Kamis, 30 Desember 2021

Manusia yang Kehilangan Dunianya

Ditulis oleh: Shelma Atira.

Note: Cerita pendek ini diikutkan dalam kontes menulis Indonesiana.Id. Penulis mengupload cerita pendek ini di sini sebagai arsip.


***

 "Yesa, majalahnya bagus, ya!" Kenzo, anak laki-laki usia empat belas tahunan berteriak girang pada Yesa kecil sambil menunjukkan gambar bacaan majalah. Senyum Yesa kecil bertemuan dengan senyum Kenzo. Dua bersaudara yang terpaut usia lima tahun itu saling menyimak isi majalah dengan mata berbinar. 

Namun, semuanya tidak berjalan menyenangkan begitu saja. Seorang wanita dewasa datang merampas buku majalah itu, lantas meraih tangan Kenzo, anak laki-lakinya sambil memasang wajah murka.

"Kenzo! Sudah berapa kali Mama bilangin jangan dekat-dekat sama Yesa! Barusan apa juga yang kamu tunjukin ke dia?! Majalah?! Yesa itu autis, mana bisa dia paham yang kamu tunjukkin! Mulai besok Mama bakal taruh Yesa ke panti asuhan khusus anak berkebutuhan khusus. Dia cuma jadi beban, Kenzo. Jangan dekat-dekat Yesa, dia cuma anak pembawa sial!" Mama menyeru kasar kepada Kenzo sambil menjauhkannya dari Yesa. Yesa, anak perempuan kecil yang menyaksikan itu kaku terdiam di tempat. Terlihat tidak begitu paham, tapi apa yang disaksikannya, di mana tangan kakaknya digenggam kasar membuatnya tanpa sadar bertindak sendirinya.

Bangkit, Yesa kecil berlari mendekati Mama dan Kenzo, lantas berusaha melepas tangan Mamanya yang meremat tangan Kenzo dengan kasar.

"Mama, thangan Kenzo akit! Jhangan ditalik-talik!" pekik Yesa sambil berusaha berbicara meski tidak jelas. Mata anak perempuan itu berkaca-kaca. Apa yang dilakukan Mamanya terhadap kakaknya serasa ikut menyakitinya.

"YESA! JANGAN GANGGU MAMA!" Lengkingan suara Mama jauh lebih menggelegar membuat hati Kenzo dan Yesa kecil bergetar. Tangan Mama mulai meraih tangan Yesa yang berusaha mencekalnya, kemudian Mama menjauhkan tangan Yesa paksa, tapi, yang terjadi berikutnya jauh menggilaskan hati.

Di saat Mama melempar tangan Yesa menjauh, tubuh anak perempuan itu ikut terdorong ke belakang. Yesa kecil terpental kurang keseimbangan. Akhirnya, punggungnya terbentur lemari kaca cukup kencang. Di saat itulah, berbagai porselen di dalamnya bergoyangan. Salah satu cangkir kaca bergerak hebat, jatuh keluar menuju tempat Yesa berdiri. Detik kemudian, suara pecahan kaca terdengar. Cangkir tersebut berbenturan dengan kepala belakang anak perempuan itu, pecah berkeping-keping membuat kulit kepala Yesa kecil berdarah. Cairan merah menetes deras, Yesa kehilangan kesadaran seketika.

Kenzo yang melihat kejadian itu membelalakkan matanya, terpaku sejenak. Sontak melepas pegangan tangan Mamanya dan mendatangi adik kecilnya.

"Yesa!"

***

Sepuluh tahun berlalu. Itu adalah kejadian di mana awal mula aku kehilangan adik kesayanganku. Dia bukan adik yang sempurna seperti adik orang lain. Dia tidak bisa berbicara lancar. Dia sulit bersosial. Dia suka bermain rumah-rumahan sambil tertawa sendiri. 

Tapi dia tetaplah Yesa, adikku. Adik yang selalu bergembira ketika kuceritakan dia banyak hal. Tidak meremehkanku ketika aku membahas hal kecil tentang majalah anak-anak yang dibelikan Mama untukku. 

"Kenzo, hidupmu sekarang berantakan, ya." Haris, teman sepermainanku bicara menertawakanku sembari mengisap rokoknya. Hari ini kami berdua berada di jalan sempit antara rumah-rumah sepi sambil menikmati barang kami.

"Berantakan, katamu?" Aku berdecih. "Aku melakukan apa yang memang aku inginkan, Haris. Terlihat kacau bukan berarti itu berantakan."

Ya. Sepuluh tahun berlalu semenjak adikku mati. Tapi aku tak menyesali apa yang telah kuperbuat sepuluh tahun belakangan ini.

Aku merilekskan tubuh. Menikmati udara malam yang merangsek masuk ke dalam kulitku, memberi terpaan dingin dan sejuk sekaligus. Udara bergerak semilir. Entah kenapa malam ini terlalu kencang hingga banyak dedaunan pohon rontok dan terbang di sekelilingku. Sebuah buku tipis yang agak kumal, ikut terbang dan beberapa menit baru kusadari keberadaannya berada di hadapanku. 

"Manusia yang Kehilangan Dunianya," bacaku pada judulnya, "Karya Anesya Roman."

Itulah momen terakhir, sebelum tiba-tiba perumahan sepi itu terdengar berisik akan langkah kaki berderap. Yang bisa kulihat adalah para polisi mendatangi aku dan Haris. Aku dan kawanku yang sedang bersamaan menikmati barang kami membatu di tempat, membiarkan mereka meringkus kami.

Kejadian itu berlangsung cepat. Kata 'hidup berantakan' yang dimaksud Haris berputar terus di kepalaku. Di mana sekarang kami berdua entah sejak kapan telah masuk penjara, atas kasus narkoba yang kami konsumsi. Buku kumal yang kutemukan masih kubawa ke dalam penjara dengan izin susah payah. Buku itu sangat menarik perhatianku. Isi buku itu mengingatkanku akan banyak hal.

"Hari ini ada kegiatan hiburan, lho. Khusus para narapidana. Katanya sih acara hiburan, tapi nggak tahu gimana konsepnya." Haris berceletuk santai, seolah dia sudah terbiasa berada di balik jeruji besi ini dan memiliki banyak informasi beserta pengalaman.

"Entahlah, aku nggak tertarik," elakku.

"Yakin?" Pertanyaan Haris membuatku sepenuhnya menoleh padanya. "Ada persembahan dari buku 'Manusia yang Kehilangan Dunianya'. Ternyata buku itu terkenal juga. Isinya emang beneran motivasi-motivasi gitu?"

Aku terkejut setengah mati. 

"Kamu nggak bohong, kan?" tanyaku refleks ke Haris, memberi tatapan bersemangat.

Apa yang kemudian menjadi kenyataannya membuktikan ucapan kawanku itu. Kami, beberapa narapidana berkumpul di satu ruangan untuk penceritaan ulang buku itu dalam tancap layar lebar video. Video itu diberikan beberapa gambaran ilustrasi. Sekiranya, video itu berdurasi sepuluh menit. Semua orang yang ada di situ menyaksikan dengan penuh perhatian.

'Manusia yang Kehilangan Dunianya', oleh Anesya Roman.

Kisah tentang remaja yang kehilangan rumahnya. Dia merasa hidupnya hampa. Saking hampanya, dia melakukan banyak kejahatan untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, semuanya berakhir sia-sia. Sebelum pada akhirnya, kematian merenggut hidupnya. Dia menderita darah tinggi. Di ujung kematiannya, bayangan memori menyenangkan terekam. Di mana di ujung kematiannya dia bisa tersenyum lagi setelah sekian lama usai mengingatnya. Di ujung kematiannya, dia justru menginginkan sesuatu.

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku mengikuti kata-kata yang kuhapal dan sama persis dengan yang ada di video, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Karena meski semuanya tak lagi berarti, meski aku tak lagi punya rumah, orang-orang yang dulunya kucintai pasti tak menginginkan aku hidup 'rusak' seperti saat ini.

Itu pelajaran yang kutangkap dari buku itu. Aku memang suka baca buku ketika kecil. Tapi kala menemukan buku kumal suatu hari di jalanan itu, aku tak menyangka akan begitu tertampar akan isi di dalamnya. Buku terbitan setahun lalu yang sepertinya tak sengaja terbuang oleh seseorang hingga aku menemukannya.

Sepuluh menit berlangsung. Hiburan yang lebih kusebut sebagai pelajaran itu berakhir. Tersisa credit siapa yang ikut serta dalam pembuatan video visual dari buku itu. Para narapidana yang menyaksikan mulai kembali ke penjara satu persatu. Hingga aku tak menyadari bahwa hanya aku yang tersisa di situ. Haris pun tak ada lagi di sana. 

Nyatanya, tancap layar lebar itu masih menampilkan video tambahan. Di akhir itu, menampakkan foto si penulis buku, yang membuat aku terhenyak betapa cantiknya Anesya Roman, penulis 'Manusia yang Kehilangan Dunianya.'

Di akhir, sebagai penutup sungguhan. Aku bisa melihat quotes yang dipaparkan.

"Dari hidup kita belajar, tentang memaafkan dan menerima segala keadaan. Tidak dengan menelan kenegatifan mentah-mentah dan melakukan tindakan tidak terpuji. Aku tahu kamu lelah. Ambil jeda sejenak, tapi bangkitlah lagi, sebab dunia suatu hari akan kembali cerah, dan rumahmu adalah tentang apa yang kamu pikirkan tentang hidupmu sendiri."

Aku tak benar-benar membaca quotes itu, seperti kebiasaanku mengikuti isi video sebab sungguhan hapal kata-katanya. Tapi aku sungguhan benar-benar mendengar ada seseorang yang merapalkan itu, bukan dari video. Bukan juga dari mulutku.

"Kata-kata yang bagus, bukan?" Suara seseorang menyapa telingaku. Detik kemudian, remaja muda cantik duduk di sebelahku. Mungkin dialah yang barusan merapalkan quotes itu. Aku seperti mengenalnya. 

Remaja itu ... Anesya Roman.

"I-iya bagus sekali!" balasku semangat  agak terbata. Sangat kaget kenapa penulis buku itu bisa ada di sini juga. 

"Kamu tahu? Aku datang ke sini karena salah satu penjaga penjara yang mengenalku memberitahuku ada narapidana yang begitu mengagumi bukuku. Aku jadi penasaran siapa dia, dan sedikit mengulik tentang hidupmu, penyebabmu masuk penjara juga. Namamu Kenzo, kan?"

Aku mengangguk. Penulis itu mulai bicara lagi.

"Katanya kamu kehilangan adikmu di usia empat belas tahun, ya? Aku turut berduka cita tentang itu. Ada kabar lagi bahwa Mamamu meninggal tak lama kemudian. Apakah dia sebegitu terlukanya karena anaknya meninggal? Lagi, Kenzo, apa yang kamu lakukan sampai mengonsumi narkoba? Kulihat dari tampilanmu kamu bukanlah anak nakal."

