Jumat, 29 Oktober 2021

Anggar dan Tekadnya

 Ditulis oleh: Shelma Atira

〰️〰️

"Anggar, mukamu kenapa, Nak?" Abah menyambut kedatanganku dengan suram. Mukanya pucat pasi melihat keadaanku. Koran yang biasanya dia baca khidmat sampai tidak memperhatikan lingkungan sekitar diletakkannya pelan di atas meja, kala matanya menangkap kedatanganku dengan muka memar dihiasi darah.

"Tadi habis jatuh, di jalan," jawabku seadanya, tidak tahu semestinya harus menjawab apa.

"Anggar, jangan bohong!" Abah mendekat. Ruang tamu sepi itu membuat suara Abah jadi lebih terdengar menggelegar. Tangannya meraih sebelah pundakku, menatapku lekat. "Kamu habis bertengkar, kan? Mana ada jatuh sampai muka lebam begitu?! Abah tahu itu!"

Aku mendesah, merasa tidak akan menang dari Abah karena beliau memang benar. Usai pulang sekolah, aku memang bertengkar dengan seseorang. Terlihat jelas dari tampilanku. Aku tak bisa mengelak dari Abah, pasalnya baju putih abuku juga sobek di beberapa bagian.

"Kenapa, Bah?" Aku menatap Abah balik, tepat di kedua matanya. Kusingkirkan tangannya yang menyentuh pundakku. "Kenapa marah-marah begitu? Abah takut reputasi Abah sebagai tokoh masyarakat terganggu? Abah takut Anggar malu-maluin Abah? Tenang aja, Bah. Yang Anggar lakuin bukan tanpa alasan, dan Anggar bakal nyelesain urusan yang telah Anggar mulai sendiri."

"Anggar ...."

Abah nampak menunduk seraya memanggil namaku. Namun akupun terlalu lelah untuk memberinya respon. Aku juga lelah untuk dihunjami kata-kata.

"Jangan sekarang, ya Bah. Anggar capek. Kalau Abah nggak tahu apa-apa, nggak usah teriak-teriak ke Anggar."

Usai mengatakan hal tersebut, aku melengos begitu saja. Bukan karena tidak menghargai Abah. Bukan karena membencinya hingga tidak ingin memberinya tanggapan. Hanya saja...

hanya saja ada sesuatu hal besar yang hendak aku lakukan, dan aku tidak ingin Abah tahu perihal itu untuk sekarang.

***

Jika ada satu orang yang aku hargai dengan sangat, itu bukanlah Abah. Tetapi temanku sendiri, Nado.

Nado adalah lelaki historikus yang menyelamatkan bangku SMA-ku. Dia menegurku kala merokok diam-diam di belakang sekolah. Dia yang membuatku jauh lebih niat untuk bersekolah. Katanya, 'sekolah bukan semata ngebuat lo jadi pinter, Anggar. Tapi supaya lo lebih bisa mikir mana yang bener dan salah pakai otak.'


Dia datang tiba-tiba saat MOS sebagai anak OSIS. Menyebalkan memang. Tapi semua kata-kata yang diucapkan tidak pernah meleset menembus hatiku sehingga harga diriku tertarik untuk merubah siklus hidupku ke siswa SMA pada umumnya, tidak neko-neko.

Jadi.

Jadi tidak bisa kubiarkan setelah kutahu seminggu lalu Nado masuk rumah sakit. Nado menjadi korban salah sasaran. Pelakunya hanya pergi tanpa rasa bersalah.

"Lo Anggar, kan? Mantan geng Estra90? Bukannya udah tobat, lo? Gara-gara Abah lo orang penting, ya? Kerasukan apa tiba-tiba jadi orang bener? Gue nggak ada urusan sama lo, ya Nggar. Sekarang minggir." Pelaku yang melukai Nado menyuruhku untuk meninggalkan lapangan tempat dia sedang hendak bertarung dengan geng lain. Aku berada tepat di hadapannya, tengah lapangan dan menghentikan waktu berharganya.

Tapi, aku tetap kukuh. Aku tidak ingin minggir.

"Minggu lalu nggak cukup buat lo kapok, Nggar? Dan lo dateng sendirian lagi? Udah nggak dianggep geng Estra90 lo? Mau lo apa, sih Nggar?"

Aku menggeleng. Kali ini berbeda. "Lo salah, Rey. Kali ini gue bawa orang."

Aku menjentikkan jariku ke angkasa, untuk memberi aba-aba pada mantan geng Estra90-ku, yang bersedia membantuku karena kami masih berteman. Mereka akan muncul dari tempat persembunyian area situ usai mendengar jentikan jariku. Tapi, sesuatu aneh terjadi. Aku tak mendengar derap langkah kaki semua kubuku. Geng yang hendak bertarung dengan Rey di belakangku juga terdengar tidak bersuara.

Detik kemudian, lapangan itu dipenuhi asap. Terdengar beberapa suara orang dewasa yang menyuruh kami berhenti berseteru. Baru aku sibuk berpikir, sekelilingku tahu-tahu sudah dipenuhi gas air mata. Aku tak bisa melihat keberadaan siapapun. Hendak aku menjauh dari situ, sesuatu keras menonjok pipiku hingga aku tersungkur cukup jauh.

Aku panik.

Penuh kesadaran, aku berusaha bangkit untuk menyadari siapa yang barusan menghantamkan tinjunya padaku, namun detik kala melihat sosok yang muncul di balik pedihnya gas air mata, aku jadi tidak berkutik. Sosok familier itu menatapku dengan mata menyalak, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dan melihatku penuh amarah.

