi, sudah saya titipkan fasilitas perangkat lunak serta cara penggunaan ringkasnya. Semua panduan sudah saya susun sebelum saya ke sini. Ilmu teknologi di sini tidak berhenti untuk pembaharuan, tetapi juga untuk kalian merangkai duplikat-duplikat perangkat dari kabel dan untuk menciptakannya sendiri. Tersedia video tutorial pula untuk kalian. Di pendidikan teknologi, sudah saya bagikan bekal jurnalistik untuk memperkenalkan serta mengimpor-ekspor informasi terkini."

Shiren memaparkan evaluasi serta ringkasan informasi itu di forum setelah empat hari pengenalan sekaligus implementasi berlangsung. 

"Kemudian untuk pendidikan kesehatan, karena dokter di sini masih menerapkan pengobatan tradisional, saya sudah memberikan kalian pedoman serta alat kesehatan standar kecil (seperti untuk perawatan luka, pengadaan obat minimun mencakup penyakit umum, serta pengaksesan telemedicine). Kalian juga perlu bekerjasama dengan dokter luar untuk membentuk dokter spesialis daerah kalian sendiri.

"Untuk divisi khususnya, kalian adalah kunci. Divisi inilah pusat pendidikan pembangunan sekolah ke depannya. Sudah saya beri gambaran ilmu dan pelajaran apa saja yang perlu diajarkan, kurikulum serta ketentuan edukasi. Termasuk pengajaran logika berhitung maupun penalaran. Mengapa saya sebut divisi khusus, karena kalian harus belajar juga soal pendidikan etika. Karena seberapapun tinggi ilmu seseorang, bukti berpendidikannya sesungguhnya ada pada caranya bersikap."

Siang itu Shiren menetapkan sekaligus memberikan gambaran lebih. Itu setelah empat hari. Shiren juga memilih koordinator untuk mengatur pada setiap dari empat divisi pendidikannya tersebut. Koordinator inilah penanggung jawab masing-masing divisi supaya hasilnya efektif. Kemudian, hari-hari berikutnya, ialah perjalanan dan pengembangan yang luar biasa. Shiren tidak selalu diterima, namun dengan maksud baiknya, dia selalu mencoba meluruskan. Dia arahkan pelan-pelan. Tidak lupa, Shiren menikmati setiap momennya, mengabadikan melalui kamera. Namun, hanya pemandangan serta potret asli daerah tempatnya berada yang diunggah di media sosialnya. Dia tidak mengunggah progres serta pencapaiannya. Dia mendambakan kemajuan pendidikan ini tidak lagi untuk nama, tetapi secara sukarela dan fokus tujuan. 

Setiap perkembangan terjadi. Dalam satu bulan, daerah yang bukan apa-apa akhirnya memiliki pondasinya sendiri. Shiren percaya, kumpulan warga pilihan itu ke depannya akan menggenggam masa depannya sendiri. Mengikuti perkembangan sebagai bagian daerah Indonesia, bukan yang tersisihkan. 

"Terima kasih, Shiren, ini di luar ekspektasi kami. Satu bulan ini kamu seperti burung elang yang menangguhkan dan menguatkan daerah kami melalui perkembangannya. Karena dari bantuan kecil saja, transformasi tetap akan tercipta, dari kamu kita percaya. Sampai jumpa," salam Pak Roman, ketika Shiren berpamitan sembari membawa oleh-oleh, bekas pelukan, serta hadiah terbesar: kenangan sekaligus sejarah permulaan mimpinya.

Setelah pulang dari daerah itu, Shiren lanjut menuju daerah-daerah membutuhkan berikutnya. Setiap perjalanan yang sama, setiap proses yang jauh lebih variasi tanjakannya, memberitahunya bahwa pendidikan ialah pondasi yang tidak selalu dapat dikokohkan begitu saja, namun menyesuaikan tempat dan adaptasi tersendirinya. Kendati demikian, sekalinya pilar pendidikan itu dapat tertancap tegak, masa depan ialah aplikasi handphone yang tinggal dijalankan. Kita hanya perlu belajar akan ilmu-ilmu baru. Shiren semakin kuat akan tujuannya. Masa depan awal seperti apa yang akan dia ciptakan?

Ialah masa depan di mana ia dapat menciptakan pembangunan pendidikan sebagai aset untuk peningkatan perubahan baik di masa depan, bukan hanya dari dia. Namun dari tangannya menggenggam tangan berbagai orang untuk diajarkan dan saling membantu, dunia perubahan akan stabil bergerak. Itulah investasi Shiren selama akhir-akhir tahun ini. Seperti daerah pertama dalam sejarahnya, Shiren tahu sekarang daerah itu sudah mampu mencakar langit. Menjadi daerah kota yang tetap berbudaya dan berciri-khas. 

"Thank you, Karen, for some of your genius tech tools that you gave me to support me in realizing my dream at first," ucap Shiren melalui telepon kepada Karen setelah sekian lama mereka tidak berkabar.

"I'm happy for you! Now you're famous, huh? Eagle with wings. But they didn't knew who's behind it, you didn't showed yourself?" balas Karen di seberang sana. 

Shiren hanya tertawa renyah mendengarkan balasan Karen. Ya, Shiren memang sengaja tidak men-transparansikan identitasnya. Bahkan, dia hanya mengunggah foto atau tempatnya mengunjungi berbagai daerah setiap dia berlanjut berpindah tempat, lebih ke terlihat mensoroti wisatanya, alamnya, sehingga orang hanya mengira dia sedang jalan-jalan dan menjadi traveler. 

"Enough for them to know that I am an eagle," jawab Shiren singkat dan Shiren rasa cukup untuk Karen memikirkan asumsi lainnya sendiri.

Karena sejujurnya, Shiren juga terinspirasi oleh Karen yang menjadi bagian tim teknologi di Amerika, yang bukan atas namanya, tetapi atas nama timnya. Begitupun Shiren, atas nama elang. Hanya terdapat atas nama tersendiri, bukankah itu sama? Serupanya, tujuan Karen ialah perubahan di masa depannya, apa kontribusinya, dan tidak terlalu penting siapa dia. Sama halnya tujuan Shiren, karena selain visi akan pendidikan sebagai investasi pendidikan, visi lainnya ialah berkontribusi nyata karena dikenal sebagai anak emas waktu SMA saja tidak membuatnya merasa puas. 

"Sebab sebesar apapun nama asliku menjulang, pengabdian dan pencapaian sesungguhnya ialah nilai sebenarnya. Tujuan membangun pendidikan ya itulah tujuannya, biarlah menjadi tujuan murni yang tidak dicampur-tangankan tujuan pribadi," gumam Shiren dalam hati.

***

"Kurang lebih itu kisah di balik foto jalan-jalanku yang kalian lihat," tutup Shiren sambil tersenyum hangat, "Aku sendiri tidak di-drop-out ataupun mengundurkan diri. Sejujurnya tahun aku di Amerika hanya dua setengah tahun karena aku mengikuti program akselerasi pendidikan. Aku telah menyelesaikannya."

Semuanya kini jelas. Semua cerita dan kisah yang sesungguhnya sudah terungkap.

Olga, Tara, Nuel, dan Dimas sedari tadi menyimak Shiren dengan baik, mereka memberikan senyum sumringah dan merasa tergugah dengan ulasan cerita Shiren.

"Dan ayolah, teman-teman. Ini reuni yang berarti, kan? Aku tahu kita sedang akan membuat jurnal sejarah elang dan sayapnya. Tapi jangan seolah-olah kalian lupa bahwa kalian adalah sayap-sayapku, kan?" Shiren mendengus, tetapi diiringi tawa kecil. "Namun kalian memberi pemancingan bagus jadi aku bisa menceritakan cerita di jurnal ini secara natural apa adanya. Dan tentunya, dari awal sejarah itu ada, masa depanku kumulai tidaklah sendirian, karena kalian ialah koordinator pendidikan itu, yang update view baru bukan hanya aku."

"Ya, aku sebagai koordinator pendidikan budaya-bahasa," ucap Olga mengawali sambil menyengir.

"Aku sebagai koordinator teknologi," seling Tara.

"Aku koordinator kesehatan," susul Nuel.

"Aku koordinator khusus, dan kamu ketuanya Shiren," tambah Dimas terakhir sambil menatap penuh arti ke Shiren dan teman-temannya. "Selain itu, tentu saja Shiren, jangan tersinggung. Kita tidak lupa, kok kalau kamu menyelesaikan kuliahmu di Amerika. Karena bukankah kita berlima sudah saling janjian waktu lulus SMA untuk melanjutkan pendidikan pada bidang tertentu itu?"

Olga mengangguk semangat. "Kita juga tidak lupa, jangan terlewat disampaikan di jurnal cerita sejarah, bahwa kita sudah mencanangkan tim ini semenjak lulus SMA, bukan? Geng anak jenius SMAN 3 Cakrawala empat tahun silam, tim emas yang digadang-gadang, elang dan sayap-sayapnya yang perkasa. Hanya saja memang waktu itu baru dasar, bertujuan membangun Indonesia dari kolaborasi kita. Berkat Shiren yang terinspirasi dari Karen juga, akhirnya kita sama-sama menyegerakan kuliah dua setengah tahun dan tim ini dapat memiliki arah seperti sekarang."

Tara mengacungkan jempol. "Iya betul, tahun-tahun terakhir kita sudah dapat merealisasikan tujuan kita. Tentunya dengan bantuan perangkat dari Karen, teman Shiren di waktu awal. Aku merasa senang!"