Aku terhenyak. Menyimak kata-kata  penulis muda tersebut dengan jelas. 

"Selain suka menulis, kamu juga suka mengulik hidup orang, ya," seruku menyindir, tapi dengan maksud bergurau, yang membuat perempuan muda itu tertawa kecil mendengarnya. "Aku suka bukumu. Karena aku rasa bisa ikut merasakan perasaan tokoh yang kehilangan rumahnya. Tentang aku yang mengonsumsi narkoba, lebih tepatnya aku ingin meredakan rasa pahit hatiku. Dengan narkoba itu, pikiranku bisa terbang ke mana-mana dan lukaku terasa terangkat meski sejenak. Sekarang aku jadi tak tahu bagaimana melegakannya usai masuk penjara, tapi bukumu membantuku banyak untuk sadar dan belajar."

Sang penulis menatapku baik-baik. Tatapannya tak seramah sebelumnya, sebab yang kulihat sekarang adalah mukanya yang kemerahan, dengan mata berkaca-kaca. Semenyedihkan itukah ceritaku barusan?

"Aku ke sini tidak untuk bertemu penggemar, Kenzo." Si penulis muda itu menatapku sedih, entah mengapa. "Aku ingin bertemu dengan kakakku yang hanya tahu adiknya sudah meninggal. Aku Yesa, Kakak. Sejujurnya aku ke sini setelah seseorang memberitahuku keberadaanmu. Selama ini kamu ke mana, Kak? Kudengar kamu tinggal tidak tahu arah. Tapi aku tak pernah menahu kamu terjerat kasus narkoba. Kudengar Mama meninggal. Kakak berhenti sekolah. Aku kembali ke rumah beberapa tahun setelahnya tapi tidak ada orang. Aku masih hidup, Kak. Mama atau bahkan orang-orang sekitar, berusaha menutupi keberadaanku sebab mereka merasa aku gila. Orang sekitar hanya tahu bahwa aku menggila sampai melukai diriku dengan menabrakkan diri di lemari kaca. Padahal Mama pelakunya. Kakak, kenapa Mama jahat sekali? Kenapa dia hanya sayang Kakak, padahal aku anak kandungnya sedangkan Kakak anak adopsi?

"Bertahun-tahun aku tenggelam dalam duniaku sendiri, Kak. Aku mengobati diriku sendiri, berjuang supaya bisa bicara jelas dan mampu berpikir layaknya manusia normal. Imajinasiku besar sampai aku bisa menjadi penulis terkenal. Anesya Roman hanya nama pena, tanpa arti berarti. Buku yang Kakak baca, sebetulnya kutulis untuk menggambarkan hidupku dalam bentuk lain, tapi aku tak menyangka Kakak akan merasakan hal serupa."

Aku tersentak bukan main. Jadi, selama ini, penulis yang kukagumi adalah ... adikku sendiri? 

Yesa, adik kesayanganku yang kurindukan melebihi apapun ... masih hidup? Tuhan, apa yang sesungguhnya sedang terjadi hari ini?

"Kalau begitu, Yesa. Biar kuberi tahu sesuatu." Aku terdiam sebentar, mengingat salah satu perbuatanku sepuluh tahun belakangan yang anehnya tak kusesali sama sekali. "Mama mati selang kejadian itu bukan karena sakit. Mama sama sekali tak menyesal telah melukaimu. Dia justru kian membencimu. Jadi karena aku tak tahan, aku membunuhnya, Yesa. Aku membunuhnya untukmu. Mama tidak mati karena stres. Aku yang melakukannya. Tidak ada yang tahu itu."

Penjabaranku kemudian gantian membuat Yesa tergugu di tempat. Aku hanya menangkap muka pucat pasinya. Entah sejak kapan dia mulai menangis.

"Aku merasa mengenali wajahmu, Yesa. Tapi aku sudah percaya adikku mati. Namamu pun berbeda. Adikku autis sehingga tak mungkin dia bisa berbicara jelas sepertimu. Jika memang benar kamu adikku, Yesa. Jika memang benar kamu telah kembali. Jika memang berarti pertemuan ini pula untukmu. 

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku yang diiringi Yesa sekaligus, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Setelah semua sisa masalah ini berakhir, aku dan Yesa akan tinggal bersama. Pasti. Untuk menjadi manusia yang tidak lagi kehilangan dunianya, untuk kembali percaya bahwa di masa depan, kami masih punya hidup benderang untuk dilalui dengan kebahagiaan. 


-TAMAT-

Jumat, 29 Oktober 2021

Anggar dan Tekadnya

 Ditulis oleh: Shelma Atira

〰️〰️

"Anggar, mukamu kenapa, Nak?" Abah menyambut kedatanganku dengan suram. Mukanya pucat pasi melihat keadaanku. Koran yang biasanya dia baca khidmat sampai tidak memperhatikan lingkungan sekitar diletakkannya pelan di atas meja, kala matanya menangkap kedatanganku dengan muka memar dihiasi darah.

"Tadi habis jatuh, di jalan," jawabku seadanya, tidak tahu semestinya harus menjawab apa.

"Anggar, jangan bohong!" Abah mendekat. Ruang tamu sepi itu membuat suara Abah jadi lebih terdengar menggelegar. Tangannya meraih sebelah pundakku, menatapku lekat. "Kamu habis bertengkar, kan? Mana ada jatuh sampai muka lebam begitu?! Abah tahu itu!"

Aku mendesah, merasa tidak akan menang dari Abah karena beliau memang benar. Usai pulang sekolah, aku memang bertengkar dengan seseorang. Terlihat jelas dari tampilanku. Aku tak bisa mengelak dari Abah, pasalnya baju putih abuku juga sobek di beberapa bagian.

"Kenapa, Bah?" Aku menatap Abah balik, tepat di kedua matanya. Kusingkirkan tangannya yang menyentuh pundakku. "Kenapa marah-marah begitu? Abah takut reputasi Abah sebagai tokoh masyarakat terganggu? Abah takut Anggar malu-maluin Abah? Tenang aja, Bah. Yang Anggar lakuin bukan tanpa alasan, dan Anggar bakal nyelesain urusan yang telah Anggar mulai sendiri."

"Anggar ...."

Abah nampak menunduk seraya memanggil namaku. Namun akupun terlalu lelah untuk memberinya respon. Aku juga lelah untuk dihunjami kata-kata.

"Jangan sekarang, ya Bah. Anggar capek. Kalau Abah nggak tahu apa-apa, nggak usah teriak-teriak ke Anggar."

Usai mengatakan hal tersebut, aku melengos begitu saja. Bukan karena tidak menghargai Abah. Bukan karena membencinya hingga tidak ingin memberinya tanggapan. Hanya saja...

hanya saja ada sesuatu hal besar yang hendak aku lakukan, dan aku tidak ingin Abah tahu perihal itu untuk sekarang.

***

Jika ada satu orang yang aku hargai dengan sangat, itu bukanlah Abah. Tetapi temanku sendiri, Nado.

Nado adalah lelaki historikus yang menyelamatkan bangku SMA-ku. Dia menegurku kala merokok diam-diam di belakang sekolah. Dia yang membuatku jauh lebih niat untuk bersekolah. Katanya, 'sekolah bukan semata ngebuat lo jadi pinter, Anggar. Tapi supaya lo lebih bisa mikir mana yang bener dan salah pakai otak.'


Dia datang tiba-tiba saat MOS sebagai anak OSIS. Menyebalkan memang. Tapi semua kata-kata yang diucapkan tidak pernah meleset menembus hatiku sehingga harga diriku tertarik untuk merubah siklus hidupku ke siswa SMA pada umumnya, tidak neko-neko.

Jadi.

Jadi tidak bisa kubiarkan setelah kutahu seminggu lalu Nado masuk rumah sakit. Nado menjadi korban salah sasaran. Pelakunya hanya pergi tanpa rasa bersalah.

"Lo Anggar, kan? Mantan geng Estra90? Bukannya udah tobat, lo? Gara-gara Abah lo orang penting, ya? Kerasukan apa tiba-tiba jadi orang bener? Gue nggak ada urusan sama lo, ya Nggar. Sekarang minggir." Pelaku yang melukai Nado menyuruhku untuk meninggalkan lapangan tempat dia sedang hendak bertarung dengan geng lain. Aku berada tepat di hadapannya, tengah lapangan dan menghentikan waktu berharganya.

Tapi, aku tetap kukuh. Aku tidak ingin minggir.

"Minggu lalu nggak cukup buat lo kapok, Nggar? Dan lo dateng sendirian lagi? Udah nggak dianggep geng Estra90 lo? Mau lo apa, sih Nggar?"

Aku menggeleng. Kali ini berbeda. "Lo salah, Rey. Kali ini gue bawa orang."

Aku menjentikkan jariku ke angkasa, untuk memberi aba-aba pada mantan geng Estra90-ku, yang bersedia membantuku karena kami masih berteman. Mereka akan muncul dari tempat persembunyian area situ usai mendengar jentikan jariku. Tapi, sesuatu aneh terjadi. Aku tak mendengar derap langkah kaki semua kubuku. Geng yang hendak bertarung dengan Rey di belakangku juga terdengar tidak bersuara.

Detik kemudian, lapangan itu dipenuhi asap. Terdengar beberapa suara orang dewasa yang menyuruh kami berhenti berseteru. Baru aku sibuk berpikir, sekelilingku tahu-tahu sudah dipenuhi gas air mata. Aku tak bisa melihat keberadaan siapapun. Hendak aku menjauh dari situ, sesuatu keras menonjok pipiku hingga aku tersungkur cukup jauh.

Aku panik.

Penuh kesadaran, aku berusaha bangkit untuk menyadari siapa yang barusan menghantamkan tinjunya padaku, namun detik kala melihat sosok yang muncul di balik pedihnya gas air mata, aku jadi tidak berkutik. Sosok familier itu menatapku dengan mata menyalak, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh dan melihatku penuh amarah.

Aku benar-benar membatu. Orang itu adalah ...

"Abah?"

Usai dari situ, Abah tak bicara apa-apa. Dia juga tak menanyakan apa yang sebetulnya aku rencanakan. Beliau tak lagi mengkhawatirkan diriku. Abah tak menjelaskan mengapa dia tiba-tiba ada di situ. Satu hal yang aku sendiri tak mengerti ialah mengapa barusan dia menonjok mukaku penuh perasaan, hingga aku merasa tulang pipiku akan patah.

Abah mengajakku pergi ke suatu tempat, menjauh dari situ. Setelah berpapasan dengan Abah, aku tak lagi terpikirkan urusanku datang ke lapangan tadi. Aku juga tak lagi memikirkan Rey. Aku hanya melihat ke mana Abah akan mengajakku pergi, dan benar saja. Abah membawaku ke rumah sakit tempat Nado berada.