Aku benar-benar membatu. Orang itu adalah ...

"Abah?"

Usai dari situ, Abah tak bicara apa-apa. Dia juga tak menanyakan apa yang sebetulnya aku rencanakan. Beliau tak lagi mengkhawatirkan diriku. Abah tak menjelaskan mengapa dia tiba-tiba ada di situ. Satu hal yang aku sendiri tak mengerti ialah mengapa barusan dia menonjok mukaku penuh perasaan, hingga aku merasa tulang pipiku akan patah.

Abah mengajakku pergi ke suatu tempat, menjauh dari situ. Setelah berpapasan dengan Abah, aku tak lagi terpikirkan urusanku datang ke lapangan tadi. Aku juga tak lagi memikirkan Rey. Aku hanya melihat ke mana Abah akan mengajakku pergi, dan benar saja. Abah membawaku ke rumah sakit tempat Nado berada.

Sekarang kami berada di ruangan bau obat-obatan Nado, di mana laki-laki itu menyapaku ramah dengan senyumnya, namun sekaligus heran kenapa aku mendatanginya bersama Abah.

"Urusanmu sudah selesai. Abah mau keluar dulu." Usai mengantarku ke ruangan Nado, Abah hendak keluar ruangan sendiri dengan tidak jelasnya. Banyak pertanyaan yang bergumul dalam benakku. Dan Abah terasa sangat aneh, sangat membuatku terguncang sebab seolah mengetahui apa alasan semua rencanaku, dia mengantarku ke tempat Nado.

"Abah, tunggu." Kali ini aku mencekal tangan Abah.

"Kenapa?" Abah menoleh ke belakang, ke arahku. "Sekarang baru mau jelasin ada apanya? Kenapa nggak jujur sama Abah? Kamu tahu, Nggar? Abah sangat kecewa. Awalnya Abah nggak peduli. Tapi setelah menemukan kabar Nado, kawan baikmu masuk rumah sakit, Abah tahu itu ada hubungannya sama keadaanmu. Rey, orang yang barusan kamu mau tantang itu orang yang udah nyelakain banyak orang selain Nado juga. Jadi Abah manggil orang berwenang, bertepatan Abah tahu lokasi untuk menyergapnya—di mana pasti pulang sekolah hari ini kamu bakal ke sana. Ke lapangan itu."

"Abah ...." Aku sungguh tidak bisa berkata-kata. Tapi, bukan hanya itu yang semestinya Abah tangkap. Abah hanya mengerti sebagian. "Anggar ngelakuin ini juga demi buat Rey berhenti bertingkah, Abah. Minggu lalu pas Anggar pulang dengan badan hancur lebur, itu adalah saat Anggar pengen berdamai dengan dia, ngajak dia berhenti berulah karena tawurannya yang  brutal mencelakai orang tak bersalah juga. Mendengar maksud Anggar, Rey dengan bebas tanpa aba-aba nyerang Anggar, tapi Anggar nggak bales. Hari ini Anggar pengen pakai cara berbeda, ngasih dia pelajaran. Mungkin agak salah dengan manfaatin geng lama Anggar, tapi. Tapi satu hal yang nggak Abah paham betul, Anggar ngelakuin ini untuk Nado.

"Nado ngajarin Anggar untuk ngelakuin hal yang bener. Apa yang Anggar hendak lakuin hari ini memang ide Anggar sendiri. Nado, teman Anggar itu suka sekali cerita sejarah. Dia pernah memotivasi Anggar juga untuk ikut membuat sejarah, untuk diri Anggar sendiri, dalam hal benar. Sekalipun memanfaatkan geng Estra90. Hari ini Abah, hari sumpah pemuda. Kalau rencana Anggar hari ini berhasil, setidaknya Anggar pengen menghentikan kekacauan yang terus Rey buat dengan berseteru bersama geng lain tanpa henti, kekacauan yang melukai korban tak berdosa. Anggar juga pengen melindungi lingkungan tempat Anggar tinggal, tentunya orang-orang tersayang Anggar. Luka yang Nado dapat cukup ngebuat Anggar sadar untuk Anggar bertindak, sekaligus menunjukkan tekad pemuda yang menciptakan perdamaian meski Anggar akui tak sepenuhnya tepat."

Abah mendengarkan penjelasanku utuh-utuh. Di ruangan itu akupun tahu, Nado sedang menyimakku pula. Tapi aku tahu semuanya sudah berakhir. Abah sebagai tokoh masyarakat pasti sudah memanggil orang kepercayaannya untuk menghentikan kerusuhan.

"Abah tidak tahu itu. Makanya Abah kecewa. Abah kecewa ... sama diri Abah sendiri karena tidak mempercayai kamu, Nggar. Anak Abah sendiri." Raut tegas Abah yang digumuli gestur marah kini melembut, bahkan matanya cenderung dipenuhi penyesalan dan kesedihan. Abah mendekat, memelukku tiba-tiba.

"Kamu tetap berhasil, Anggar. Niat baikmu saja sudah cukup menjadi sejarah, meski banyak orang tidak tahu itu. Oleh sebabnya di tengah gas air mata itu, Abah menonjokmu. Itu memang tonjokkan atas dirimu yang terlalu sembrono dan membuat Abah takut. Tapi tonjokan itu juga berarti ... bahwa Abah bangga dengan apa yang Anggar lakukan."

-TAMAT-