Nuel menyenggol lengan tara singkat, sambil menatap setengah serius namun hangat. "Tapi jangan senang dulu, kita di sini juga sekaligus reuni untuk merencanakan bagaimana program berikutnya untuk pendidikan sebagai investasi masa depan, kan?"

"Benar, mari kita kembalikan keputusan dan rencananya kepada ketua," ujar Dimas sembari menatap wajahnya ke arah Shiren. "Sekiranya elang dan sayapnya akan merubah dunia dengan cara apalagi?"

Shiren menarik ujung bibirnya, merasa tertarik dan kembali tertantang.

"Mari kita diskusi terlebih dahulu, kemudian kita lihat seberapa jauh kita bisa membangun pendidikan untuk investasi masa depan." Shiren menyatukan kedua tangan di atas meja tempat dia dan teman-temannya melingkar mengobrol. "Mari kita mulai kembali perjalanan berikutnya!"

Bagi beberapa orang, pendidikan bukanlah tujuan utama. Namun untuk Shiren dan tim elang bersayapnya, alasannya bukan karena mereka tidak punya biaya atau punya tanggungan lain. Melainkan karena mereka berpikir bahwa pendidikan hanyalah penghalang yang mereka segerakan untuk selesai sebagai bekal. Sebab tujuan utamanya justru ialah meraih 'pendidikan' di luar 'pendidikan'. Menggunakan pendidikan sebagai investasi masa depan, dan dari situlah justru mereka yang paling diuntungkan dibandingkan daerah terbantu. Kenapa? Karena setiap Shiren beserta koordinator empat divisinya itu berpindah-pindah daerah, mereka sadar merekalah yang berkesempatan lebih banyak belajar. 

Mereka berkesempatan untuk menginvestasikan pendidikan, di mana itu merupakan investasi mahal yang harga masa depannya tidak sebanding apapun, yang mengubah sekaligus menjadikan dunia berada di dalam genggaman tangan kita sendiri.

"Sebelum daripada itu, aku juga hendak menginformasikan. Bahwa ke depannya program kita akan didukung pemerintah dan bisa bergerak mandiri, berkat rekomendasi Pak Roman, Ketua Adat yang daerahnya telah maju pesat setelah kita bantu." Shiren memamparkan tenang. "Selain itu, apabila kalian heran kenapa ideku justru menginvestasikan pendidikan bukan hal lain, ialah karena latar belakangku. Aku berasal dari daerah kecil, tetapi pada akhirnya bisa sekolah ke kota besar di SMAN 3 Cakrawala—hasil modal tekun pendidikanku. Aku jadi sadar betapa hebatnya pendidikan. Maka aku memutuskan demikian. Selain itu, Pak Roman yang merupakan Ayahku sendiri, menyediakan jalan untukku menjadikan daerah kecilnya sebagai percobaan investasi pendidikan di awal cerita—yang telah berhasil menjadi seperti sekarang. Dan aku rasa setelahnya maupun ke depannya, tujuan tulus kita akan selalu berarti."

Demi menginvestasikan pendidikan, untuk memberikan harapan pendidikan yang layak untuk khalayak demi masa depan cemerlang.

-TAMAT-


Biografi Singkat

 Shelma Atira Dewi, merupakan salah satu mahasiswa kesehatan di salah satu perguruan di Jawa Tengah. Kelahiran Pati, 28 Agustus 2003. Dia suka menulis sejak usia tiga belas tahun, dan berharap selalu dapat menuliskan cerita yang bermakna dan layak dibaca orang-orang. Salah satu karyanya, cerita pendek ini yang berjudul “Pendidikan Untuk Merubah Dunia”, ditulis dalam rangka menunjukkan bahwa untuk mengubah dunia bisa kita awali dengan pendidikan. Kembali lagi ke sosial masyarakat di mana pendidikan hanya sebatas untuk studi, bukan untuk implementasi besar dan sebagai bahan bakar mimpi perubahan masa depan. 

 Harapannya, cerita pendek ini dapat mengajak pembaca untuk menyadari bahwa pendidikan ialah anugerah yang apabila kita memilikinya, kita bisa berbagi. Apabila belum memiliki, kita harus mengejar dan terbuka untuk belajar. Serta mengetahui betul bahwa belajar tidak hanya sekadar dari ‘pendidikan’ yang didiktaktorkan beberapa orang dengan sebutan ‘sekolah’, tetapi pengalaman juga merupakan pendidikan yang sama berharga nilainya.

Temukan dan hubungi Shelma melalui:

Wattpad: @shelmaatira

Instagram: @atiradw

Email: shelmatiraa@gmail.com



Kamis, 30 Desember 2021

Manusia yang Kehilangan Dunianya

Ditulis oleh: Shelma Atira.

Note: Cerita pendek ini diikutkan dalam kontes menulis Indonesiana.Id. Penulis mengupload cerita pendek ini di sini sebagai arsip.


***

 "Yesa, majalahnya bagus, ya!" Kenzo, anak laki-laki usia empat belas tahunan berteriak girang pada Yesa kecil sambil menunjukkan gambar bacaan majalah. Senyum Yesa kecil bertemuan dengan senyum Kenzo. Dua bersaudara yang terpaut usia lima tahun itu saling menyimak isi majalah dengan mata berbinar. 

Namun, semuanya tidak berjalan menyenangkan begitu saja. Seorang wanita dewasa datang merampas buku majalah itu, lantas meraih tangan Kenzo, anak laki-lakinya sambil memasang wajah murka.

"Kenzo! Sudah berapa kali Mama bilangin jangan dekat-dekat sama Yesa! Barusan apa juga yang kamu tunjukin ke dia?! Majalah?! Yesa itu autis, mana bisa dia paham yang kamu tunjukkin! Mulai besok Mama bakal taruh Yesa ke panti asuhan khusus anak berkebutuhan khusus. Dia cuma jadi beban, Kenzo. Jangan dekat-dekat Yesa, dia cuma anak pembawa sial!" Mama menyeru kasar kepada Kenzo sambil menjauhkannya dari Yesa. Yesa, anak perempuan kecil yang menyaksikan itu kaku terdiam di tempat. Terlihat tidak begitu paham, tapi apa yang disaksikannya, di mana tangan kakaknya digenggam kasar membuatnya tanpa sadar bertindak sendirinya.

Bangkit, Yesa kecil berlari mendekati Mama dan Kenzo, lantas berusaha melepas tangan Mamanya yang meremat tangan Kenzo dengan kasar.

"Mama, thangan Kenzo akit! Jhangan ditalik-talik!" pekik Yesa sambil berusaha berbicara meski tidak jelas. Mata anak perempuan itu berkaca-kaca. Apa yang dilakukan Mamanya terhadap kakaknya serasa ikut menyakitinya.

"YESA! JANGAN GANGGU MAMA!" Lengkingan suara Mama jauh lebih menggelegar membuat hati Kenzo dan Yesa kecil bergetar. Tangan Mama mulai meraih tangan Yesa yang berusaha mencekalnya, kemudian Mama menjauhkan tangan Yesa paksa, tapi, yang terjadi berikutnya jauh menggilaskan hati.

Di saat Mama melempar tangan Yesa menjauh, tubuh anak perempuan itu ikut terdorong ke belakang. Yesa kecil terpental kurang keseimbangan. Akhirnya, punggungnya terbentur lemari kaca cukup kencang. Di saat itulah, berbagai porselen di dalamnya bergoyangan. Salah satu cangkir kaca bergerak hebat, jatuh keluar menuju tempat Yesa berdiri. Detik kemudian, suara pecahan kaca terdengar. Cangkir tersebut berbenturan dengan kepala belakang anak perempuan itu, pecah berkeping-keping membuat kulit kepala Yesa kecil berdarah. Cairan merah menetes deras, Yesa kehilangan kesadaran seketika.

Kenzo yang melihat kejadian itu membelalakkan matanya, terpaku sejenak. Sontak melepas pegangan tangan Mamanya dan mendatangi adik kecilnya.

"Yesa!"

***

Sepuluh tahun berlalu. Itu adalah kejadian di mana awal mula aku kehilangan adik kesayanganku. Dia bukan adik yang sempurna seperti adik orang lain. Dia tidak bisa berbicara lancar. Dia sulit bersosial. Dia suka bermain rumah-rumahan sambil tertawa sendiri. 

Tapi dia tetaplah Yesa, adikku. Adik yang selalu bergembira ketika kuceritakan dia banyak hal. Tidak meremehkanku ketika aku membahas hal kecil tentang majalah anak-anak yang dibelikan Mama untukku. 

"Kenzo, hidupmu sekarang berantakan, ya." Haris, teman sepermainanku bicara menertawakanku sembari mengisap rokoknya. Hari ini kami berdua berada di jalan sempit antara rumah-rumah sepi sambil menikmati barang kami.

"Berantakan, katamu?" Aku berdecih. "Aku melakukan apa yang memang aku inginkan, Haris. Terlihat kacau bukan berarti itu berantakan."

Ya. Sepuluh tahun berlalu semenjak adikku mati. Tapi aku tak menyesali apa yang telah kuperbuat sepuluh tahun belakangan ini.

Aku merilekskan tubuh. Menikmati udara malam yang merangsek masuk ke dalam kulitku, memberi terpaan dingin dan sejuk sekaligus. Udara bergerak semilir. Entah kenapa malam ini terlalu kencang hingga banyak dedaunan pohon rontok dan terbang di sekelilingku. Sebuah buku tipis yang agak kumal, ikut terbang dan beberapa menit baru kusadari keberadaannya berada di hadapanku. 