Sekarang kami berada di ruangan bau obat-obatan Nado, di mana laki-laki itu menyapaku ramah dengan senyumnya, namun sekaligus heran kenapa aku mendatanginya bersama Abah.

"Urusanmu sudah selesai. Abah mau keluar dulu." Usai mengantarku ke ruangan Nado, Abah hendak keluar ruangan sendiri dengan tidak jelasnya. Banyak pertanyaan yang bergumul dalam benakku. Dan Abah terasa sangat aneh, sangat membuatku terguncang sebab seolah mengetahui apa alasan semua rencanaku, dia mengantarku ke tempat Nado.

"Abah, tunggu." Kali ini aku mencekal tangan Abah.

"Kenapa?" Abah menoleh ke belakang, ke arahku. "Sekarang baru mau jelasin ada apanya? Kenapa nggak jujur sama Abah? Kamu tahu, Nggar? Abah sangat kecewa. Awalnya Abah nggak peduli. Tapi setelah menemukan kabar Nado, kawan baikmu masuk rumah sakit, Abah tahu itu ada hubungannya sama keadaanmu. Rey, orang yang barusan kamu mau tantang itu orang yang udah nyelakain banyak orang selain Nado juga. Jadi Abah manggil orang berwenang, bertepatan Abah tahu lokasi untuk menyergapnya—di mana pasti pulang sekolah hari ini kamu bakal ke sana. Ke lapangan itu."

"Abah ...." Aku sungguh tidak bisa berkata-kata. Tapi, bukan hanya itu yang semestinya Abah tangkap. Abah hanya mengerti sebagian. "Anggar ngelakuin ini juga demi buat Rey berhenti bertingkah, Abah. Minggu lalu pas Anggar pulang dengan badan hancur lebur, itu adalah saat Anggar pengen berdamai dengan dia, ngajak dia berhenti berulah karena tawurannya yang  brutal mencelakai orang tak bersalah juga. Mendengar maksud Anggar, Rey dengan bebas tanpa aba-aba nyerang Anggar, tapi Anggar nggak bales. Hari ini Anggar pengen pakai cara berbeda, ngasih dia pelajaran. Mungkin agak salah dengan manfaatin geng lama Anggar, tapi. Tapi satu hal yang nggak Abah paham betul, Anggar ngelakuin ini untuk Nado.

"Nado ngajarin Anggar untuk ngelakuin hal yang bener. Apa yang Anggar hendak lakuin hari ini memang ide Anggar sendiri. Nado, teman Anggar itu suka sekali cerita sejarah. Dia pernah memotivasi Anggar juga untuk ikut membuat sejarah, untuk diri Anggar sendiri, dalam hal benar. Sekalipun memanfaatkan geng Estra90. Hari ini Abah, hari sumpah pemuda. Kalau rencana Anggar hari ini berhasil, setidaknya Anggar pengen menghentikan kekacauan yang terus Rey buat dengan berseteru bersama geng lain tanpa henti, kekacauan yang melukai korban tak berdosa. Anggar juga pengen melindungi lingkungan tempat Anggar tinggal, tentunya orang-orang tersayang Anggar. Luka yang Nado dapat cukup ngebuat Anggar sadar untuk Anggar bertindak, sekaligus menunjukkan tekad pemuda yang menciptakan perdamaian meski Anggar akui tak sepenuhnya tepat."

Abah mendengarkan penjelasanku utuh-utuh. Di ruangan itu akupun tahu, Nado sedang menyimakku pula. Tapi aku tahu semuanya sudah berakhir. Abah sebagai tokoh masyarakat pasti sudah memanggil orang kepercayaannya untuk menghentikan kerusuhan.

"Abah tidak tahu itu. Makanya Abah kecewa. Abah kecewa ... sama diri Abah sendiri karena tidak mempercayai kamu, Nggar. Anak Abah sendiri." Raut tegas Abah yang digumuli gestur marah kini melembut, bahkan matanya cenderung dipenuhi penyesalan dan kesedihan. Abah mendekat, memelukku tiba-tiba.

"Kamu tetap berhasil, Anggar. Niat baikmu saja sudah cukup menjadi sejarah, meski banyak orang tidak tahu itu. Oleh sebabnya di tengah gas air mata itu, Abah menonjokmu. Itu memang tonjokkan atas dirimu yang terlalu sembrono dan membuat Abah takut. Tapi tonjokan itu juga berarti ... bahwa Abah bangga dengan apa yang Anggar lakukan."

-TAMAT-

Selasa, 24 Agustus 2021

Ambisi Pengakhiran Penjajahan

Ditulis oleh: Shelma Atira


 Indonesia, 1940.


"Lari, Dimas! Jangan terus di sini!" Seorang wanita paruh baya meneriaki anak laki-lakinya yang berusia sekitar empat belas tahun untuk segera lari. Kaki wanita itu tersangkut kayu seusai tadinya tersandung cukup keras hingga tubuhnya ambruk. Wanita tua itu meringis sakit sekaligus khawatir. Bukan. Bukan karena dia baru saja terjatuh. Dia sakit karena harus memaksa anaknya pergi tanpa dirinya. Khawatir, khawatir karena anaknya hanya menangis kencang melihat tubuh ringkih Ibunya, semakin keras terisak mendengar suara tembakan senapan tentara Jepang yang menggelegar di angkasa.

Anak itu menatap Ibunya sendu sambil menggigit bibir bawah. Air mata membanjiri pipinya yang kusam. Deru lari para pribumi lainnya terdengar mendesak, penuh ketakutan. Akhirnya, anak itu menegakkan lututnya. Dicondongkan tubuhnya sekilas untuk memeluk tubuh tersungkur Ibunya di tanah. Sebelum berbalik, anak itu menegaskan kepalanya. Ditatapnya Ibunya dengan mata penuh tekad, tapi masih dibanjiri air mata.

"Ibu, kalau aku lari sama saja rasanya aku mati. Hidup tanpa Ibu tidak ada artinya lagi." Anak itu mengambil telapak tangan kanan Ibunya yang terbebas. Diremasnya kuat, sebelum akhirnya melepasnya dengan berat. "Tapi karena Ibu meminta, aku akan pergi. Akan kubuat mereka membayar ini semua, Ibu."

Anak itu memberanikan dirinya untuk segera bangkit. Dalam hati meneguhkan bahwa kehilangan Ibunya akan dia balas hingga titik darah penghabisan.

Sambil menangis, anak itu sungguhan berbalik, kabur bersama dengan pribumi lainnya. Tanpa menengok lagi ke belakang, anak lelaki itu berlari menembus angin dengan dada sesak dan berdarah. Hari ini hatinya serasa hancur berkeping-keping. Hari ini, dia murni kehilangan segalanya.

Dengan segenap kekuatannya, dia terpaksa merelakan satu-satunya orang berharga yang tersisa di hidupnya.

"Ibu, selamat tinggal."


***


Indonesia, 1945.

Anak laki-laki itu ialah aku. Itulah cuplikan momen paling menyesakkan di hidupku.

Aku, Ibuku, bersama beberapa warga pribumi lain berusaha untuk kabur dari wilayah yang seperti neraka itu untuk kami. Di situ, tentara Jepang melakukan banyak hal menakutkan. Siksaan, perbudakan, penahanan tanpa alasan, hingga hukuman mati membuat kami mau tidak mau terpaksa tunduk. 

Ibuku ialah pekerja pembuat makanan untuk tentara Jepang. Tetapi, pernah aku dengar dia kerap dipaksa menjadi budak hal tak senonoh oleh mereka. Hari itu, Ibu mendatangiku untuk mengajakku pergi usai dia kembali dari markas Jepang. Ibu takut aku akan dijadikan pekerja tanpa upah, tanpa batas waktu dengan jatah pangan tak setimpal secara paksa. 

Aku berhasil kabur, tapi Ibu tidak.

"Dimas, sekarang kita harus segera ke wilayah perbatasan," tegas Pak Syahrul, pemimpin pasukan pemberontak Indonesia yang menjaga wilayah tempatku dari serdadu Jepang. 

Aku adalah rekan pemimpinnya. Lima tahun berlalu, kini usiaku menginjak sembilan belas tahun. Waktu yang panjang tapi cukup singkat, kuhabiskan waktuku menjadi prajurit dan pelindung terlatih untuk tanah airku sendiri. Ambisi besar dan rasa haus keadilan membuatku menjadi tokoh penting di kota baruku tinggal, usai dulunya aku diselamatkan dan dirawat bersama anak terlantar lainnya.

"Baik, Pak. Kita memang harus segera. Jepang sudah di ujung tanduk kekalahan. Ini waktu terbaik kita untuk menyerang." Aku mempersiapkan senjataku. Pakaian tempur khusus sudah terpakai di tubuh.

Usai Jepang menyerang Pearl Harbour, Amerika, negara lawannya itu mulai membalas dan memberi serangan nuklir pada dua kota besar Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Bom nuklir berkekuatan tinggi itu sekejap memusnahkan kota penting beserta isinya, termasuk manusianya. Sungguh kabar dahsyat dan menggegerkan dunia. Tapi itulah momentum yang tepat, kurasa, untuk mencuri titik-titik lemah selagi Jepang sedang kepayahan.

Hari ini, 15 Agustus 1945, aku menuju wilayah perbatasan, tempat di mana pusat markas Jepang berada. Sebagai pemimpin juga, di usia muda, aku sudah banyak mengikuti perang. Pemberontakan yang membuatku sendiri sekarat sudah kucicipi dengan penuh kesakitan. Tapi, haus darahku pada tentara musuh itu tak berhenti menyalak dan berkobar.

"Serang!" perintahku tatkala sudah berada di hadapan markas musuh. Perencanaan sudah kupikirkan dengan membentuk formasi pas sesuai prajurit lain yang bertempur bersamaku. Pak Syahrul, mengikuti di belakangku.

Aku mulai menggencarkan serangan. Tombak di tangan kananku mulai menusuk tubuh para tentara Jepang yang tidak sigap. Seni bela diriku keluar secara totalitas. Pukulan telak kuhantamkan bagian vital musuh untuk melemahkan mereka secara cepat.

"Bagaimana? Bagian timur sudah diatasi?" tanya Pak Syahrul menghampiriku. Wajah lelaki tua itu bersimbah keringat. Dia bertanya agak terbata, sambil memegang perutnya dengan muka tak terbaca. Dia menghampiriku dengan agak pincang.

Aku sontak tidak fokus pada pertanyaannya. Aku langsung memperhatikan pada apa yang terjadi padanya. "Pak Syahrul? Bapak baik-baik saja?" Aku bertanya cemas, sontak mengamit lengannya dan membawanya menjauh dari medan perang. "Bagian timur sudah kuurus. Rencana kita berjalan lancar. Aku tahu Bapak sudah melakukan tugas Bapak dengan baik. Sekarang keselamatan Bapak adalah kepentingan saya! Mari kembali, Pak!"

