Selasa, 24 Agustus 2021

Ambisi Pengakhiran Penjajahan

Ditulis oleh: Shelma Atira


 Indonesia, 1940.


"Lari, Dimas! Jangan terus di sini!" Seorang wanita paruh baya meneriaki anak laki-lakinya yang berusia sekitar empat belas tahun untuk segera lari. Kaki wanita itu tersangkut kayu seusai tadinya tersandung cukup keras hingga tubuhnya ambruk. Wanita tua itu meringis sakit sekaligus khawatir. Bukan. Bukan karena dia baru saja terjatuh. Dia sakit karena harus memaksa anaknya pergi tanpa dirinya. Khawatir, khawatir karena anaknya hanya menangis kencang melihat tubuh ringkih Ibunya, semakin keras terisak mendengar suara tembakan senapan tentara Jepang yang menggelegar di angkasa.

Anak itu menatap Ibunya sendu sambil menggigit bibir bawah. Air mata membanjiri pipinya yang kusam. Deru lari para pribumi lainnya terdengar mendesak, penuh ketakutan. Akhirnya, anak itu menegakkan lututnya. Dicondongkan tubuhnya sekilas untuk memeluk tubuh tersungkur Ibunya di tanah. Sebelum berbalik, anak itu menegaskan kepalanya. Ditatapnya Ibunya dengan mata penuh tekad, tapi masih dibanjiri air mata.

"Ibu, kalau aku lari sama saja rasanya aku mati. Hidup tanpa Ibu tidak ada artinya lagi." Anak itu mengambil telapak tangan kanan Ibunya yang terbebas. Diremasnya kuat, sebelum akhirnya melepasnya dengan berat. "Tapi karena Ibu meminta, aku akan pergi. Akan kubuat mereka membayar ini semua, Ibu."

Anak itu memberanikan dirinya untuk segera bangkit. Dalam hati meneguhkan bahwa kehilangan Ibunya akan dia balas hingga titik darah penghabisan.

Sambil menangis, anak itu sungguhan berbalik, kabur bersama dengan pribumi lainnya. Tanpa menengok lagi ke belakang, anak lelaki itu berlari menembus angin dengan dada sesak dan berdarah. Hari ini hatinya serasa hancur berkeping-keping. Hari ini, dia murni kehilangan segalanya.

Dengan segenap kekuatannya, dia terpaksa merelakan satu-satunya orang berharga yang tersisa di hidupnya.

"Ibu, selamat tinggal."


***


Indonesia, 1945.

Anak laki-laki itu ialah aku. Itulah cuplikan momen paling menyesakkan di hidupku.

Aku, Ibuku, bersama beberapa warga pribumi lain berusaha untuk kabur dari wilayah yang seperti neraka itu untuk kami. Di situ, tentara Jepang melakukan banyak hal menakutkan. Siksaan, perbudakan, penahanan tanpa alasan, hingga hukuman mati membuat kami mau tidak mau terpaksa tunduk. 

Ibuku ialah pekerja pembuat makanan untuk tentara Jepang. Tetapi, pernah aku dengar dia kerap dipaksa menjadi budak hal tak senonoh oleh mereka. Hari itu, Ibu mendatangiku untuk mengajakku pergi usai dia kembali dari markas Jepang. Ibu takut aku akan dijadikan pekerja tanpa upah, tanpa batas waktu dengan jatah pangan tak setimpal secara paksa. 

Aku berhasil kabur, tapi Ibu tidak.

"Dimas, sekarang kita harus segera ke wilayah perbatasan," tegas Pak Syahrul, pemimpin pasukan pemberontak Indonesia yang menjaga wilayah tempatku dari serdadu Jepang. 

Aku adalah rekan pemimpinnya. Lima tahun berlalu, kini usiaku menginjak sembilan belas tahun. Waktu yang panjang tapi cukup singkat, kuhabiskan waktuku menjadi prajurit dan pelindung terlatih untuk tanah airku sendiri. Ambisi besar dan rasa haus keadilan membuatku menjadi tokoh penting di kota baruku tinggal, usai dulunya aku diselamatkan dan dirawat bersama anak terlantar lainnya.