"Manusia yang Kehilangan Dunianya," bacaku pada judulnya, "Karya Anesya Roman."

Itulah momen terakhir, sebelum tiba-tiba perumahan sepi itu terdengar berisik akan langkah kaki berderap. Yang bisa kulihat adalah para polisi mendatangi aku dan Haris. Aku dan kawanku yang sedang bersamaan menikmati barang kami membatu di tempat, membiarkan mereka meringkus kami.

Kejadian itu berlangsung cepat. Kata 'hidup berantakan' yang dimaksud Haris berputar terus di kepalaku. Di mana sekarang kami berdua entah sejak kapan telah masuk penjara, atas kasus narkoba yang kami konsumsi. Buku kumal yang kutemukan masih kubawa ke dalam penjara dengan izin susah payah. Buku itu sangat menarik perhatianku. Isi buku itu mengingatkanku akan banyak hal.

"Hari ini ada kegiatan hiburan, lho. Khusus para narapidana. Katanya sih acara hiburan, tapi nggak tahu gimana konsepnya." Haris berceletuk santai, seolah dia sudah terbiasa berada di balik jeruji besi ini dan memiliki banyak informasi beserta pengalaman.

"Entahlah, aku nggak tertarik," elakku.

"Yakin?" Pertanyaan Haris membuatku sepenuhnya menoleh padanya. "Ada persembahan dari buku 'Manusia yang Kehilangan Dunianya'. Ternyata buku itu terkenal juga. Isinya emang beneran motivasi-motivasi gitu?"

Aku terkejut setengah mati. 

"Kamu nggak bohong, kan?" tanyaku refleks ke Haris, memberi tatapan bersemangat.

Apa yang kemudian menjadi kenyataannya membuktikan ucapan kawanku itu. Kami, beberapa narapidana berkumpul di satu ruangan untuk penceritaan ulang buku itu dalam tancap layar lebar video. Video itu diberikan beberapa gambaran ilustrasi. Sekiranya, video itu berdurasi sepuluh menit. Semua orang yang ada di situ menyaksikan dengan penuh perhatian.

'Manusia yang Kehilangan Dunianya', oleh Anesya Roman.

Kisah tentang remaja yang kehilangan rumahnya. Dia merasa hidupnya hampa. Saking hampanya, dia melakukan banyak kejahatan untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, semuanya berakhir sia-sia. Sebelum pada akhirnya, kematian merenggut hidupnya. Dia menderita darah tinggi. Di ujung kematiannya, bayangan memori menyenangkan terekam. Di mana di ujung kematiannya dia bisa tersenyum lagi setelah sekian lama usai mengingatnya. Di ujung kematiannya, dia justru menginginkan sesuatu.

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku mengikuti kata-kata yang kuhapal dan sama persis dengan yang ada di video, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Karena meski semuanya tak lagi berarti, meski aku tak lagi punya rumah, orang-orang yang dulunya kucintai pasti tak menginginkan aku hidup 'rusak' seperti saat ini.

Itu pelajaran yang kutangkap dari buku itu. Aku memang suka baca buku ketika kecil. Tapi kala menemukan buku kumal suatu hari di jalanan itu, aku tak menyangka akan begitu tertampar akan isi di dalamnya. Buku terbitan setahun lalu yang sepertinya tak sengaja terbuang oleh seseorang hingga aku menemukannya.

Sepuluh menit berlangsung. Hiburan yang lebih kusebut sebagai pelajaran itu berakhir. Tersisa credit siapa yang ikut serta dalam pembuatan video visual dari buku itu. Para narapidana yang menyaksikan mulai kembali ke penjara satu persatu. Hingga aku tak menyadari bahwa hanya aku yang tersisa di situ. Haris pun tak ada lagi di sana. 

Nyatanya, tancap layar lebar itu masih menampilkan video tambahan. Di akhir itu, menampakkan foto si penulis buku, yang membuat aku terhenyak betapa cantiknya Anesya Roman, penulis 'Manusia yang Kehilangan Dunianya.'

Di akhir, sebagai penutup sungguhan. Aku bisa melihat quotes yang dipaparkan.

"Dari hidup kita belajar, tentang memaafkan dan menerima segala keadaan. Tidak dengan menelan kenegatifan mentah-mentah dan melakukan tindakan tidak terpuji. Aku tahu kamu lelah. Ambil jeda sejenak, tapi bangkitlah lagi, sebab dunia suatu hari akan kembali cerah, dan rumahmu adalah tentang apa yang kamu pikirkan tentang hidupmu sendiri."

Aku tak benar-benar membaca quotes itu, seperti kebiasaanku mengikuti isi video sebab sungguhan hapal kata-katanya. Tapi aku sungguhan benar-benar mendengar ada seseorang yang merapalkan itu, bukan dari video. Bukan juga dari mulutku.

"Kata-kata yang bagus, bukan?" Suara seseorang menyapa telingaku. Detik kemudian, remaja muda cantik duduk di sebelahku. Mungkin dialah yang barusan merapalkan quotes itu. Aku seperti mengenalnya. 

Remaja itu ... Anesya Roman.

"I-iya bagus sekali!" balasku semangat  agak terbata. Sangat kaget kenapa penulis buku itu bisa ada di sini juga. 

"Kamu tahu? Aku datang ke sini karena salah satu penjaga penjara yang mengenalku memberitahuku ada narapidana yang begitu mengagumi bukuku. Aku jadi penasaran siapa dia, dan sedikit mengulik tentang hidupmu, penyebabmu masuk penjara juga. Namamu Kenzo, kan?"

Aku mengangguk. Penulis itu mulai bicara lagi.

"Katanya kamu kehilangan adikmu di usia empat belas tahun, ya? Aku turut berduka cita tentang itu. Ada kabar lagi bahwa Mamamu meninggal tak lama kemudian. Apakah dia sebegitu terlukanya karena anaknya meninggal? Lagi, Kenzo, apa yang kamu lakukan sampai mengonsumi narkoba? Kulihat dari tampilanmu kamu bukanlah anak nakal."

Aku terhenyak. Menyimak kata-kata  penulis muda tersebut dengan jelas. 

"Selain suka menulis, kamu juga suka mengulik hidup orang, ya," seruku menyindir, tapi dengan maksud bergurau, yang membuat perempuan muda itu tertawa kecil mendengarnya. "Aku suka bukumu. Karena aku rasa bisa ikut merasakan perasaan tokoh yang kehilangan rumahnya. Tentang aku yang mengonsumsi narkoba, lebih tepatnya aku ingin meredakan rasa pahit hatiku. Dengan narkoba itu, pikiranku bisa terbang ke mana-mana dan lukaku terasa terangkat meski sejenak. Sekarang aku jadi tak tahu bagaimana melegakannya usai masuk penjara, tapi bukumu membantuku banyak untuk sadar dan belajar."

Sang penulis menatapku baik-baik. Tatapannya tak seramah sebelumnya, sebab yang kulihat sekarang adalah mukanya yang kemerahan, dengan mata berkaca-kaca. Semenyedihkan itukah ceritaku barusan?

"Aku ke sini tidak untuk bertemu penggemar, Kenzo." Si penulis muda itu menatapku sedih, entah mengapa. "Aku ingin bertemu dengan kakakku yang hanya tahu adiknya sudah meninggal. Aku Yesa, Kakak. Sejujurnya aku ke sini setelah seseorang memberitahuku keberadaanmu. Selama ini kamu ke mana, Kak? Kudengar kamu tinggal tidak tahu arah. Tapi aku tak pernah menahu kamu terjerat kasus narkoba. Kudengar Mama meninggal. Kakak berhenti sekolah. Aku kembali ke rumah beberapa tahun setelahnya tapi tidak ada orang. Aku masih hidup, Kak. Mama atau bahkan orang-orang sekitar, berusaha menutupi keberadaanku sebab mereka merasa aku gila. Orang sekitar hanya tahu bahwa aku menggila sampai melukai diriku dengan menabrakkan diri di lemari kaca. Padahal Mama pelakunya. Kakak, kenapa Mama jahat sekali? Kenapa dia hanya sayang Kakak, padahal aku anak kandungnya sedangkan Kakak anak adopsi?

"Bertahun-tahun aku tenggelam dalam duniaku sendiri, Kak. Aku mengobati diriku sendiri, berjuang supaya bisa bicara jelas dan mampu berpikir layaknya manusia normal. Imajinasiku besar sampai aku bisa menjadi penulis terkenal. Anesya Roman hanya nama pena, tanpa arti berarti. Buku yang Kakak baca, sebetulnya kutulis untuk menggambarkan hidupku dalam bentuk lain, tapi aku tak menyangka Kakak akan merasakan hal serupa."

Aku tersentak bukan main. Jadi, selama ini, penulis yang kukagumi adalah ... adikku sendiri? 

Yesa, adik kesayanganku yang kurindukan melebihi apapun ... masih hidup? Tuhan, apa yang sesungguhnya sedang terjadi hari ini?

"Kalau begitu, Yesa. Biar kuberi tahu sesuatu." Aku terdiam sebentar, mengingat salah satu perbuatanku sepuluh tahun belakangan yang anehnya tak kusesali sama sekali. "Mama mati selang kejadian itu bukan karena sakit. Mama sama sekali tak menyesal telah melukaimu. Dia justru kian membencimu. Jadi karena aku tak tahan, aku membunuhnya, Yesa. Aku membunuhnya untukmu. Mama tidak mati karena stres. Aku yang melakukannya. Tidak ada yang tahu itu."