Tak butuh waktu lama, Pak Syahrul ditangani di tenda perawatan terdekat yang merupakan milik pasukan tanah air sendiri. Rupanya, Pak Syahrul terkena tembakan di bagian perut. Lukanya tidak cukup dalam, tetapi butuh waktu berhari-hari untuk sembuh total.

Tak membuang waktu, aku segera mencari informasi tambahan dan petunjuk darurat dari sumber yang kupercaya. Pak Ruslan, pemata-mata handal sekaligus tokoh penarik simpati Jepang mendatangiku di ruang pertemuan tertutup sesuai panggilanku.

"Izin menyampaikan informasi tambahan," seru Pak Ruslan dengan sorot mata serius. "Ir. Soekarno tidak ingin bertindak langsung atas kemerdekaan. Kabarnya, golongan muda membawa Ir. Soekarno beserta Hatta ke Rengasdengklok untuk menyadarkan mereka. Guna mempersiapkan kemerdekaan secara keseluruhan, kita perlu ikut andil untuk membantai dan mempersiapkan perebutan wilayah tambahan pasca kemerdekaan jika itu berhasil!"

Aku mendengarkan saksama lagi sisa cerita Pak Ruslan mengenai detail rencana serta permasalahan terutama pada golongan muda dan tua. Detik-detik penjelasan Pak Ruslan membuat jantungku berdegup kencang entah mengapa karena momen ini terasa menegangkan.

Inilah momen yang kutunggu selama ini. Kemerdekaan Indonesia.

Aku sontak membantu banyak persiapan. Kusiapkan pasukan untuk mencegah serangan balasan dadakan Jepang ketika hari-H tiba. Waktu demi waktu bergulir cepat. Kabar dan informasi baru datang silih berganti.

Tak terasa, hari ini tiba. Tanggal 17 Agustus 1945. Seperti rencana, aku mengirim pasukan untuk menjaga wilayah sekitar pemroklamasian kemerdekaan. Ir. Soekarno dan Hatta berhasil dibujuk untuk memulai kemerdekaan Indonesia sendiri. Hari itu, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, pukul 11.30 waktu Nippon, Ir. Soekarno membacakan teks proklamasi ketikan Sayuti Melik. Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusomo dan SK Trimurti, mengibarkan bendera merah putih gagah itu di tiang putih menuju langit atas. Angin berembus tenang. Mentari menyibakkan sinarnya anggun. Harap dan mimpi para pribumi yang menyaksikan itu mengambang di angkasa, seolah menanti waktu untuk benar-benar terwujudkan, akan kebebasan sesungguhnya mereka. Kebebasan tanpa penjajahan. Kebebasan Indonesia.

Suara Ir. Soekarno yang berkumandang disambut oleh sorakan rakyat. Orang-orang mengepalkan tinju ke atas. Mendukung penyiksaan dari negara lain ini berakhir.

Kemerdekaan itu telah menjadi nyata.

"Dimas, ayo kita urus sisanya." Pak Ruslan memberiku arahan. Pak Syahrul tidak ikut menemaniku karena seusai pertempuran kemarin, tubuhnya terluka. Maka hanya aku yang memimpin bagianku sendiri, tapi aku rasa semuanya telah jauh lebih mudah.

Aku segera mengurus sisanya. Jepang telah dipukul mundur telak ke belakang. Negara Indonesia sudah tidak bisa mereka jajah. 

"Mari kita bebaskan rakyat yang masing dikungkung di balik jeruji besi! Mari kita berpencar!" perintahku pada setiap pasukan. Pak Ruslan berada di sisiku, menunjukkan area pusat tempat pertahanan itu berada. Segera, kulawan pasukan Jepang yang masih berjaga dan bertahan hingga akhir hayat di tempat. Kuhabisi mereka yang menyerang dengan penuh kehati-hatian. Baru setelahnya, kubebaskan mereka yang terperangkap di tempat itu. Seru dan adu senjata terdengar menderit. Darah berada di mana-mana, mengotori lantai semen dan terlihat kehitaman.

Usai pengakhiran itu, aku keluar dari tempat penjara. Misi pembebasan berhasil. Di luar, langit biru menyambutku ramah. Angin dingin menyentuh kulitku dengan tenang. Tidak ada lagi air mata duka. Tidak ada lagi jerit siksa yang membakar hati dan jiwa. Tidak ada lagi luka, nyawa manusia-manusia yang perlu dikorbankan.

Usai semua itu, aku mengizinkan Pak Ruslan mengurus lainnya. Lantas aku sendiri segera mendatangi pemakaman dekat markas Jepang itu berada. Tidak cukup jauh, sehingga berjalanpun cukup. Tak seperti pertama kali datang ke makam ini, hatiku tak lagi berat. Hatiku tak lagi bersimbah luka. Mukaku tak lagi pucat putus asa. Kini hanya ada keberanian dan api semangat dalam dua bola mata hitamku.

Tubuh kekarku menghampiri salah satu makam di situ. Dengan pelan, aku menunduk mendekati nisan. Kuelus tepian nisan dengan air mata mengucur tanpa kuminta, air mata yang selalu kutahan ketika berada di luar pemakaman. Bentuk nelangsa yang kupendam ketika berada di medan pertempuran. 

Mungkin aku sedih. Mungkin luka yang disebabkan Jepang masih terbenam manis di ulu dadaku. Mungkin kesedihan ini tak berakhir hingga akhir hayatku. Tapi, tapi. Tapi kini semuanya jauh lebih baik. Entah mengapa, perlahan aku mulai lebih mudah merelakan sesuatu yang pergi. Air mataku saat ini, air mata yang kutahan selama lima tahun berlatih menjadi tokoh perang penting, bercampur air mata bahagia. 

Aku tersenyum pada nisan itu, membaca nama yang tertera dengan tatapan kasih.

"Ibu, Dimas-mu ini sudah berhasil menepati kata-katanya sebagai lelaki, kan?" Aku menarik napas panjang, sebelum kemudian bicara lagi. "Ibu, sekarang Ibu bisa istirahat lebih tenang."


Kamis, 29 Juli 2021

Rahasia di Balik Kematian

Ditulis oleh: Shelma Atira.


Disclaimer: Cerpen ini kuikutkan pada Kompetisi Menulis 2021 yang diadakan Jenius pada laman Co.Create.  Aku membagikan ke blog ini sebagai arsip pribadi.

〰〰


"Hari ini tanggal 24 Juni, seorang wanita tewas bunuh diri dari gedung tempatnya bekerja. Diduga, wanita tersebut stres karena pekerjaannya. Korban telah dievakuasi."

Suara pembicara televisi terdengar memberitakan sesuatu. Samar-samar, dering suara telepon menyusul berisik, seolah meminta untuk segera diangkat. Aku berdecak malas melangkah keluar dari kamar menuju ruang tengah, ke tempat telepon itu berada. Kuangkat gagang telepon dan mendekatkannya ke telinga.

"Halo?" panggilku menyapa pertama kali.

Segera, suara berat pria paruh baya terdengar menjawab cepat. "Apakah ini dengan kediaman Ibu Lita? Kami hendak memberikan kabar penting."

Aku meneguk ludah. Agak terkejut karena orang asing ini membahas perihal Ibu. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi entah mengapa perasaanku mendadak tidak enak. "Iya, ini dengan Shana, anaknya. Ada apa dengan Ibu saya?"

Suara dari seberang terdiam sejenak, tampak ragu mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia melanjutkan pembicaraannya. "Ini dari kantor polisi. Saya hendak memberitahukan perihal kasus bunuh diri yang dialami Ibu Lita."

Suara seberang segera memberikan banyak penjelasan. Detik setelahnya, suara itu menyusul menanyaiku akan kebenaran dan informasi tambahan untuk laporan. Aku sebagai anaknya dengan gemetar menjawab pertanyaan itu satu-satu. Mengenai apa yang terjadi dengan Ibu belakangan. Apakah Ibu stres sungguhan dengan pekerjaannya. Hingga kemudian suara polisi itu memintaku menyerahkan telepon ke Ayah.

Di saat bersamaan, Ayah datang dengan tergesa. Mungkin beliau sadar akan gelagat atau suara parauku yang menyebut kata 'Ibu' berulang-ulang di sela obrolan. Cekatan, Ayah merenggut telepon itu panik. Aku membiarkan Ayah melanjutkannya. Aku berusaha mengatur napasku, tertegun. Mataku berkaca-kaca. Kutelusupkan jemariku ke sela rambut dan memegangi kepalaku sendiri sedih. Aku terduduk jatuh ke lantai. Kugigit bibir bawahku. Perlahan, setetes dua tetes air mata mengucur dari mataku ketika aku sudah berusaha tegar menahannya. Tangisku akhirnya rebas. Kututup mulutku, masih tak menyangka hal itu terjadi. Televisi melanjutkan berita kasus bunuh diri yang tadi sedikit kudengar.

Ternyata itu ... Ibu?

***

Seminggu sebelum Ibu dikabarkan meninggal hari ini di tempat, Ibu sempat bertengkar dengan Ayah perihal krisis biaya.

"Kamu tuh nggak becus kerja! Kenapa selalu malas-malasan sampai dikeluarin dari perusahaan?" Ibu marah-marah ke Ayah. Aku mengintip dari sela pintu kamar. Ibu terlihat menggulirkan layar di ponselnya, lantas mengatakan sesuatu berkaitan itu. "Lihat, nih! Di catatan pengeluaran aplikasi Jeniusku! Moneytory di sini ngasih tahu aku kalau pengeluaran kita nggak sepadan dengan penghasilan. Lebih besar pasak, daripada tiang! Bentar lagi Shana juga akan kuliah! Kamu mau anak kita nggak ngelanjutin pendidikan?"

Ayah terlihat tak mau kalah. Wajahnya ikut bersungut. "Ngomong apa, sih kamu? Kamu pikir kenapa aku kayak gini? Karena setiap aku punya uang, kamu selalu punya cara buat buang-buang itu! Entah buat apa! Nggak usah sok-sokan bahas uang kuliah Shana!"

Ibu sontak terdiam mendengarnya. Tetapi kemudian Ibu kembali dengan kekukuhannya dan enggan menyerah.
"Oke, kalau gitu aku yang kerja! Soal kamu, terserah. Aku bakal ngurus surat cerai."

Perbincangan terjeda sejenak. Hanya ada suara deru napas masing-masing. Suasana kian mencekam, panas bercampur tegang usai Ibu mengucapkan kata 'cerai'.

Lantas kemudian, suara tamparan terdengar keras.

Ayah menampar Ibu.

"Wanita gila! Sadar! Kamu pikir apa yang bakal terjadi kalau kita cerai? Kamu nggak mikirin Shana?!"

Aku meneguk ludah resah mendengar pertengkaran itu. Untuk pertama kalinya seumur hidup, orang tuaku bertengkar sehebat itu. Aku hanya memeluk diriku di balik pintu kamar. Aku meringsut pelan mengontrol diri untuk tetap baik-baik saja.