"Baik, Pak. Kita memang harus segera. Jepang sudah di ujung tanduk kekalahan. Ini waktu terbaik kita untuk menyerang." Aku mempersiapkan senjataku. Pakaian tempur khusus sudah terpakai di tubuh.

Usai Jepang menyerang Pearl Harbour, Amerika, negara lawannya itu mulai membalas dan memberi serangan nuklir pada dua kota besar Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Bom nuklir berkekuatan tinggi itu sekejap memusnahkan kota penting beserta isinya, termasuk manusianya. Sungguh kabar dahsyat dan menggegerkan dunia. Tapi itulah momentum yang tepat, kurasa, untuk mencuri titik-titik lemah selagi Jepang sedang kepayahan.

Hari ini, 15 Agustus 1945, aku menuju wilayah perbatasan, tempat di mana pusat markas Jepang berada. Sebagai pemimpin juga, di usia muda, aku sudah banyak mengikuti perang. Pemberontakan yang membuatku sendiri sekarat sudah kucicipi dengan penuh kesakitan. Tapi, haus darahku pada tentara musuh itu tak berhenti menyalak dan berkobar.

"Serang!" perintahku tatkala sudah berada di hadapan markas musuh. Perencanaan sudah kupikirkan dengan membentuk formasi pas sesuai prajurit lain yang bertempur bersamaku. Pak Syahrul, mengikuti di belakangku.

Aku mulai menggencarkan serangan. Tombak di tangan kananku mulai menusuk tubuh para tentara Jepang yang tidak sigap. Seni bela diriku keluar secara totalitas. Pukulan telak kuhantamkan bagian vital musuh untuk melemahkan mereka secara cepat.

"Bagaimana? Bagian timur sudah diatasi?" tanya Pak Syahrul menghampiriku. Wajah lelaki tua itu bersimbah keringat. Dia bertanya agak terbata, sambil memegang perutnya dengan muka tak terbaca. Dia menghampiriku dengan agak pincang.

Aku sontak tidak fokus pada pertanyaannya. Aku langsung memperhatikan pada apa yang terjadi padanya. "Pak Syahrul? Bapak baik-baik saja?" Aku bertanya cemas, sontak mengamit lengannya dan membawanya menjauh dari medan perang. "Bagian timur sudah kuurus. Rencana kita berjalan lancar. Aku tahu Bapak sudah melakukan tugas Bapak dengan baik. Sekarang keselamatan Bapak adalah kepentingan saya! Mari kembali, Pak!"

Tak butuh waktu lama, Pak Syahrul ditangani di tenda perawatan terdekat yang merupakan milik pasukan tanah air sendiri. Rupanya, Pak Syahrul terkena tembakan di bagian perut. Lukanya tidak cukup dalam, tetapi butuh waktu berhari-hari untuk sembuh total.

Tak membuang waktu, aku segera mencari informasi tambahan dan petunjuk darurat dari sumber yang kupercaya. Pak Ruslan, pemata-mata handal sekaligus tokoh penarik simpati Jepang mendatangiku di ruang pertemuan tertutup sesuai panggilanku.

"Izin menyampaikan informasi tambahan," seru Pak Ruslan dengan sorot mata serius. "Ir. Soekarno tidak ingin bertindak langsung atas kemerdekaan. Kabarnya, golongan muda membawa Ir. Soekarno beserta Hatta ke Rengasdengklok untuk menyadarkan mereka. Guna mempersiapkan kemerdekaan secara keseluruhan, kita perlu ikut andil untuk membantai dan mempersiapkan perebutan wilayah tambahan pasca kemerdekaan jika itu berhasil!"

Aku mendengarkan saksama lagi sisa cerita Pak Ruslan mengenai detail rencana serta permasalahan terutama pada golongan muda dan tua. Detik-detik penjelasan Pak Ruslan membuat jantungku berdegup kencang entah mengapa karena momen ini terasa menegangkan.

Inilah momen yang kutunggu selama ini. Kemerdekaan Indonesia.

Aku sontak membantu banyak persiapan. Kusiapkan pasukan untuk mencegah serangan balasan dadakan Jepang ketika hari-H tiba. Waktu demi waktu bergulir cepat. Kabar dan informasi baru datang silih berganti.