Penjabaranku kemudian gantian membuat Yesa tergugu di tempat. Aku hanya menangkap muka pucat pasinya. Entah sejak kapan dia mulai menangis.

"Aku merasa mengenali wajahmu, Yesa. Tapi aku sudah percaya adikku mati. Namamu pun berbeda. Adikku autis sehingga tak mungkin dia bisa berbicara jelas sepertimu. Jika memang benar kamu adikku, Yesa. Jika memang benar kamu telah kembali. Jika memang berarti pertemuan ini pula untukmu. 

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku yang diiringi Yesa sekaligus, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Setelah semua sisa masalah ini berakhir, aku dan Yesa akan tinggal bersama. Pasti. Untuk menjadi manusia yang tidak lagi kehilangan dunianya, untuk kembali percaya bahwa di masa depan, kami masih punya hidup benderang untuk dilalui dengan kebahagiaan. 


-TAMAT-

Jumat, 29 Oktober 2021

Anggar dan Tekadnya

 Ditulis oleh: Shelma Atira

〰️〰️

"Anggar, mukamu kenapa, Nak?" Abah menyambut kedatanganku dengan suram. Mukanya pucat pasi melihat keadaanku. Koran yang biasanya dia baca khidmat sampai tidak memperhatikan lingkungan sekitar diletakkannya pelan di atas meja, kala matanya menangkap kedatanganku dengan muka memar dihiasi darah.

"Tadi habis jatuh, di jalan," jawabku seadanya, tidak tahu semestinya harus menjawab apa.

"Anggar, jangan bohong!" Abah mendekat. Ruang tamu sepi itu membuat suara Abah jadi lebih terdengar menggelegar. Tangannya meraih sebelah pundakku, menatapku lekat. "Kamu habis bertengkar, kan? Mana ada jatuh sampai muka lebam begitu?! Abah tahu itu!"

Aku mendesah, merasa tidak akan menang dari Abah karena beliau memang benar. Usai pulang sekolah, aku memang bertengkar dengan seseorang. Terlihat jelas dari tampilanku. Aku tak bisa mengelak dari Abah, pasalnya baju putih abuku juga sobek di beberapa bagian.

"Kenapa, Bah?" Aku menatap Abah balik, tepat di kedua matanya. Kusingkirkan tangannya yang menyentuh pundakku. "Kenapa marah-marah begitu? Abah takut reputasi Abah sebagai tokoh masyarakat terganggu? Abah takut Anggar malu-maluin Abah? Tenang aja, Bah. Yang Anggar lakuin bukan tanpa alasan, dan Anggar bakal nyelesain urusan yang telah Anggar mulai sendiri."

"Anggar ...."

Abah nampak menunduk seraya memanggil namaku. Namun akupun terlalu lelah untuk memberinya respon. Aku juga lelah untuk dihunjami kata-kata.

"Jangan sekarang, ya Bah. Anggar capek. Kalau Abah nggak tahu apa-apa, nggak usah teriak-teriak ke Anggar."

Usai mengatakan hal tersebut, aku melengos begitu saja. Bukan karena tidak menghargai Abah. Bukan karena membencinya hingga tidak ingin memberinya tanggapan. Hanya saja...

hanya saja ada sesuatu hal besar yang hendak aku lakukan, dan aku tidak ingin Abah tahu perihal itu untuk sekarang.

***

Jika ada satu orang yang aku hargai dengan sangat, itu bukanlah Abah. Tetapi temanku sendiri, Nado.

Nado adalah lelaki historikus yang menyelamatkan bangku SMA-ku. Dia menegurku kala merokok diam-diam di belakang sekolah. Dia yang membuatku jauh lebih niat untuk bersekolah. Katanya, 'sekolah bukan semata ngebuat lo jadi pinter, Anggar. Tapi supaya lo lebih bisa mikir mana yang bener dan salah pakai otak.'


Dia datang tiba-tiba saat MOS sebagai anak OSIS. Menyebalkan memang. Tapi semua kata-kata yang diucapkan tidak pernah meleset menembus hatiku sehingga harga diriku tertarik untuk merubah siklus hidupku ke siswa SMA pada umumnya, tidak neko-neko.

Jadi.

Jadi tidak bisa kubiarkan setelah kutahu seminggu lalu Nado masuk rumah sakit. Nado menjadi korban salah sasaran. Pelakunya hanya pergi tanpa rasa bersalah.

"Lo Anggar, kan? Mantan geng Estra90? Bukannya udah tobat, lo? Gara-gara Abah lo orang penting, ya? Kerasukan apa tiba-tiba jadi orang bener? Gue nggak ada urusan sama lo, ya Nggar. Sekarang minggir." Pelaku yang melukai Nado menyuruhku untuk meninggalkan lapangan tempat dia sedang hendak bertarung dengan geng lain. Aku berada tepat di hadapannya, tengah lapangan dan menghentikan waktu berharganya.

Tapi, aku tetap kukuh. Aku tidak ingin minggir.

"Minggu lalu nggak cukup buat lo kapok, Nggar? Dan lo dateng sendirian lagi? Udah nggak dianggep geng Estra90 lo? Mau lo apa, sih Nggar?"

Aku menggeleng. Kali ini berbeda. "Lo salah, Rey. Kali ini gue bawa orang."

Aku menjentikkan jariku ke angkasa, untuk memberi aba-aba pada mantan geng Estra90-ku, yang bersedia membantuku karena kami masih berteman. Mereka akan muncul dari tempat persembunyian area situ usai mendengar jentikan jariku. Tapi, sesuatu aneh terjadi. Aku tak mendengar derap langkah kaki semua kubuku. Geng yang hendak bertarung dengan Rey di belakangku juga terdengar tidak bersuara.

Detik kemudian, lapangan itu dipenuhi asap. Terdengar beberapa suara orang dewasa yang menyuruh kami berhenti berseteru. Baru aku sibuk berpikir, sekelilingku tahu-tahu sudah dipenuhi gas air mata. Aku tak bisa melihat keberadaan siapapun. Hendak aku menjauh dari situ, sesuatu keras menonjok pipiku hingga aku tersungkur cukup jauh.

Aku panik.

Penuh kesadaran, aku berusaha bangkit untuk menyadari siapa yang barusan menghantamkan tinjunya padaku, namun detik kala melihat sosok yang muncul di balik pedihnya gas air mata, aku jadi tidak berkutik. Sosok familier itu menatapku dengan mata menyalak, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dan melihatku penuh amarah.

Aku benar-benar membatu. Orang itu adalah ...

"Abah?"

Usai dari situ, Abah tak bicara apa-apa. Dia juga tak menanyakan apa yang sebetulnya aku rencanakan. Beliau tak lagi mengkhawatirkan diriku. Abah tak menjelaskan mengapa dia tiba-tiba ada di situ. Satu hal yang aku sendiri tak mengerti ialah mengapa barusan dia menonjok mukaku penuh perasaan, hingga aku merasa tulang pipiku akan patah.

Abah mengajakku pergi ke suatu tempat, menjauh dari situ. Setelah berpapasan dengan Abah, aku tak lagi terpikirkan urusanku datang ke lapangan tadi. Aku juga tak lagi memikirkan Rey. Aku hanya melihat ke mana Abah akan mengajakku pergi, dan benar saja. Abah membawaku ke rumah sakit tempat Nado berada.

Sekarang kami berada di ruangan bau obat-obatan Nado, di mana laki-laki itu menyapaku ramah dengan senyumnya, namun sekaligus heran kenapa aku mendatanginya bersama Abah.

"Urusanmu sudah selesai. Abah mau keluar dulu." Usai mengantarku ke ruangan Nado, Abah hendak keluar ruangan sendiri dengan tidak jelasnya. Banyak pertanyaan yang bergumul dalam benakku. Dan Abah terasa sangat aneh, sangat membuatku terguncang sebab seolah mengetahui apa alasan semua rencanaku, dia mengantarku ke tempat Nado.

"Abah, tunggu." Kali ini aku mencekal tangan Abah.

"Kenapa?" Abah menoleh ke belakang, ke arahku. "Sekarang baru mau jelasin ada apanya? Kenapa nggak jujur sama Abah? Kamu tahu, Nggar? Abah sangat kecewa. Awalnya Abah nggak peduli. Tapi setelah menemukan kabar Nado, kawan baikmu masuk rumah sakit, Abah tahu itu ada hubungannya sama keadaanmu. Rey, orang yang barusan kamu mau tantang itu orang yang udah nyelakain banyak orang selain Nado juga. Jadi Abah manggil orang berwenang, bertepatan Abah tahu lokasi untuk menyergapnya—di mana pasti pulang sekolah hari ini kamu bakal ke sana. Ke lapangan itu."

"Abah ...." Aku sungguh tidak bisa berkata-kata. Tapi, bukan hanya itu yang semestinya Abah tangkap. Abah hanya mengerti sebagian. "Anggar ngelakuin ini juga demi buat Rey berhenti bertingkah, Abah. Minggu lalu pas Anggar pulang dengan badan hancur lebur, itu adalah saat Anggar pengen berdamai dengan dia, ngajak dia berhenti berulah karena tawurannya yang  brutal mencelakai orang tak bersalah juga. Mendengar maksud Anggar, Rey dengan bebas tanpa aba-aba nyerang Anggar, tapi Anggar nggak bales. Hari ini Anggar pengen pakai cara berbeda, ngasih dia pelajaran. Mungkin agak salah dengan manfaatin geng lama Anggar, tapi. Tapi satu hal yang nggak Abah paham betul, Anggar ngelakuin ini untuk Nado.