Itulah.

Itulah kejadian terakhir yang sempat terekam di memoriku. Aku tidak menceritakan pertengkaran itu ke polisi yang menelepon karena menurutku itu privasi. Di sisi lain aku memang tidak siap untuk cerita karena setiap aku berusaha mengutarakan, suaraku akan terpaku lebih dulu, hatiku bergemuruh dan aku jadi ingin menangis.

Semuanya bertambah kelu hari demi hari. Sehabis ikut menerima telepon itu, Ayah menjadi manusia yang jarang bicara. Sering kudengar Ayah terisak di kamar, lantas dia pura-pura baik-baik saja di depanku padahal mata bengkak dan muka merahnya tak bisa menipuku.

"Ayah baik-baik aja?" Aku bertanya pagi ini sambil membuat sarapan roti dengan selai stroberi. Ayah hanya duduk terdiam menikmati nasi goreng buatannya sendiri sambil sesekali tersenyum padaku, tak bicara apapun.

Aku mengembuskan napas lemah, mengunyah rotiku dengan hening. Lantas, sesuatu terbersit di kepalaku. Pertanyaan yang mengganjal.

"Ayah," panggilku pada Ayah. Dia hanya menoleh, seolah menanti apa yang hendak kubicarakan. "Ayah tahu kalau Ibu nggak bunuh diri, kan?"

Ayah tampak bingung.

"Ayah tahu sendiri kalau Ibu orangnya keras. Dia seperti orang yang cinta untuk hidup, sangat keduniawian. Ngapain dia bunuh diri. Lagipula, dia kan masih punya tanggung jawab Shana. Dia nggak akan tega ninggalin itu semua gitu aja. Karena setahu Shana, orang yang bunuh diri adalah orang yang nggak punya alasan untuk hidup. Tapi Ibu punya, kan?"

Ayah terdiam mendengar pertanyaanku. Mukanya yang ditampakkan bersemangat di depanku mendadak sayu. Sebetulnya aku juga mengerti bahwa Ayah sangat terpukul. Atau bahkan dia juga menyesali pertengkaran yang dia buat dengan Ibu hingga menamparnya.

Ayah tampak berpikir. Lantas menormalkan air mukanya yang suram. Kemudian dengan aura tegasnya, dia memberi balasan. "Shana tahu? Kita nggak pernah tahu isi hati manusia kayak apa. Di balik sifatnya yang seperti itu apakah bisa bertolakan dengan niatnya. Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan. Kita nggak pernah tahu yang sebenarnya. Shana ngerti, kan?"

Kata-kata Ayah panjang, tak seperti sebelumnya dia irit bicara. Aku lega mendengarnya. Tetapi aku tak lega akan maksud Ayah yang seolah menyerah membiarkan Ibu pergi. Seolah tak perlu lagi untuk dibahas. Atau dia memang jadi kian menderita untuk terus teringat Ibu, jadi dia memutus pembahasan dengan berkata seperti itu.

"Ya. Shana ngerti, Ayah. Shana berangkat sekolah dulu."

***

Semuanya berjalan cepat. Aku tetap berusaha fokus akan sekolahku karena kini aku sudah kelas tiga, sebentar lagi harus berjuang mengejar perguruan tinggi. Ditambah, semenjak Ibu meninggal, Ayah jadi lebih suka bekerja. Aku rasa dia mulai lebih sadar untuk mementingkan aku karena dia tahu, aku hanya punya dia.

Teman dekatku, Dinka, jadi sering menyemangatiku ketika teman-temanku yang lain berbisik-bisik mengomentariku. Semenjak kematian Ibu, beberapa orang memandangku kasihan, sedangkan beberapa lainnya memandang menelisik aneh dan bergelut dengan asumsi mereka yang dibuat-buat.

"Kamu pasti bisa menjalani ini." Dinka meraih kedua tanganku, menyatukannya, kemudian menangkupkan kedua tangannya padaku. "Kamu bisa cerita apapun tentang perasaanmu kalau kamu butuh."

Aku tersenyum canggung, menghargai ketulusan Dinka. Kuembuskan napasku pelan, lantas menggigit dasar mulutku resah, gelisah mengingat kematian Ibuku lagi dan lagi. Walaupun dia tak pernah menjadi Ibu yang baik, hanya sekadar menanyakanku kabar sekolah, kecukupan persediaan makan, menyuruhku membersihkan dan melakukan setiap pekerjaan rumah, dia tetap orang yang kusayang.

Aku meremas tangan Dinka.

"Aku masih nggak percaya Ibuku bunuh diri," bisikku bercerita. Tanpa izin, mataku berkaca-kaca. "Rasanya aku masih nggak terima ngelihat Ibu terbaring tidur selamanya, pergi ke pelukan Tuhan. Aku benci pikiranku yang selalu teringat pemakaman Ibu, serta rasa sedihku yang meluap ketika di atas makam itu Ayah berulang kali mengusap matanya yang basah. Padahal Ayah orang yang jarang nangis."

Dinka mengangguk.

Ruang kelas tampak ricuh, sibuk sendiri. Jam kosong ini memberi kesempatan untuk aku pelan-pelan bercerita dengan suara kecil agar tak begitu terdengar.

Dinka memberi timpalan. Timpalan yang tak searah dengan ceritaku, tapi cukup menyinggung ke arah situ.

"Kamu sadar sekelas ngobrolin apa akhir-akhir ini?"

"Apa, Din?" tanyaku.

"Kabar tentang berita yang bilang kalau Ibumu berbincang lama dengan kawan laki-laki asingnya sebelum bunuh diri."

Aku terdiam. Ya, aku tahu. Tetapi aku tak merasa ada yang salah dengan itu.

Dinka memberi penjelasan lebih. "Kamu pikir dia siapa, Shan?"

Aku mengernyit. Rasa sedihku teralihkan karena kini sibuk berpikir.

"Mana aku tahu? Emang menurutmu siapa?" tanyaku balik.

Dinka menegakkan kepalanya, memandang ke atas, tampak berpikir keras, tapi kemudian berdecak. "Ah udahlah, aku juga nggak bisa duga itu secara pasti, kan. Nggak baik juga buat berasumsi buruk tentang orang."

Persoalan tentang itu akhirnya terhenti. Tetapi itu justru menanggalkan tanda tanya juga pada benakku. Membuat aku jadi ikut penasaran, padahal sebelumnya aku tak mempermasalahkannya.

Apa aku perlu tanya Ayah?

Seharian aku jadi tidak semangat menjalani sekolah sebab pikiranku berada di tempat lain.

Pulang sekolah, aku hendak menaiki bus seperti biasa untuk pulang. Tetapi, suara dering telepon menginterupsi kegiatanku. Telepon dari Ayah.

Tak seperti biasa.

Kuangkat panggilan itu. Percakapan singkat berlangsung. Ayah hanya bilang bahwa dia sudah menunggu di depan gerbang untuk menjemput. Aku yang sudah berjarak agak jauh dari gerbang sekolah—berada di halte akhirnya menghentikan tujuanku. Aku berniat menghampiri Ayah langsung ke depan gerbang sekolah lagi, tapi pikiranku terlintas suatu ide. Maka pada ujung akhir percakapan itu, aku menutupnya dengan: "Tunggu ya, Ayah. Shana mungkin akan agak lama. Ada yang perlu Shana lakuin."

Aku memasukkan kembali ponselku cepat-cepat ke dalam tas. Lantas aku bergegas menuju toko bermacam barang dekat sekolahku, dengan cekatan membeli satu buku kosong bersampul hitam beserta bolpoin berwarna sama yang menggantung sepaket dengan itu. Aku sudah membayarnya, tapi ada buku non fiksi menarik yang terpajang di etalase dekat area kasir mencuri perhatianku. Judulnya ialah 'Cara Berpikir Positif'. Aku menanyai penjaga kasir akan itu, kemudian membelinya juga.

Kulihat jam pada jam tanganku. Sudah lima menit aku berada di sini. Cepat, aku keluar dari toko itu dan berjalan ke depan gerbang sekolah. Sekolah masih cukup ramai. Mataku segera menangkap mobil abu-abu kecil di situ, kudekatilah.

Aku membuka pintu dan masuk ke jok bagian belakang, karena ternyata di jok depan sisi Ayah, ada Tante Tia, adik Ayah.

Aku jadi bingung. Ada apa?

"Ayah, kenapa jemput Shana? Rumah kita, kan deket sama sekolah. Shana lebih enak berangkat-pulang pakai bus aja." Aku basa basi membahas hal ini. "Oh, iya. Tumben ada Tante Tia. Ada apa, nih, Yah? Kita mau jalan-jalan, kah? Atau main ke rumahnya?"

Pertanyaan bertubi-tubiku membuat kedua orang di jok depanku ini terdiam. Suasana terlihat mencekam, tapi aku tak mengerti ada apa gerangan. Aku meneguk ludah.

"Kita akan pergi ke suatu tempat. Shana jangan banyak tanya dulu, ya," ujar Tante Tia lembut, yang seketika membungkam pertanyaan lanjutan dari mulutku.

Aku mendesah, lantas mengeluarkan buku kosong sepaket dengan bolpoin, langsung menyerahkannya ke Ayah. Mobil belum berjalan, jadi aku rasa ada waktu cukup untuk bicara dengan Ayah.

"Ini buku kosong sama bolpoin, buat Ayah cerita ke buku ini. Shana nggak tahu gimana perasaan asli Ayah setelah Ibu meninggal. Tapi Shana tahu Ayah sedih. Lebih sedih dari Shana. Ayah pasti nyembunyiin banyak hal dari Shana juga, kan? Termasuk perasaan Ayah. Seperti kata Ayah tadi pagi: 'Beberapa orang punya sisi yang nggak dia ceritakan'. Ayah nggak pernah ceritain sisi sedih Ayah, jadi mungkin buku itu bisa ngewakilin Shana untuk Ayah cerita."

Ceritaku panjang. Bahkan aku hendak menjelaskan maksudku lebih dalam akan hal itu. Tetapi tatapan Ayah yang menengok ke belakang—ke arahku membuat aku terpaku. Menyadari raut muka Ayah yang sedih, haru.

"Makasih, Shana."

Itu jawaban Ayah sebelum kemudian, mobil berjalan menuju entah ke mana.

Aku hanya sibuk bertanya-tanya sendiri dalam pikiran. Kulihat pemandangan luar dari mobil yang tampak menenangkan. Langit biru memamerkan awan-awan putih dengan mentari yang ingin ikut andil menyilaukan pandanganku. Dedaunan pohon bergerak menyejukkan mataku dengan kehijauannya.

Keramaian lalu lintas seperti biasa mewakilkan emosi para pengendaranya yang suka membunyikan klakson padahal lampu memang masih merah, atau mereka yang hendak menyelip padahal tidak ada cela. Keheningan dalam mobil tak memakan banyak pikiranku sebab fokusku tertuju pada hal di balik jendela luar mobil.