Tak terasa, hari ini tiba. Tanggal 17 Agustus 1945. Seperti rencana, aku mengirim pasukan untuk menjaga wilayah sekitar pemroklamasian kemerdekaan. Ir. Soekarno dan Hatta berhasil dibujuk untuk memulai kemerdekaan Indonesia sendiri. Hari itu, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, pukul 11.30 waktu Nippon, Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi ketikan Sayuti Melik. Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusomo dan SK Trimurti, mengibarkan bendera merah putih gagah itu di tiang putih menuju langit atas. Angin berembus tenang. Mentari menyibakkan sinarnya anggun. Harap dan mimpi para pribumi yang menyaksikan itu mengambang di angkasa, seolah menanti waktu untuk benar-benar terwujudkan, akan kebebasan sesungguhnya mereka. Kebebasan tanpa penjajahan. Kebebasan Indonesia.

Suara Ir. Soekarno yang berkumandang disambut oleh sorakan rakyat. Orang-orang mengepalkan tinju ke atas. Mendukung penyiksaan dari negara lain ini berakhir.

Kemerdekaan itu telah menjadi nyata.

"Dimas, ayo kita urus sisanya." Pak Ruslan memberiku arahan. Pak Syahrul tidak ikut menemaniku karena seusai pertempuran kemarin, tubuhnya terluka. Maka hanya aku yang memimpin bagianku sendiri, tapi aku rasa semuanya telah jauh lebih mudah.

Aku segera mengurus sisanya. Jepang telah dipukul mundur telak ke belakang. Negara Indonesia sudah tidak bisa mereka jajah. 

"Mari kita bebaskan rakyat yang masing dikungkung di balik jeruji besi! Mari kita berpencar!" perintahku pada setiap pasukan. Pak Ruslan berada di sisiku, menunjukkan area pusat tempat pertahanan itu berada. Segera, kulawan pasukan Jepang yang masih berjaga dan bertahan hingga akhir hayat di tempat. Kuhabisi mereka yang menyerang dengan penuh kehati-hatian. Baru setelahnya, kubebaskan mereka yang terperangkap di tempat itu. Seru dan adu senjata terdengar menderit. Darah berada di mana-mana, mengotori lantai semen dan terlihat kehitaman.

Usai pengakhiran itu, aku keluar dari tempat penjara. Misi pembebasan berhasil. Di luar, langit biru menyambutku ramah. Angin dingin menyentuh kulitku dengan tenang. Tidak ada lagi air mata duka. Tidak ada lagi jerit siksa yang membakar hati dan jiwa. Tidak ada lagi luka, nyawa manusia-manusia yang perlu dikorbankan.

Usai semua itu, aku mengizinkan Pak Ruslan mengurus lainnya. Lantas aku sendiri segera mendatangi pemakaman dekat markas Jepang itu berada. Tidak cukup jauh, sehingga berjalanpun cukup. Tak seperti pertama kali datang ke makam ini, hatiku tak lagi berat. Hatiku tak lagi bersimbah luka. Mukaku tak lagi pucat putus asa. Kini hanya ada keberanian dan api semangat dalam dua bola mata hitamku.

Tubuh kekarku menghampiri salah satu makam di situ. Dengan pelan, aku menunduk mendekati nisan. Kuelus tepian nisan dengan air mata mengucur tanpa kuminta, air mata yang selalu kutahan ketika berada di luar pemakaman. Bentuk nelangsa yang kupendam ketika berada di medan pertempuran. 

Mungkin aku sedih. Mungkin luka yang disebabkan Jepang masih terbenam manis di ulu dadaku. Mungkin kesedihan ini tak berakhir hingga akhir hayatku. Tapi, tapi. Tapi kini semuanya jauh lebih baik. Entah mengapa, perlahan aku mulai lebih mudah merelakan sesuatu yang pergi. Air mataku saat ini, air mata yang kutahan selama lima tahun berlatih menjadi tokoh perang penting, bercampur air mata bahagia. 

Aku tersenyum pada nisan itu, membaca nama yang tertera dengan tatapan kasih.

"Ibu, Dimas-mu ini sudah berhasil menepati kata-katanya sebagai lelaki, kan?" Aku menarik napas panjang, sebelum kemudian bicara lagi. "Ibu, sekarang Ibu bisa istirahat lebih tenang."