"Nado ngajarin Anggar untuk ngelakuin hal yang bener. Apa yang Anggar hendak lakuin hari ini memang ide Anggar sendiri. Nado, teman Anggar itu suka sekali cerita sejarah. Dia pernah memotivasi Anggar juga untuk ikut membuat sejarah, untuk diri Anggar sendiri, dalam hal benar. Sekalipun memanfaatkan geng Estra90. Hari ini Abah, hari sumpah pemuda. Kalau rencana Anggar hari ini berhasil, setidaknya Anggar pengen menghentikan kekacauan yang terus Rey buat dengan berseteru bersama geng lain tanpa henti, kekacauan yang melukai korban tak berdosa. Anggar juga pengen melindungi lingkungan tempat Anggar tinggal, tentunya orang-orang tersayang Anggar. Luka yang Nado dapat cukup ngebuat Anggar sadar untuk Anggar bertindak, sekaligus menunjukkan tekad pemuda yang menciptakan perdamaian meski Anggar akui tak sepenuhnya tepat."

Abah mendengarkan penjelasanku utuh-utuh. Di ruangan itu akupun tahu, Nado sedang menyimakku pula. Tapi aku tahu semuanya sudah berakhir. Abah sebagai tokoh masyarakat pasti sudah memanggil orang kepercayaannya untuk menghentikan kerusuhan.

"Abah tidak tahu itu. Makanya Abah kecewa. Abah kecewa ... sama diri Abah sendiri karena tidak mempercayai kamu, Nggar. Anak Abah sendiri." Raut tegas Abah yang digumuli gestur marah kini melembut, bahkan matanya cenderung dipenuhi penyesalan dan kesedihan. Abah mendekat, memelukku tiba-tiba.

"Kamu tetap berhasil, Anggar. Niat baikmu saja sudah cukup menjadi sejarah, meski banyak orang tidak tahu itu. Oleh sebabnya di tengah gas air mata itu, Abah menonjokmu. Itu memang tonjokkan atas dirimu yang terlalu sembrono dan membuat Abah takut. Tapi tonjokan itu juga berarti ... bahwa Abah bangga dengan apa yang Anggar lakukan."

-TAMAT-

Selasa, 24 Agustus 2021

Ambisi Pengakhiran Penjajahan

Ditulis oleh: Shelma Atira


 Indonesia, 1940.


"Lari, Dimas! Jangan terus di sini!" Seorang wanita paruh baya meneriaki anak laki-lakinya yang berusia sekitar empat belas tahun untuk segera lari. Kaki wanita itu tersangkut kayu seusai tadinya tersandung cukup keras hingga tubuhnya ambruk. Wanita tua itu meringis sakit sekaligus khawatir. Bukan. Bukan karena dia baru saja terjatuh. Dia sakit karena harus memaksa anaknya pergi tanpa dirinya. Khawatir, khawatir karena anaknya hanya menangis kencang melihat tubuh ringkih Ibunya, semakin keras terisak mendengar suara tembakan senapan tentara Jepang yang menggelegar di angkasa.

Anak itu menatap Ibunya sendu sambil menggigit bibir bawah. Air mata membanjiri pipinya yang kusam. Deru lari para pribumi lainnya terdengar mendesak, penuh ketakutan. Akhirnya, anak itu menegakkan lututnya. Dicondongkan tubuhnya sekilas untuk memeluk tubuh tersungkur Ibunya di tanah. Sebelum berbalik, anak itu menegaskan kepalanya. Ditatapnya Ibunya dengan mata penuh tekad, tapi masih dibanjiri air mata.

"Ibu, kalau aku lari sama saja rasanya aku mati. Hidup tanpa Ibu tidak ada artinya lagi." Anak itu mengambil telapak tangan kanan Ibunya yang terbebas. Diremasnya kuat, sebelum akhirnya melepasnya dengan berat. "Tapi karena Ibu meminta, aku akan pergi. Akan kubuat mereka membayar ini semua, Ibu."

Anak itu memberanikan dirinya untuk segera bangkit. Dalam hati meneguhkan bahwa kehilangan Ibunya akan dia balas hingga titik darah penghabisan.

Sambil menangis, anak itu sungguhan berbalik, kabur bersama dengan pribumi lainnya. Tanpa menengok lagi ke belakang, anak lelaki itu berlari menembus angin dengan dada sesak dan berdarah. Hari ini hatinya serasa hancur berkeping-keping. Hari ini, dia murni kehilangan segalanya.

Dengan segenap kekuatannya, dia terpaksa merelakan satu-satunya orang berharga yang tersisa di hidupnya.

"Ibu, selamat tinggal."


***


Indonesia, 1945.

Anak laki-laki itu ialah aku. Itulah cuplikan momen paling menyesakkan di hidupku.

Aku, Ibuku, bersama beberapa warga pribumi lain berusaha untuk kabur dari wilayah yang seperti neraka itu untuk kami. Di situ, tentara Jepang melakukan banyak hal menakutkan. Siksaan, perbudakan, penahanan tanpa alasan, hingga hukuman mati membuat kami mau tidak mau terpaksa tunduk. 

Ibuku ialah pekerja pembuat makanan untuk tentara Jepang. Tetapi, pernah aku dengar dia kerap dipaksa menjadi budak hal tak senonoh oleh mereka. Hari itu, Ibu mendatangiku untuk mengajakku pergi usai dia kembali dari markas Jepang. Ibu takut aku akan dijadikan pekerja tanpa upah, tanpa batas waktu dengan jatah pangan tak setimpal secara paksa. 

Aku berhasil kabur, tapi Ibu tidak.

"Dimas, sekarang kita harus segera ke wilayah perbatasan," tegas Pak Syahrul, pemimpin pasukan pemberontak Indonesia yang menjaga wilayah tempatku dari serdadu Jepang. 

Aku adalah rekan pemimpinnya. Lima tahun berlalu, kini usiaku menginjak sembilan belas tahun. Waktu yang panjang tapi cukup singkat, kuhabiskan waktuku menjadi prajurit dan pelindung terlatih untuk tanah airku sendiri. Ambisi besar dan rasa haus keadilan membuatku menjadi tokoh penting di kota baruku tinggal, usai dulunya aku diselamatkan dan dirawat bersama anak terlantar lainnya.

"Baik, Pak. Kita memang harus segera. Jepang sudah di ujung tanduk kekalahan. Ini waktu terbaik kita untuk menyerang." Aku mempersiapkan senjataku. Pakaian tempur khusus sudah terpakai di tubuh.

Usai Jepang menyerang Pearl Harbour, Amerika, negara lawannya itu mulai membalas dan memberi serangan nuklir pada dua kota besar Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Bom nuklir berkekuatan tinggi itu sekejap memusnahkan kota penting beserta isinya, termasuk manusianya. Sungguh kabar dahsyat dan menggegerkan dunia. Tapi itulah momentum yang tepat, kurasa, untuk mencuri titik-titik lemah selagi Jepang sedang kepayahan.

Hari ini, 15 Agustus 1945, aku menuju wilayah perbatasan, tempat di mana pusat markas Jepang berada. Sebagai pemimpin juga, di usia muda, aku sudah banyak mengikuti perang. Pemberontakan yang membuatku sendiri sekarat sudah kucicipi dengan penuh kesakitan. Tapi, haus darahku pada tentara musuh itu tak berhenti menyalak dan berkobar.

"Serang!" perintahku tatkala sudah berada di hadapan markas musuh. Perencanaan sudah kupikirkan dengan membentuk formasi pas sesuai prajurit lain yang bertempur bersamaku. Pak Syahrul, mengikuti di belakangku.

Aku mulai menggencarkan serangan. Tombak di tangan kananku mulai menusuk tubuh para tentara Jepang yang tidak sigap. Seni bela diriku keluar secara totalitas. Pukulan telak kuhantamkan bagian vital musuh untuk melemahkan mereka secara cepat.

"Bagaimana? Bagian timur sudah diatasi?" tanya Pak Syahrul menghampiriku. Wajah lelaki tua itu bersimbah keringat. Dia bertanya agak terbata, sambil memegang perutnya dengan muka tak terbaca. Dia menghampiriku dengan agak pincang.

Aku sontak tidak fokus pada pertanyaannya. Aku langsung memperhatikan pada apa yang terjadi padanya. "Pak Syahrul? Bapak baik-baik saja?" Aku bertanya cemas, sontak mengamit lengannya dan membawanya menjauh dari medan perang. "Bagian timur sudah kuurus. Rencana kita berjalan lancar. Aku tahu Bapak sudah melakukan tugas Bapak dengan baik. Sekarang keselamatan Bapak adalah kepentingan saya! Mari kembali, Pak!"

Tak butuh waktu lama, Pak Syahrul ditangani di tenda perawatan terdekat yang merupakan milik pasukan tanah air sendiri. Rupanya, Pak Syahrul terkena tembakan di bagian perut. Lukanya tidak cukup dalam, tetapi butuh waktu berhari-hari untuk sembuh total.

Tak membuang waktu, aku segera mencari informasi tambahan dan petunjuk darurat dari sumber yang kupercaya. Pak Ruslan, pemata-mata handal sekaligus tokoh penarik simpati Jepang mendatangiku di ruang pertemuan tertutup sesuai panggilanku.