Semua pandangan sibukku itu terhenti ketika mobil mulai bergerak lambat hingga benar-benar terparkir di suatu tempat.

"Ayo, Shana. Kita turun." Tante Tia berjalan lebih dulu. Ayah menggerakkan kepala ke arah sebuah gedung, mengodeku berjalan ke situ.

Ayah dan Tante Tia tak bicara apa-apa. Ke mana kita datang dan untuk apa. Tetapi setelah pelan-pelan mendekati gedung itu, aku kini paham ada di mana, yang masih tak kupaham ialah untuk apa.

Mereka mengajakku ke kantor polisi.

Kami pun masuk ke halaman ruang depan kantor polisi. Di sana tampak penjaga, ruang kedatangan yang dilalu-lalangi beberapa petugas administrasi.

"Shana. Boleh Ayah cerita lebih luas perihal sisi manusia?" Ayah mendekat, memegang kedua lenganku.

Fokusku teralih ke Ayah kembali. Kami bertiga—aku, Ayah, dan Tante Tia—sama-sama berdiri. Ayah dan Tante Tia kini tampak menyorotkan pandangan ke arahku.

Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Ayah.

"Sisi yang Ayah sebut bukan cuma perihal sisi emosi. Bukan cuma sisi senang, sedih. Tapi juga sisi baik buruk." Ayah memaparkan. Aku terpaku bingung

"Lantas?"

"Ada yang Shana sekarang harus tahu." Ayah diam sebentar. Dia menarik napas panjang, sebelum melanjutkan. "Shana tahu kan, setelah Ayah malas-malasan kerja demi nguji Ibu, Ibu cari kerja sendiri buat menuhin kebutuhannya sendiri?"

Aku terpaku. Bahasan tentang Ibu sejujurnya sensitif juga di telingaku. Pikiranku langsung tersadar penuh, menanti apa yang hendak Ayah beritahukan lebih dalam.

"Maaf untuk baru cerita sekarang. Tapi Ibu kerja dengan jual diri, Shana. Kalau Shana tahu tentang kawan laki-lakinya yang bicara terakhir kali sama dia di CCTV. Itu selingkuhannya, Shana. Dia sama Ibu lagi ngerencanain hal buruk. Maksud Ayah tentang sisi manusia adalah sisi tak terduga mereka. Manusia bisa jadi apa aja. Jadi jahat atau baik. Mereka bebas milih keduanya. Kadang kita juga buta untuk menilai keduanya, karena manusia bisa jadi baik dan jahat di saat bersamaan."

Jual diri?

Rencana buruk?

Badanku mematung. Aku kaget akan fakta yang dipaparkan Ayah. Aku juga bingung. Terutama pada penjelasan teori kemanusiaan Ayah barusan. Apa kaitannya?

Aku diam, membiarkan Ayah mengeluarkan semua kata-katanya sendirinya tanpa kutanya atau kupaksa.

"Ibumu benar-benar gila, Shana. Dia gila materi. Shana benar kalau bilang Ibu memang cinta dunia dan nggak bakal ninggalin ini semua gitu aja dengan bunuh diri. Ibumu cuma pengen senang-senang. Ibu sebetulnya juga sudah bekerja seperti itu bahkan sebelum Ayah berhenti kerja." Ayah menatapku lamat-lamat. Mata tegasnya kini berair. Menatapku penuh rasa bersalah yang aku tak mengerti.

"Udah, Ayah, nggak usah dilanjutin ceritanya kalau bikin Ayah sedih." Jujur aku penasaran akan semua fakta di balik semua ini, tapi semakin membuatku terluka melihat Ayah seperti sekarang. Terang-terangan bersedih di depanku yang sebelumnya dia selalu menyembunyikan itu. "Ayah, ayo pulang aja, yuk. Ayah kalau mau cerita pun di rumah aja. Kita ngapain di kantor polisi gini?"

Ayah tak merespon akan itu. Tante Tia hanya memandang kami berdua, seolah tak sanggup berkata apa-apa. Tanpa alasan, Ayah kemudian bersimpuh di hadapanku. Tangis Ayah semakin terdengar jelas dengan isakan, raungannya menggema. Aku bahkan bisa merasakan tatapan pekerja di kantor polisi ini menatap ke arah kami.

"Shana ...," panggil Ayah.

Dadaku sesak. Kujongkokkan badanku untuk sejajar dengan Ayah. Kuusap bahu kekarnya lembut, walaupun aku tak tahu sepenuhnya ada apa dan alasan spesifik Ayah bersedih, tiba-tiba seperti ini.

"Ibu ngajuin cerai tapi Ayah nolak. Dia pengen hidup sama selingkuhannya, hidup bebas. Ayah tahu sifatnya yang seperti itu, tapi Ayah nggak nyangka dia akan punya niat dan berjalan sejauh itu. Entah apa yang tiba-tiba ngerasuki dia. Dia emang marah karena Ayah berhenti ngasih pemasokan. Tapi asal Shana tahu, marahnya dia aslinya ya karena dia harus terjebak sama Ayah untuk lebih lama lagi." Ayah bicara terpatah-patah. Hampir saja aku tak mendengar jelas keseluruhan cerita karena suaranya yang bergetar.

"Ibu ngancam mau bunuh Shana. Awalnya Ayah pikir itu nggak mungkin, tapi suatu hari Ayah sadar dia serius akan itu. Karena ada orang yang hendak masuk ke kamar Shana diam-diam malam hari; dia bisa masuk ke rumah karena kunci cadangan punya Ibu. Ibu bener-bener punya pembunuh bayaran untuk ngebunuh anaknya sendiri. Ayah sedih, Shana. Ayah sedih. Ayah takut untuk ngebiarin itu terjadi."

Keterkejutanku akan cerita Ayah sebelumnya tak sebesar keterkejutanku sekarang. Mataku berkaca-kaca, benar-benar ikut berair. Semua ucapan Ayah terdengar mustahil. Tapi aku tahu Ayah tidak pernah bohong. Napasku tersengal, bibirku bergetar tak tahu harus berkata apa. Aku hanya mendekat, memeluk Ayah yang masih bersimpuh.

"Ibu memang gila, Shana. Tapi Ayah lebih gila."

Aku melepaskan rangkulan Ayah, memandangi mukanya yang kini menatapku nanar.

"Maafin Ayah, Shana. Maafin Ayah."

"Maaf kenapa?"

"Karena Ayah nggak bisa nemenin Shana lagi di rumah. Mulai sekarang, Shana tinggal sama Tante Tia, ya. Habis dari kantor polisi ini, Tante Tia yang akan ngendarain mobilnya."

Aku mengerjapkan mata. "Kenapa?"

Ayah tak menjawab pertanyaanku secara langsung. Justru meminta maaf lagi. Maaf yang tak bisa kuterka. Maaf yang kali ini membuat duniaku terasa berhenti.

"Maaf karena Ayah bunuh Ibu di gedung tempatnya bekerja, di bagian sepi dan nggak ada CCTV-nya. Ayah kabur dengan cepat setelah dorong Ibu dari ketinggian. Ayah sedih Ibu meninggal, tapi Ayah lebih sedih karena Ayah sendiri yang melakukannya. Demi Shana. Harusnya lebih baik Ayah nyetujuin gugatan cerai dari awal. Tapi situasi terlanjur chaos."

Plastik berisi buku 'Cara Berpikir Positif' yang kupegang di sisi tubuh terjatuh.

Hatiku mencelos. Sakit. Bingung. Hancur. Perasaan tingkat tinggi terparau selama hidupku.

"Apa?!"




Kamis, 10 Juni 2021

The Sorrow of Loss

Ditulis oleh: Shelma Atira


〰〰

"You can make grief a strength or a ruin, choose it."

〰〰


Hidup Kayana baik-baik saja. Setiap harinya dijalani dengan sekolah, mengerjakan tugas, bermain, pulang lantas tidur. Berulang lagi seperti itu keesokan harinya.


Tetapi, Kayana tak menyangka hari ini akan jadi hari yang berbeda. Hal itu berawal ketika Kayana iseng mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Seperti biasa, kawan-kawannya melakukan hal bermacam kala jam kosong ini. Ada yang bermain kartu remi di belakang--kartu yang dibawa diam-diam, ada kumpulan cewe yang bergunjing, ada geng khusus anak pecinta Korea, animasi Jepang, dan film Thailand. Ada cowok-cowok yang berkutat dengan game-nya sambil sesekali bicara kasar. Semuanya terlihat asyik masing-masing. Kayana sendiri sedang berkumpul di bagian anak-anak rajin yang tetap bergumul dengan buku padahal guru tak ada di kelas.

Kali ini tatapan Kayana jatuh ke Agra, cowok urakan nakal yang dari tadi masuk sekolah terlihat lesu di pojok kelas. Cowok aneh. Biasanya jam kosong seperti ini dia sudah keluar untuk merokok, merencanakan kegiatan tawuran, atau pergi ke kantin lantas tak kembali lagi.

"Lo kenapa?" Tanpa sadar, sembari memikirkan Agra, Kayana sudah berada di sisi meja cowok itu. Agra tampak menelungkupkan muka lesu. Kayana yang pedulian itu tak bisa menahan diri untuk rasa penasarannya akan Agra.

Agra tersadar. Tetapi cowok itu hanya melirik dengan ujung matanya.

"Bukannya lo paling suka bolos kelas? Atau sekalipun masuk, lo sering cabut ke luar kalau ada jam kosong. Kenapa?" tanya Kayana lagi.

Agra menyunggingkan senyum tipisnya. Kali ini dia menegakkan punggungnya pelan-pelan, lantas menoleh seratus persen, mendongak menatap Kayana yang berdiri dengan tatapan tak terbaca.

"Serius?" tanya Agra.

Kayana bingung. Cewek itu mengerjapkan mata. "Serius?" Pertanyaan balik macam apa itu? "Serius apa?"

"Serius...," jeda Agra sembari tersenyum tipis, "Serius, seorang Kayana yang rajin di saat jam kosong gini bukannya pacaran sama buku, malah nyamperin gue kayak sekarang?"

Kayana mendengus, tapi kemudian tertawa kecil. Cewek itu tanpa aba-aba mengambil duduk di kursi sebelah Agra yang kosong.

"Ke mana temen-temen lo?" tanya Kayana.

"Siapa?"

"Komplotan lo yang ada di kelas ini."

Agra tampak berpikir. Cowok itu terlihat serius tak serius menimpali Kayana. "Emangnya gue punya temen?"

Kayana menaikkan sebelah alisnya. Tak tahan, Kayana mengungkapkan kegelisahannya yang sedari lama dia simpan. "Gue merhatiin lo seminggu belakangan asal lo sadar itu."

Arga tampak tertarik. "Merhatiin gue? Wah." Arga tampak tak percaya. "Lo suka gue?"

Blak-blakan sekali, Arga. Mana yang cowok itu serukan salah, lagi. Untung saja sekelas ramai dan pada sibuk sendiri sehingga perbincangannya dengan Arga tak begitu mereka perhatikan.

"Ngehayal aja, lo sana!" Kayana spontan menjitak puncak depan kepala Agra. "Gue tuh beneran khawatir sama lo tahu, Agra. Seminggu belakangan, lo masuk kelas sendirian. Temen-temen lo bolos padahal. Satu sekolah hafal kebiasaan lo. Tahu kalau lo emang suka bertengkar. Tapi hari ini lo nggak sadar muka lo udah nggak ada bentukannya, terparah yang pernah gue lihat selama ini? Lucunya lagi, jam kosong seminggu belakangan lo bener-bener mendem jadi batu di kelas."

Agra tertegun mendengar satu persatu kata Kayana. Cowok itu justru tertawa kecil.

"Kenapa lo ketawa?"

Agra menggeleng. Tetapi kemudian cowok itu memberikan alasannya. "Lo pikir gue nggak tahu? Lo suka ngelirik gue diem-diem, iseng ngelewatin lorong bangku gue pas bersih-bersih, ngalihin perhatian guru setiap mereka marahin gue dan nanyain soal bolosnya komplotan gue yang bandel."

Kayana jadi gantian terdiam. Cewek itu hendak bertanya lebih lanjut, tapi tiba-tiba suara Nilam menginstrupsinya.

"Kay, udah waktu istirahat, nih. Ke kantin, yuk!" Sepihak, Nilam meraih pergelangan tangan Kayana dan menariknya ke luar kelas beriringan dengan beberapa teman rajinnya yang lain. "Lo, tuh jangan deket-deket sama Agra! Lo nggak takut lo bakal kenapa-napa?!"

Kayana menangkap kekhawatiran Nilam,  kawan sebangkunya yang menyadari Kayana menghilang dari bangku sisinya dan mendatangi Agra.

Semua berjalan seperti biasa kembali. Kayana menghabiskan makanan dan berbincang ria dengan Nilam serta beberapa kawan yang lain. Kayana juga berencana tak mendekati Agra lagi karena perkataan Nilam soal 'kenapa-napa' berhasil membuatnya bergidik.

Tetapi, tak disangka, siang ini Agra ikut gabung makan di meja khusus anak-anak rajinnya. Cowok itu terlihat santai. Kawan-kawan Kayana juga lantas tak berkutik.

Makan siang selesai. Kayana dan kawan-kawannya kembali ke kelas. Kayana mengikuti mereka di belakang. Tetapi, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik pergelangan Kayana hingga cewek itu kini terbawa menjauh dari kawanannya.

Agra. Agra yang menariknya.

"Mau ke mana? Kelas udah mau dimulai lagi." Kayana bingung.

Agra dengan terburu membawanya keluar sekolah, menyuruhnya membonceng di belakang motornya. Kayana tak tahu ada apa. Cewek itu cenderung takut.

Agra memahami itu. Cowok itu lekas menjelaskan, "Gue mau ngasih jawaban ke lo. Gue juga bukan orang jahat. Lo percaya gue, kan?"

Kayana tak menjawab apa-apa. Semua berlangsung begitu cepat, dan di sinilah Kayana sekarang.

Di sebuah jalanan sepi, sekitar jalan dikelilingi semak dan pepohonan besar.

"Mana jawabannya?" Kayana menagih jawaban.

"Ya ini."

Kayana bingung. Di lihatnya keseluruhan  sekitarnya. Tapi kosong. Tak ada hal khusus.

"Oke. Langsung aja. Gue seniat ini bawa lo ke sini karena lo sebegitu khawatirnya ke gue."

Kayana menunggu kalimat selanjutnya terucap dari bibir Arga.

"Ibu gue sakit, Kay."

"Sakit? Terus kenapa lo bawa guenya ke sini, Ga?"

"Ya karena di sini semuanya terjadi." Arga mengembuskan napas pelan. "Di sini. Di sini, Ibu gue kecelakaan. Ada orang nggak bertanggung jawab yang setelah nabrak justru lari."

Kayana kaget. "Yaudah, sekarang kita ke rumah sakit aja jenguk Ibu lo, kalau gitu." Seruan Kayana spontan terucap, padahal harusnya dia jadi pendengar yang baik untuk Agra hingga ceritanya selesai.

Kayana menyadari ketermenungan Arga. Cowok itu menggeleng, justru membahas hal lain.

"Ibu gue udah meninggal, Kay."

Petir seakan menggetarkan hati Kayana. Apa yang baru Arga katakan seketika membuat bibirnya membisu.

"Tiga temen gue, mereka bolos demi sekarang cari pelaku itu."

Kayana lebih memikirkan apa yang sebaiknya dia katakan. "Maaf kalau gue terlalu lancang untuk tanya. Maaf kalau justru buat lo sedih."

Arga mengangguk. "Nggak papa, Kay. Gue jadi lebih baik pas tahu ada yang khawatirin gue. Makasih."

Kayana menunduk. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. "Terus muka lo? Kenapa jadi bonyok gitu hari ini?"

"Oh, ini." Arga tersenyum simpul sambil meraba-raba bekas luka di pipi, sudut bibirnya hingga ke bengkaknya matanya. "Gue ikut tawuran saking stresnya. Gue sedih, Kay. Gue sedih."

"Lo nggak perlu masuk sekolah kalau lo lagi nggak baik-baik aja."

"Justru karena apa yang udah terjadi, gue perlu masuk sekolah."

"Maksudnya, Ga?"

"Ibu gue meninggal. Gue merasa gue harus berubah. Gue pengen jadi anak yang baik buat dia, walaupun semua terlambat."

Kayana meneguk ludah. Tak disangka, Arga punya titik kesadaran itu.

"Ga. Jangan nyakitin diri lo sendiri lagi, ya cuma demi ngelampiasin rasa kehilangan lo." Kayana cepat-cepat menambahi alasannya. "Karena lo udah cukup. Sakitnya di hati aja, tapi fisik jangan. Kalau mau ngelampiasin, dengan nangis aja. Sepuasnya."

"Nggak bisa gue, Kay. Nggak bisa." Arga tampak sama kuatnya sedari dulu. Bahkan saat sedih seperti ini pun cowok itu berusaha tegar. "Gue bahkan nggak ngasih tahu seisi sekolah kalau Ibu gue meninggal karena gue benci dipandang orang-orang kasihan. Sekalipun gue nangis pas lagi sendirian, gue cuma ngebuktiin kalau gue kalah sama perasaan sedih gue sendiri."

Kayana ikut tercekat mendengar penjelasan Arga. Cewek itu cepat-cepat menggeleng. "Lo salah, Arga. Sedih bukan berarti lo kalah menghadapi itu. Kesedihan itu bentuk lo menghargai kehilangan itu sendiri. Bahwa sesuatu yang pergi itu terbukti pernah berharga buat lo. Pernah mendapatkan tempat yang nggak akan lo relakan untuk pergi."

Kayana menatap raut muka Arga yang sendu. Bibirnya bergetar.

"Arga. Lo pikir Ibu lo bakal seneng lihat lo justru bertengkar nyakitin fisik lo sendiri? Lo pikir Ibu lo seneng lo jadi hancur sendiri gini?" Kayana memahami situasi. "Lo boleh sedih, Arga. Tapi sedih juga ada batasnya. Kehilangan itu emang nggak pernah jadi sesuatu yang wajar buat kita, tapi hidup harus tetap berjalan. Lakuin apa yang masih bisa lo perbaiki. Balas dendam terbaik atas kehilangan adalah menjadikan kehilangan itu sendiri sebagai kekuatan buat lo maju. Bangun. Bangun, Arga. Jangan mau kalah. Kalau lo mau seisi dunia tahu seberapa tegarnya lo, tunjukin ke mereka dengan memperlihatkan bangkitnya lo pada apa yang seharusnya bikin lo hancur."

Kini, sayup-sayup isak tangis Arga terdengar. Tangisan anak petakilan yang biasanya terlihat dingin dan banyak gaya di hadapan orang. Cowok itu menumpahkan kesedihannya. Hati Kayana ikut bergetar. Entah kenapa, kini air mata juga sedikit demi sedikit mengucur dari pelupuk matanya.

"Jujur Arga, gue nggak pernah tahu ternyata di balik kelesuan lo seminggu belakang ternyata emang ada hal sehancur ini. Jujur juga gue nggak ngerti sepenuhnya apa yang lo rasain, tapi gue ngerti lo sangat terpukul akan itu."

Arga tak memberi balasan. Cowok itu sibuk berduka, napasnya tersengal. Tetapi setelah menyadari Kayana ikut menangis juga, cowok itu menoleh.

"Maaf buat bawa keluar salah satu anak rajin di kelas sembarangan, dan bikin dia ikut sedih kayak gini."

Kayana tersenyum kecil mendengarnya. Mukanya terlihat merah kontras sebab kulitnya putih, berbeda dengan kulit Arga yang lebih gelap.

Selama hidup Kayana yang datar, Kayana tak mengerti rasanya menjadi 'orang lain'. Hari ini, Kayana sempurna mengerti rasanya jadi Arga. Keluar sekolah di saat pelajaran akan dimulai. Melihat sisi hati lain Arga yang tak semua orang tahu.

Baru pertama kali ini, rasanya Kayana keluar dari zona nyaman walaupun mungkin ini untuk pertama dan terakhir, dan Kayana harus memikirkan cara mengatasi konsekuensi itu.

"Salah gue juga untuk nggak nolak. Tapi nggak papa, Ga." Kayana mengusap sisa air matanya, menghentikan kesedihannya. "Kesalahan yang anak rajin ini perbuat, nggak setimpal sama kesempatan ndengerin cerita si anak urakan dan ngerasain jadi dia."

Itu lebih mahal harganya.


Sabtu, 29 Mei 2021

Behind The Flaw

Ditulis oleh: Shelma Atira


〰〰

"It's not our fault if we have flaws."

〰〰


"Lara, lo nggak papa?" Seorang cowok mendekati Lara yang tiba-tiba jatuh kala upacara sedang berlangsung. Lara tak mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Tetapi Lara hafal suara cowok yang baru saja menanyainya. Lara tak sanggup membuka mata. Dibiarkannya badannya dibopong oleh petugas Palang Merah Remaja (PMR) yang tengah berjaga.

Setelahnya, Lara tak tahu apa yang telah terjadi. Gadis itu hanya merasa badannya terbaring di suatu ruangan. Akhirnya, Lara tersadar. Dibukanya matanya, remang-remang ruangan terlihat. Cahaya masuk dari jendela bergorden di belakang ranjangnya.

"Hah, pingsan lagi?" gumam Lara sendiri. Gadis itu menatap langit kamar Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Gadis itu tak punya gangguan khusus. Tetapi dia memang rentan pusing jika berdiri lama di bawah terik matahari.