"Izin menyampaikan informasi tambahan," seru Pak Ruslan dengan sorot mata serius. "Ir. Soekarno tidak ingin bertindak langsung atas kemerdekaan. Kabarnya, golongan muda membawa Ir. Soekarno beserta Hatta ke Rengasdengklok untuk menyadarkan mereka. Guna mempersiapkan kemerdekaan secara keseluruhan, kita perlu ikut andil untuk membantai dan mempersiapkan perebutan wilayah tambahan pasca kemerdekaan jika itu berhasil!"

Aku mendengarkan saksama lagi sisa cerita Pak Ruslan mengenai detail rencana serta permasalahan terutama pada golongan muda dan tua. Detik-detik penjelasan Pak Ruslan membuat jantungku berdegup kencang entah mengapa karena momen ini terasa menegangkan.

Inilah momen yang kutunggu selama ini. Kemerdekaan Indonesia.

Aku sontak membantu banyak persiapan. Kusiapkan pasukan untuk mencegah serangan balasan dadakan Jepang ketika hari-H tiba. Waktu demi waktu bergulir cepat. Kabar dan informasi baru datang silih berganti.

Tak terasa, hari ini tiba. Tanggal 17 Agustus 1945. Seperti rencana, aku mengirim pasukan untuk menjaga wilayah sekitar pemroklamasian kemerdekaan. Ir. Soekarno dan Hatta berhasil dibujuk untuk memulai kemerdekaan Indonesia sendiri. Hari itu, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, pukul 11.30 waktu Nippon, Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi ketikan Sayuti Melik. Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusomo dan SK Trimurti, mengibarkan bendera merah putih gagah itu di tiang putih menuju langit atas. Angin berembus tenang. Mentari menyibakkan sinarnya anggun. Harap dan mimpi para pribumi yang menyaksikan itu mengambang di angkasa, seolah menanti waktu untuk benar-benar terwujudkan, akan kebebasan sesungguhnya mereka. Kebebasan tanpa penjajahan. Kebebasan Indonesia.

Suara Ir. Soekarno yang berkumandang disambut oleh sorakan rakyat. Orang-orang mengepalkan tinju ke atas. Mendukung penyiksaan dari negara lain ini berakhir.

Kemerdekaan itu telah menjadi nyata.

"Dimas, ayo kita urus sisanya." Pak Ruslan memberiku arahan. Pak Syahrul tidak ikut menemaniku karena seusai pertempuran kemarin, tubuhnya terluka. Maka hanya aku yang memimpin bagianku sendiri, tapi aku rasa semuanya telah jauh lebih mudah.

Aku segera mengurus sisanya. Jepang telah dipukul mundur telak ke belakang. Negara Indonesia sudah tidak bisa mereka jajah. 

"Mari kita bebaskan rakyat yang masing dikungkung di balik jeruji besi! Mari kita berpencar!" perintahku pada setiap pasukan. Pak Ruslan berada di sisiku, menunjukkan area pusat tempat pertahanan itu berada. Segera, kulawan pasukan Jepang yang masih berjaga dan bertahan hingga akhir hayat di tempat. Kuhabisi mereka yang menyerang dengan penuh kehati-hatian. Baru setelahnya, kubebaskan mereka yang terperangkap di tempat itu. Seru dan adu senjata terdengar menderit. Darah berada di mana-mana, mengotori lantai semen dan terlihat kehitaman.

Usai pengakhiran itu, aku keluar dari tempat penjara. Misi pembebasan berhasil. Di luar, langit biru menyambutku ramah. Angin dingin menyentuh kulitku dengan tenang. Tidak ada lagi air mata duka. Tidak ada lagi jerit siksa yang membakar hati dan jiwa. Tidak ada lagi luka, nyawa manusia-manusia yang perlu dikorbankan.

Usai semua itu, aku mengizinkan Pak Ruslan mengurus lainnya. Lantas aku sendiri segera mendatangi pemakaman dekat markas Jepang itu berada. Tidak cukup jauh, sehingga berjalanpun cukup. Tak seperti pertama kali datang ke makam ini, hatiku tak lagi berat. Hatiku tak lagi bersimbah luka. Mukaku tak lagi pucat putus asa. Kini hanya ada keberanian dan api semangat dalam dua bola mata hitamku.

Tubuh kekarku menghampiri salah satu makam di situ. Dengan pelan, aku menunduk mendekati nisan. Kuelus tepian nisan dengan air mata mengucur tanpa kuminta, air mata yang selalu kutahan ketika berada di luar pemakaman. Bentuk nelangsa yang kupendam ketika berada di medan pertempuran. 

Mungkin aku sedih. Mungkin luka yang disebabkan Jepang masih terbenam manis di ulu dadaku. Mungkin kesedihan ini tak berakhir hingga akhir hayatku. Tapi, tapi. Tapi kini semuanya jauh lebih baik. Entah mengapa, perlahan aku mulai lebih mudah merelakan sesuatu yang pergi. Air mataku saat ini, air mata yang kutahan selama lima tahun berlatih menjadi tokoh perang penting, bercampur air mata bahagia. 

Aku tersenyum pada nisan itu, membaca nama yang tertera dengan tatapan kasih.

"Ibu, Dimas-mu ini sudah berhasil menepati kata-katanya sebagai lelaki, kan?" Aku menarik napas panjang, sebelum kemudian bicara lagi. "Ibu, sekarang Ibu bisa istirahat lebih tenang."


Kamis, 29 Juli 2021

Rahasia di Balik Kematian

Ditulis oleh: Shelma Atira.


Disclaimer: Cerpen ini kuikutkan pada Kompetisi Menulis 2021 yang diadakan Jenius pada laman Co.Create.  Aku membagikan ke blog ini sebagai arsip pribadi.

〰〰


"Hari ini tanggal 24 Juni, seorang wanita tewas bunuh diri dari gedung tempatnya bekerja. Diduga, wanita tersebut stres karena pekerjaannya. Korban telah dievakuasi."

Suara pembicara televisi terdengar memberitakan sesuatu. Samar-samar, dering suara telepon menyusul berisik, seolah meminta untuk segera diangkat. Aku berdecak malas melangkah keluar dari kamar menuju ruang tengah, ke tempat telepon itu berada. Kuangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga.

"Halo?" panggilku menyapa pertama kali.

Segera, suara berat pria paruh baya terdengar menjawab cepat. "Apakah ini dengan kediaman Ibu Lita? Kami hendak memberikan kabar penting."

Aku meneguk ludah. Agak terkejut karena orang asing ini membahas perihal Ibu. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi entah mengapa perasaanku mendadak tidak enak. "Iya, ini dengan Shana, anaknya. Ada apa dengan Ibu saya?"

Suara dari seberang terdiam sejenak, tampak ragu mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia melanjutkan pembicaraannya. "Ini dari kantor polisi. Saya hendak memberitahukan perihal kasus bunuh diri yang dialami Ibu Lita."

Suara seberang segera memberikan banyak penjelasan. Detik setelahnya, suara itu menyusul menanyaiku akan kebenaran dan informasi tambahan untuk laporan. Aku sebagai anaknya dengan gemetar menjawab pertanyaan itu satu-satu. Mengenai apa yang terjadi dengan Ibu belakangan. Apakah Ibu stres sungguhan dengan pekerjaannya. Hingga kemudian suara polisi itu memintaku menyerahkan telepon ke Ayah.

Di saat bersamaan, Ayah datang dengan tergesa. Mungkin beliau sadar akan gelagat atau suara parauku yang menyebut kata 'Ibu' berulang-ulang di sela obrolan. Cekatan, Ayah merenggut telepon itu panik. Aku membiarkan Ayah melanjutkannya. Aku berusaha mengatur napasku, tertegun. Mataku berkaca-kaca. Kutelusupkan jemariku ke sela rambut dan memegangi kepalaku sendiri sedih. Aku terduduk jatuh ke lantai. Kugigit bibir bawahku. Perlahan, setetes dua tetes air mata mengucur dari mataku ketika aku sudah berusaha tegar menahannya. Tangisku akhirnya rebas. Kututup mulutku, masih tak menyangka hal itu terjadi. Televisi melanjutkan berita kasus bunuh diri yang tadi sedikit kudengar.

Ternyata itu ... Ibu?

***

Seminggu sebelum Ibu dikabarkan meninggal hari ini di tempat, Ibu sempat bertengkar dengan Ayah perihal krisis biaya.

"Kamu tuh nggak becus kerja! Kenapa selalu malas-malasan sampai dikeluarin dari perusahaan?" Ibu marah-marah ke Ayah. Aku mengintip dari sela pintu kamar. Ibu terlihat menggulirkan layar di ponselnya, lantas mengatakan sesuatu berkaitan itu. "Lihat, nih! Di catatan pengeluaran aplikasi Jeniusku! Moneytory di sini ngasih tahu aku kalau pengeluaran kita nggak sepadan dengan penghasilan. Lebih besar pasak, daripada tiang! Bentar lagi Shana juga akan kuliah! Kamu mau anak kita nggak ngelanjutin pendidikan?"

Ayah terlihat tak mau kalah. Wajahnya ikut bersungut. "Ngomong apa, sih kamu? Kamu pikir kenapa aku kayak gini? Karena setiap aku punya uang, kamu selalu punya cara buat buang-buang itu! Entah buat apa! Nggak usah sok-sokan bahas uang kuliah Shana!"

Ibu sontak terdiam mendengarnya. Tetapi kemudian Ibu kembali dengan kekukuhannya dan enggan menyerah.
"Oke, kalau gitu aku yang kerja! Soal kamu, terserah. Aku bakal ngurus surat cerai."