Lara mengedarkan pandangan. Ruangan UKS tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa siswa yang sama-sama lelah dan pusing terdiam di kursi maupun ranjang sekitar situ.

Tetapi, ada satu yang membuat Lara salah fokus.

Ada satu siswa lelaki yang sedang duduk di ranjang sebelah Lara. Lara hanya bisa melihat punggungnya. Ranjang Lara dan ranjang cowok itu ada di bagian terpojok, dan itu membuat Lara merinding sebab Lara dapat melihat betapa pucat dan putih tangan cowok sebelah ranjangnya terlihat. Cowok itu terdiam sambil membelakanginya, sepertinya tak sadar Lara memandanginya sedari tadi.

"Lo," Lara berujar pelan, yang dipanggil tidak merasa.

"Lo," seru Lara lagi, kemudian memberi pertanyaan jelas atas sesuatu yang memenuhi kepalanya saat ini. "Lo bukan hantu, kan?"

Si lelaki terdiam sejenak. Tetapi lantas perlahan menoleh ke arah Lara. Tatapan mereka sontak beradu. Di tempat, Lara sontak mengucek mata. Melihat cowok itu baik-baik.

"Gue bukan hantu," jawab cowok itu serak. Cowok itu cepat-cepat membalikkan badan lagi, justru kian membuat Lara penasaran.

Lara yang sebelumnya pusing, kini jadi bersemangat lagi. Cewek itu kembali sehat. Cepat, Lara bangkit, berjalan mendekati cowok yang duduk di tepian ranjang sebelahnya.

"Lo siapa?" tanya Lara ketika kini telah berada di hadapan cowok itu. Dilihatnya muka lelaki muda itu baik-baik. Alis tebal, bibir merah muda sedikit bengkak kebiruan, mata hitam sayu, kulit putih pucat. "Kok gue baru lihat lo di sekolah ini?"

Yang ditanya diam termenung, justru memalingkan muka.

"Hei, gue ngomong sama lo." Lara tak sabar menunggu jawaban cowok itu. Inisiatif, Lara mengulurkan tangan. "Kenalin, Armalara Dinesha. Lara."

Cowok itu hanya melirik Lara dengan ujung matanya, tak membalas jabatan tangan Lara.

Tetapi akhirnya cowok itu mengeluarkan suaranya. "Johan. Johan Nandana."

Lara mengembalikan uluran tangannya lagi karena tak mendapat respon jabatan dari Johan. Gadis itu meneguk ludah, lantas dengan lancang mengambil duduk di sebelah Johan. Cewek itu santai karena kondisi UKS yang tak begitu ramai membuat dia sedikit bebas.

"Lo suka pusing juga kayak gue setiap upacara?" tanya Lara. Cewek itu mengayun-ayunkan kakinya yang terbebas sebab ranjang UKS ini agak tinggi.

Johan menggeleng.

"Terus? Lo di UKS ini kenapa?"

Johan terdiam sejenak. Kini terlihat enggan menatap Lara seolah-olah tak menyukainya.

"Gue," jeda Johan, "Gue takut."

Lara mengerjapkan mata, tak mengerti. Kenapa Johan tak nyambung? Kenapa tiba-tiba bilang takut?

"Gue takut hidup," seru Johan memperjelas.

Lara mengernyit. Ditangkapnya raut Johan yang seketika cemas. Lara kian bingung.

"Maksudnya?" Lara menilik. "Kenapa? Kenapa takut hidup?"

"Karena hidup cuma baik ke orang-orang normal."

Lara dengan cepat paham maksud kata-kata Johan, yang dia tak paham ialah alasan Johan tiba-tiba berkata demikian.

"Karena gue nggak normal, Lara." Johan mengaku. Cowok itu kini berani menatap kedua mata hitam legam Lara. Dapat Lara lihat mata Johan berkaca-kaca.

Lara jadi merasa tidak enak. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba begini?

"Standar sosial kita itu tinggi. Semua orang yang terlihat tidak seperti umumnya dianggap berbeda. Mereka yang disabilitas, yang punya gangguan psikis, yang punya penyakit tertentu, yang punya kecacatan fisik."

Lara tak tahu ke mana arah pembicaraan tersebut, tapi dia berusaha mengikuti.

"Iya, Jo. Gue ngerti." Dalam hati Lara, dia ingin sekali menanyakan ketidaknormalan apa yang Johan alami, sebab walaupun kulitnya putih pucat, bibir kebiruan, cowok itu terlihat sehat dan normal saja. Lara juga masih penasaran alasan cowok ini berada di UKS. "Di sekitar gue, selama ini juga yang cakep yang diprioritasin. Perhatian guru cuma milik anak-anak pinter. Orang-orang berkekurangan sering dipandang sebelah mata, sering dihina bahkan dikerjain."

Lara tahu banyak kasus yang pernah ia baca. Dia ingat betapa sebuah kekurangan yang tak manusia sendiri itu minta, menjadi cela untuk orang lain menghakiminya.

"Tapi, Jo." Lara tampak berpikir-pikir. "Gue rasa nggak etis kalau kita ngelakuin perbandingan yang nggak adil. Hidup ini punyanya semua orang, yang nggak normal sekalipun. Pemikiran masyarakat aja yang suka mendiskriminasi bahwa kekurangan itu mala petaka. Perlu kita tekanin kalau semua orang itu normal, mereka yang nggak normal cuma diberkati hal yang beda aja. Tapi mereka tetep manusia, kan?"

Johan menaikkan alis tampak tertarik.

"Tapi gue heran kenapa perbandingan itu tega-teganya ngebuat orang ngerasa berhak nyakitin orang lain."

Lara mengangguk. Cewek itu kemudian tergelak. "Mungkin mereka yang kayak itu otaknya dongkol, kali. Kayaknya mereka yang nggak normal, soalnya kapasitas mikir mereka terbatas. Makanya nggak mau memahami orang lain."

Johan di sebelahnya tidak ikut tergelak. Tetapi dapat Lara lihat cowok itu memberikan senyum tipis.

Lara termenung sebentar. Johan juga demikian.

Lara kini memfokuskan tatapannya ke Johan lagi. Cewek itu penuh penasaran menanyakan hal yang mengganjal di kepalanya.

"Johan," panggil Lara. "Lo nggak perlu jawab kalau ini menyinggung. Gue mau tanya."

Johan tak memberi respon, tapi tampak menunggu apa yang hendak Lara pertanyakan.

"Lo kenapa sampe di UKS ini? Lo nggak normal kenapa?" Karena terdengar tidak masuk akal saja. Apa hubungannya tidak normal sampai masuk UKS. Maksud Lara, UKS itu tempatnya murid-murid sakit. Apakah hal yang tidak normal di Johan ialah penyakit? Tapi cowok itu sungguh tampak sehat.

Johan terdengar bergumam. Baru saja cowok itu hendak menjawab, suara lelaki dari balik punggung Lara terdengar. Otomatis memberhentikan seruan Johan berikutnya.

"Lara!" panggil seorang lelaki, menghampiri Lara yang terduduk di tepi ranjang.

Lara menoleh, di sana, dia dapat melihat cowok yang menolongnya ketika pingsan tadi. Lara mengenali suaranya.

"Eh? Ezra?"

Lara melempar senyuman, masih terduduk di tempatnya, memberi balasan atas panggilan Ezra.

"Ngobrol sama siapa, Lara?"

Lara hendak menjawab Ezra sambil menunjukkan teman barunya, Johan. Tetapi, kala Lara menengok ke arah sisi sebelahnya, tempat Johan tadi duduk di sana, Lara tak menemukan keberadaan Johan.

Johan... menghilang.

Lara meneguk ludah. Gadis itu turun dari ranjang. Mengamati UKS keseluruhan, dan masih tak menemukan Johan. Kapan cowok itu pergi?

Sadar, Lara spontan menanyakan Johan pada Ezra. Mungkin Ezra sebagai pengurus OSIS mengetahui siswa bernama Johan, atau sekadar mengetahui siapa saja murid baru yang baru saja masuk di sekolahnya.

"Ezra," panggil Lara. Cowok itu terlihat menilai Lara atas hingga bawah, memastikan kondisi Lara. Ezra merangkulnya, mengajaknya keluar UKS selagi upacara sudah berakhir. "Gue boleh tanya sesuatu?"

"Hm?"

"Anu." Lara tidak tahu harus mulai dari mana. "Ada anak baru, ya? Namanya Johan?"

Ezra yang kini tengah merangkul Lara sambil berjalan menuju kelas berhenti. Cowok itu menatap Lara tak terbaca.

"Anak baru?" Ezra mengernyit. "Nggak ada. Tapi, lo barusan bilang nama 'Johan'?

"Iya." Lara mengingat nama panjang cowok yang tadi diajaknya bicara di UKS. "Johan Nandana."

Muka Ezra mendadak kaku. Cowok itu teringat sesuatu.

"Temen-temen OSIS gue pernah saling cerita akan sesuatu. Dia pernah bahas kasus viral lama yang ada di sekolah ini. Kata dia, pernah ada murid cowok namanya Johan Nandana."

Muka Ezra semakin tampak tak enak. Cowok itu yakin tak yakin hendak cerita.

"Murid itu penderita penyakit langka Xeroderma Pigmentosum. Anti matahari. Tingkat sensitifnya dia kabarnya lagi tinggi-tingginya. Suatu hari, temen-temen cowoknya iseng bawa dia ke tengah lapangan depan pas terik-teriknya matahari, pas waktu istirahat dan tempat mereka beraksi sepi. Johan tak sadarkan diri. Dia meninggal di tempat."

Lara tertegun. Cewek itu bahkan tak tahu harus berkata apa untuk sekarang.

"Murid yang melakukan itu nggak dihukum karena di bawah umur. Mereka cuma dikeluarin. Kabarnya, selama Johan di sekolah, para pelaku itulahlah yang paling sering membuli dia. Tapi emang saat itu mereka keterlaluan banget sampe kayak gitu."

Lara tersekat. Napas cewek itu tertahan. Tampak tak percaya atas cerita Ezra.

Lara kaget mengetahui bahwa Johan, murid cowok yang ditemuinya di UKS tadi bukanlah manusia. Tetapi Lara jauh lebih tertegun atas apa yang terjadi pada cowok itu. Kini Lara tahu mengapa tadi mata cowok itu berkaca-kaca. Kini Lara tahu apa ketidaknormalan Johan. Kini semuanya masuk akal. Kini Lara paham.

Sementara itu, di tempatnya, Johan hanya menatap punggung Lara dari kejauhan.

Cowok itu tersenyum. Nasihat dan omongan Lara tadi di UKS membuat dirinya tersadar dan tergugah akan sesuatu.

Memiliki kekurangan hingga diperlakukan tidak adil bukanlah salahnya. Perbandingan sosial tak wajar tak perlu jadi cela kebenciannya karena lahir dengan kondisi demikian.

Kini Johan bisa pergi dengan tenang.