Perbincangan terjeda sejenak. Hanya ada suara deru napas masing-masing. Suasana kian mencekam, panas bercampur tegang usai Ibu mengucapkan kata 'cerai'.

Lantas kemudian, suara tamparan terdengar keras.

Ayah menampar Ibu.

"Wanita gila! Sadar! Kamu pikir apa yang bakal terjadi kalau kita cerai? Kamu nggak mikirin Shana?!"

Aku meneguk ludah resah mendengar pertengkaran itu. Untuk pertama kalinya seumur hidup, orang tuaku bertengkar sehebat itu. Aku hanya memeluk diriku di balik pintu kamar. Aku meringsut pelan mengontrol diri untuk tetap baik-baik saja.

Itulah.

Itulah kejadian terakhir yang sempat terekam di memoriku. Aku tidak menceritakan pertengkaran itu ke polisi yang menelepon karena menurutku itu privasi. Di sisi lain aku memang tidak siap untuk cerita karena setiap aku berusaha mengutarakan, suaraku akan terpaku lebih dulu, hatiku bergemuruh dan aku jadi ingin menangis.

Semuanya bertambah kelu hari demi hari. Sehabis ikut menerima telepon itu, Ayah menjadi manusia yang jarang bicara. Sering kudengar Ayah terisak di kamar, lantas dia pura-pura baik-baik saja di depanku padahal mata bengkak dan muka merahnya tak bisa menipuku.

"Ayah baik-baik aja?" Aku bertanya pagi ini sambil membuat sarapan roti dengan selai stroberi. Ayah hanya duduk terdiam menikmati nasi goreng buatannya sendiri sambil sesekali tersenyum padaku, tak bicara apapun.

Aku mengembuskan napas lemah, mengunyah rotiku dengan hening. Lantas, sesuatu terbersit di kepalaku. Pertanyaan yang mengganjal.

"Ayah," panggilku pada Ayah. Dia hanya menoleh, seolah menanti apa yang hendak kubicarakan. "Ayah tahu kalau Ibu nggak bunuh diri, kan?"

Ayah tampak bingung.

"Ayah tahu sendiri kalau Ibu orangnya keras. Dia seperti orang yang cinta untuk hidup, sangat keduniawian. Ngapain dia bunuh diri. Lagipula, dia kan masih punya tanggung jawab Shana. Dia nggak akan tega ninggalin itu semua gitu aja. Karena setahu Shana, orang yang bunuh diri adalah orang yang nggak punya alasan untuk hidup. Tapi Ibu punya, kan?"

Ayah terdiam mendengar pertanyaanku. Mukanya yang ditampakkan bersemangat di depanku mendadak sayu. Sebetulnya aku juga mengerti bahwa Ayah sangat terpukul. Atau bahkan dia juga menyesali pertengkaran yang dia buat dengan Ibu hingga menamparnya.

Ayah tampak berpikir. Lantas menormalkan air mukanya yang suram. Kemudian dengan aura tegasnya, dia memberi balasan. "Shana tahu? Kita nggak pernah tahu isi hati manusia kayak apa. Di balik sifatnya yang seperti itu apakah bisa bertolakan dengan niatnya. Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan. Kita nggak pernah tahu yang sebenarnya. Shana ngerti, kan?"

Kata-kata Ayah panjang, tak seperti sebelumnya dia irit bicara. Aku lega mendengarnya. Tetapi aku tak lega akan maksud Ayah yang seolah menyerah membiarkan Ibu pergi. Seolah tak perlu lagi untuk dibahas. Atau dia memang jadi kian menderita untuk terus teringat Ibu, jadi dia memutus pembahasan dengan berkata seperti itu.

"Ya. Shana ngerti, Ayah. Shana berangkat sekolah dulu."

***

Semuanya berjalan cepat. Aku tetap berusaha fokus akan sekolahku karena kini aku sudah kelas tiga, sebentar lagi harus berjuang mengejar perguruan tinggi. Ditambah, semenjak Ibu meninggal, Ayah jadi lebih suka bekerja. Aku rasa dia mulai lebih sadar untuk mementingkan aku karena dia tahu, aku hanya punya dia.

Teman dekatku, Dinka, jadi sering menyemangatiku ketika teman-temanku yang lain berbisik-bisik mengomentariku. Semenjak kematian Ibu, beberapa orang memandangku kasihan, sedangkan beberapa lainnya memandang menelisik aneh dan bergelut dengan asumsi mereka yang dibuat-buat.

"Kamu pasti bisa menjalani ini." Dinka meraih kedua tanganku, menyatukannya, kemudian menangkupkan kedua tangannya padaku. "Kamu bisa cerita apapun tentang perasaanmu kalau kamu butuh."

Aku tersenyum canggung, menghargai ketulusan Dinka. Kuembuskan napasku pelan, lantas menggigit dasar mulutku resah, gelisah mengingat kematian Ibuku lagi dan lagi. Walaupun dia tak pernah menjadi Ibu yang baik, hanya sekadar menanyakanku kabar sekolah, kecukupan persediaan makan, menyuruhku membersihkan dan melakukan setiap pekerjaan rumah, dia tetap orang yang kusayang.

Aku meremas tangan Dinka.

"Aku masih nggak percaya Ibuku bunuh diri," bisikku bercerita. Tanpa izin, mataku berkaca-kaca. "Rasanya aku masih nggak terima ngelihat Ibu terbaring tidur selamanya, pergi ke pelukan Tuhan. Aku benci pikiranku yang selalu teringat pemakaman Ibu, serta rasa sedihku yang meluap ketika di atas makam itu Ayah berulang kali mengusap matanya yang basah. Padahal Ayah orang yang jarang nangis."

Dinka mengangguk.

Ruang kelas tampak ricuh, sibuk sendiri. Jam kosong ini memberi kesempatan untuk aku pelan-pelan bercerita dengan suara kecil agar tak begitu terdengar.

Dinka memberi timpalan. Timpalan yang tak searah dengan ceritaku, tapi cukup menyinggung ke arah situ.

"Kamu sadar sekelas ngobrolin apa akhir-akhir ini?"

"Apa, Din?" tanyaku.

"Kabar tentang berita yang bilang kalau Ibumu berbincang lama dengan kawan laki-laki asingnya sebelum bunuh diri."

Aku terdiam. Ya, aku tahu. Tetapi aku tak merasa ada yang salah dengan itu.

Dinka memberi penjelasan lebih. "Kamu pikir dia siapa, Shan?"

Aku mengernyit. Rasa sedihku teralihkan karena kini sibuk berpikir.

"Mana aku tahu? Emang menurutmu siapa?" tanyaku balik.

Dinka menegakkan kepalanya, memandang ke atas, tampak berpikir keras, tapi kemudian berdecak. "Ah udahlah, aku juga nggak bisa duga itu secara pasti, kan. Nggak baik juga buat berasumsi buruk tentang orang."

Persoalan tentang itu akhirnya terhenti. Tetapi itu justru menanggalkan tanda tanya juga pada benakku. Membuat aku jadi ikut penasaran, padahal sebelumnya aku tak mempermasalahkannya.

Apa aku perlu tanya Ayah?

Seharian aku jadi tidak semangat menjalani sekolah sebab pikiranku berada di tempat lain.

Pulang sekolah, aku hendak menaiki bus seperti biasa untuk pulang. Tetapi, suara dering telepon menginterupsi kegiatanku. Telepon dari Ayah.

Tak seperti biasa.

Kuangkat panggilan itu. Percakapan singkat berlangsung. Ayah hanya bilang bahwa dia sudah menunggu di depan gerbang untuk menjemput. Aku yang sudah berjarak agak jauh dari gerbang sekolah—berada di halte akhirnya menghentikan tujuanku. Aku berniat menghampiri Ayah langsung ke depan gerbang sekolah lagi, tapi pikiranku terlintas suatu ide. Maka pada ujung akhir percakapan itu, aku menutupnya dengan: "Tunggu ya, Ayah. Shana mungkin akan agak lama. Ada yang perlu Shana lakuin."

Aku memasukkan kembali ponselku cepat-cepat ke dalam tas. Lantas aku bergegas menuju toko bermacam barang dekat sekolahku, dengan cekatan membeli satu buku kosong bersampul hitam beserta bolpoin berwarna sama yang menggantung sepaket dengan itu. Aku sudah membayarnya, tapi ada buku non fiksi menarik yang terpajang di etalase dekat area kasir mencuri perhatianku. Judulnya ialah 'Cara Berpikir Positif'. Aku menanyai penjaga kasir akan itu, kemudian membelinya juga.

Kulihat jam pada jam tanganku. Sudah lima menit aku berada di sini. Cepat, aku keluar dari toko itu dan berjalan ke depan gerbang sekolah. Sekolah masih cukup ramai. Mataku segera menangkap mobil abu-abu kecil di situ, kudekatilah.

Aku membuka pintu dan masuk ke jok bagian belakang, karena ternyata di jok depan sisi Ayah, ada Tante Tia, adik Ayah.

Aku jadi bingung. Ada apa?

"Ayah, kenapa jemput Shana? Rumah kita, kan deket sama sekolah. Shana lebih enak berangkat-pulang pakai bus aja." Aku basa basi membahas hal ini. "Oh, iya. Tumben ada Tante Tia. Ada apa, nih, Yah? Kita mau jalan-jalan, kah? Atau main ke rumahnya?"

Pertanyaan bertubi-tubiku membuat kedua orang di jok depanku ini terdiam. Suasana terlihat mencekam, tapi aku tak mengerti ada apa gerangan. Aku meneguk ludah.

"Kita akan pergi ke suatu tempat. Shana jangan banyak tanya dulu, ya," ujar Tante Tia lembut, yang seketika membungkam pertanyaan lanjutan dari mulutku.

Aku mendesah, lantas mengeluarkan buku kosong sepaket dengan bolpoin, langsung menyerahkannya ke Ayah. Mobil belum berjalan, jadi aku rasa ada waktu cukup untuk bicara dengan Ayah.

"Ini buku kosong sama bolpoin, buat Ayah cerita ke buku ini. Shana nggak tahu gimana perasaan asli Ayah setelah Ibu meninggal. Tapi Shana tahu Ayah sedih. Lebih sedih dari Shana. Ayah pasti nyembunyiin banyak hal dari Shana juga, kan? Termasuk perasaan Ayah. Seperti kata Ayah tadi pagi: 'Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan'. Ayah nggak pernah ceritain sisi sedih Ayah, jadi mungkin buku itu bisa ngewakilin Shana untuk Ayah cerita."

Ceritaku panjang. Bahkan aku hendak menjelaskan maksudku lebih dalam akan hal itu. Tetapi tatapan Ayah yang menengok ke belakang—ke arahku membuat aku terpaku. Menyadari raut muka Ayah yang sedih, haru.

"Makasih, Shana."

Itu jawaban Ayah sebelum kemudian, mobil berjalan menuju entah ke mana.

Aku hanya sibuk bertanya-tanya sendiri dalam pikiran. Kulihat pemandangan luar dari mobil yang tampak menenangkan. Langit biru memamerkan awan-awan putih dengan mentari yang ingin ikut andil menyilaukan pandanganku. Dedaunan pohon bergerak menyejukkan mataku dengan kehijauannya.

Keramaian lalu lintas seperti biasa mewakilkan emosi para pengendaranya yang suka membunyikan klakson padahal lampu memang masih merah, atau mereka yang hendak menyelip padahal tidak ada cela. Keheningan dalam mobil tak memakan banyak pikiranku sebab fokusku tertuju pada hal di balik jendela luar mobil.

Semua pandangan sibukku itu terhenti ketika mobil mulai bergerak lambat hingga benar-benar terparkir di suatu tempat.

"Ayo, Shana. Kita turun." Tante Tia berjalan lebih dulu. Ayah menggerakkan kepala ke arah sebuah gedung, mengodeku berjalan ke situ.

Ayah dan Tante Tia tak bicara apa-apa. Ke mana kita datang dan untuk apa. Tetapi setelah pelan-pelan mendekati gedung itu, aku kini paham ada di mana, yang masih tak kupaham ialah untuk apa.

Mereka mengajakku ke kantor polisi.

Kami pun masuk ke halaman ruang depan kantor polisi. Di sana tampak penjaga, ruang kedatangan yang dilalu-lalangi beberapa petugas administrasi.

"Shana. Boleh Ayah cerita lebih luas perihal sisi manusia?" Ayah mendekat, memegang kedua lenganku.

Fokusku teralih ke Ayah kembali. Kami bertiga—aku, Ayah, dan Tante Tia—sama-sama berdiri. Ayah dan Tante Tia kini tampak menyorotkan pandangan ke arahku.

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ayah.

"Sisi yang Ayah sebut bukan cuma perihal sisi emosi. Bukan cuma sisi senang, sedih. Tapi juga sisi baik buruk." Ayah memaparkan. Aku terpaku bingung

"Lantas?"

"Ada yang Shana sekarang harus tahu." Ayah diam sebentar. Dia menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. "Shana tahu kan, setelah Ayah malas-malasan kerja demi nguji Ibu, Ibu cari kerja sendiri buat menuhin kebutuhannya sendiri?"

Aku terpaku. Bahasan tentang Ibu sejujurnya sensitif juga di telingaku. Pikiranku langsung tersadar penuh, menanti apa yang hendak Ayah beritahukan lebih dalam.

"Maaf untuk baru cerita sekarang. Tapi Ibu kerja dengan jual diri, Shana. Kalau Shana tahu tentang kawan laki-lakinya yang bicara terakhir kali sama dia di CCTV. Itu selingkuhannya, Shana. Dia sama Ibu lagi ngerencanain hal buruk. Maksud Ayah tentang sisi manusia adalah sisi tak terduga mereka. Manusia bisa jadi apa aja. Jadi jahat atau baik. Mereka bebas milih keduanya. Kadang kita juga buta untuk menilai keduanya, karena manusia bisa jadi baik dan jahat di saat bersamaan."

Jual diri?

Rencana buruk?

Badanku mematung. Aku kaget akan fakta yang dipaparkan Ayah. Aku juga bingung. Terutama pada penjelasan teori kemanusiaan Ayah barusan. Apa kaitannya?

Aku diam, membiarkan Ayah mengeluarkan semua kata-katanya sendirinya tanpa kutanya atau kupaksa.

"Ibumu benar-benar gila, Shana. Dia gila materi. Shana benar kalau bilang Ibu memang cinta dunia dan nggak bakal ninggalin ini semua gitu aja dengan bunuh diri. Ibumu cuma pengen senang-senang. Ibu sebetulnya juga sudah bekerja seperti itu bahkan sebelum Ayah berhenti kerja." Ayah menatapku lamat-lamat. Mata tegasnya kini berair. Menatapku penuh rasa bersalah yang aku tak mengerti.

"Udah, Ayah, nggak usah dilanjutin ceritanya kalau bikin Ayah sedih." Jujur aku penasaran akan semua fakta di balik semua ini, tapi semakin membuatku terluka melihat Ayah seperti sekarang. Terang-terangan bersedih di depanku yang sebelumnya dia selalu menyembunyikan itu. "Ayah, ayo pulang aja, yuk. Ayah kalau mau cerita pun di rumah aja. Kita ngapain di kantor polisi gini?"

Ayah tak merespon akan itu. Tante Tia hanya memandang kami berdua, seolah tak sanggup berkata apa-apa. Tanpa alasan, Ayah kemudian bersimpuh di hadapanku. Tangis Ayah semakin terdengar jelas dengan isakan, raungannya menggema. Aku bahkan bisa merasakan tatapan pekerja di kantor polisi ini menatap ke arah kami.

"Shana ...," panggil Ayah.

Dadaku sesak. Kujongkokkan badanku untuk sejajar dengan Ayah. Kuusap bahu kekarnya lembut, walaupun aku tak tahu sepenuhnya ada apa dan alasan spesifik Ayah bersedih, tiba-tiba seperti ini.

"Ibu ngajuin cerai tapi Ayah nolak. Dia pengen hidup sama selingkuhannya, hidup bebas. Ayah tahu sifatnya yang seperti itu, tapi Ayah nggak nyangka dia akan punya niat dan berjalan sejauh itu. Entah apa yang tiba-tiba ngerasuki dia. Dia emang marah karena Ayah berhenti ngasih pemasokan. Tapi asal Shana tahu, marahnya dia aslinya ya karena dia harus terjebak sama Ayah untuk lebih lama lagi." Ayah bicara terpatah-patah. Hampir saja aku tak mendengar jelas keseluruhan cerita karena suaranya yang bergetar.

"Ibu ngancam mau bunuh Shana. Awalnya Ayah pikir itu nggak mungkin, tapi suatu hari Ayah sadar dia serius akan itu. Karena ada orang yang hendak masuk ke kamar Shana diam-diam malam hari; dia bisa masuk ke rumah karena kunci cadangan punya Ibu. Ibu bener-bener punya pembunuh bayaran untuk ngebunuh anaknya sendiri. Ayah sedih, Shana. Ayah sedih. Ayah takut untuk ngebiarin itu terjadi."

Keterkejutanku akan cerita Ayah sebelumnya tak sebesar keterkejutanku sekarang. Mataku berkaca-kaca, benar-benar ikut berair. Semua ucapan Ayah terdengar mustahil. Tapi aku tahu Ayah tidak pernah bohong. Napasku tersengal, bibirku bergetar tak tahu harus berkata apa. Aku hanya mendekat, memeluk Ayah yang masih bersimpuh.

"Ibu memang gila, Shana. Tapi Ayah lebih gila."

Aku melepaskan rangkulan Ayah, memandangi mukanya yang kini menatapku nanar.

"Maafin Ayah, Shana. Maafin Ayah."

"Maaf kenapa?"

"Karena Ayah nggak bisa nemenin Shana lagi di rumah. Mulai sekarang, Shana tinggal sama Tante Tia, ya. Habis dari kantor polisi ini, Tante Tia yang akan ngendarain mobilnya."

Aku mengerjapkan mata. "Kenapa?"

Ayah tak menjawab pertanyaanku secara langsung. Justru meminta maaf lagi. Maaf yang tak bisa kuterka. Maaf yang kali ini membuat duniaku terasa berhenti.

"Maaf karena Ayah bunuh Ibu di gedung tempatnya bekerja, di bagian sepi dan nggak ada CCTV-nya. Ayah kabur dengan cepat setelah dorong Ibu dari ketinggian. Ayah sedih Ibu meninggal, tapi Ayah lebih sedih karena Ayah sendiri yang melakukannya. Demi Shana. Harusnya lebih baik Ayah nyetujuin gugatan cerai dari awal. Tapi situasi terlanjur chaos."

Plastik berisi buku 'Cara Berpikir Positif' yang kupegang di sisi tubuh terjatuh.

Hatiku mencelos. Sakit. Bingung. Hancur. Perasaan tingkat tinggi terparau selama hidupku.

"Apa?!"