Ditulis oleh: Ni Wayan Maeta Dewi Suryantari & Shelma Atira Dewi.
--
Cerita kolaborasi.
--
Matahari di Balik Awan
Manusia adalah orang yang menjalankan peran di dunia. Suka dan duka adalah
uraian kata dari banyaknya frasa yang ada. Waktu adalah bukti bahwa manusia
tak akan bermakna jika kita berdiam diri dan mengabaikan hal yang berarti.
Di bawah cahaya gemilang, pasti butuh kedamaian dalam pelukan. Seperti hal nya matahari
dan awan, dua elemen yang tak akan terpisahkan namun akan ada rasa kehilangan pada
waktu matahari tenggelam.
Hai,
namaku Arga Ditya Permana, biasa dipanggil Arga. Aku adalah seorang musisi Bali
dari Kota Denpasar. Setiap malam, panggung menjadi kanvas bagi kisah hidupku
yang penuh liku. Hidupku tak hanya tentang gemerlap panggung, tepuk tangan, dan
sorakan yang diucapkan. Namun ada melodi yang selalu menjadi saksi setiap
perjalanan. Inilah kisahku, kisah tentang cinta yang hilang dan janji yang terabaikan
oleh kesalahanku.
Matahari
mulai memancarkan panasnya dan keringat membasahi dahiku. Masih ada empat lagu
yang harus aku bawakan, namun aku merasa tak mampu untuk tetap berdiri.
Akhirnya, dengan upaya keras, aku memaksakan diri untuk menghibur ribuan orang di
acara tersebut. Dan pada akhirnya, acara itu pun berakhir.
Ketika
sampai di rumah, tubuhku langsung terkulai lemas menanti saat aku menutup mata.
Akhirnya, aku pun tertidur. Suara kicauan burung membangunkanku di pagi hari
itu. Perutku terasa lapar dan menggerutu, menginginkan makanan. Aku kemudian berjalan
menuju meja makan.
Aku
sangat terkejut melihat meja makan yang penuh dengan makanan. Dalam hati, aku
bertanya-tanya siapa yang memasak semuanya. Tiba-tiba, muncul seorang wanita
berambut panjang berpakaian putih dari balik pintu dapur. Dan ternyata, itu adalah
kekasihku, Gauri Lakshmi Permata.
Gauri, wanita yang sangat aku cintai. Dia penyabar, jujur, perhatian, dan setia. Banyak lagu yang aku ciptakan terinspirasi olehnya. Dia adalah bidadari yang turun ke hatiku dan menjadi kekasih dalam hidupku.
"Sejak
kapan kamu ada di sini?" tanya aku.
"Sejak
kamu masih tidur," jawabnya dengan senyuman manis. "Mengapa kamu tidak
membangunkanku?" tanyaku.
"Aku
melihat kamu begitu lelah dan menikmati tidurmu," jawabnya.
Karena
perutku terasa lapar, aku segera menyantap roti keju yang ada di hadapanku. Gauri
melirikku dengan senyuman.
"Lapar
ya, Sayang?" tanya Gauri dengan nada manja. "Iya," jawabku sambil
menganggukkan kepala.
Tak
lama kemudian, aku mendapat telepon dari produser untuk menghadiri rapat dengannya.
Padahal, pada hari itu aku telah berjanji pada Gauri untuk menemaninya ke rumah
orang tuanya di Renon. Akhirnya, rencana itu batal, dan Gauri tidak jadi pergi
ke Renon karena aku harus rapat dan bekerja pada proyek dengan produser. Aku berjanji
pada Gauri bahwa bulan depan aku akan menemaninya ke Renon.
Setiap
malam, aku menciptakan lagu untuk mempersiapkan album baru aku yang akan dirilis
bulan depan. Sehingga waktu luang aku habis hanya untuk membuat lagu, dan waktu
untuk Gauri terabaikan. Setiap kali Gauri mengajak bertemu, aku selalu mengelak
dengan alasan pekerjaan.
Tiga
minggu berlalu tanpa aku bertemu dengan Gauri. Rasa rindu mulai tumbuh di
hatiku. Namun, ketika akhirnya kami bertemu, sikap Gauri agak berubah. Dia
tampak lebih pendiam dan pasif dari biasanya. Mungkin dia sedikit marah karena aku
terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, aku tidak mengambilnya serius.
Sehari
sebelum peluncuran album, produser mengadakan rapat dan check sound. Hari yang
aku tunggu akhirnya tiba. Aku berharap peluncuran album ini berjalan lancar dan
album yang aku garap sukses di pasaran.
Di awal acara, aku menerima telepon dari Gauri yang mengingatkan janji untuk menemaninya pergi ke Renon. Akhirnya, aku memutuskan agar Gauri pergi sendiri, dan aku akan menyusulnya besok pagi. Tanpa menunggu jawaban, Gauri langsung memutus telepon. Namun, aku tidak mengambilnya dengan serius. Dan acara tersebut berjalan lancar.
Tiba-tiba,
aku mendapat kabar bahwa Gauri mengalami kecelakaan lalu lintas. Aku segera
bergegas menuju rumah sakit. Namun, kedatangan aku terlambat. Gauri sudah pergi
sebelum aku tiba.
Air
mata aku menetes saat aku melihat sosok yang aku cintai terbaring tak bergerak
di hadapan aku. Wajahnya seolah tersenyum menyambut kedatanganku. Menyambut kedatangan
orang yang tak memiliki hati.
Aku
melihat selembar kertas di samping tubuh Gauri yang ternyata adalah pesan
terakhirnya. Dalam pesan itu, Gauri menulis tiga kata yang membuatku sangat
menyesal. "Aku menunggumu di sana," itulah pesan yang ditulis Gauri sebelum
pergi ke Renon. Ternyata, dia sudah merasakan apa yang akan dialaminya.
Mungkin,
batu nisan memisahkan kita di dunia ini, tetapi kamu akan selalu ada di
hidupku. Menemani setiap detak jantungku dan meresap ke dalam lubuk jiwaku.
Penyesalan tidak akan membawamu kembali, namun aku yakin kamu bahagia di singgasana
surga.
Setelah
kepergian Gauri, kesedihan melanda hatiku seperti badai yang tak terduga. Setiap
sudut rumah kami terasa kosong tanpa kehadirannya. Aku merenungkan semua momen
indah yang pernah kami lewati bersama, mulai dari senyumnya yang manis hingga
tawa riangnya yang selalu menghangatkan hati.
Hari-hari
berlalu dengan perasaan yang terus menerus terombang-ambing antara penyesalan dan
kesedihan yang mendalam. Aku merasa seperti telah kehilangan bagian dari diriku
yang paling berharga.
Di tengah kesedihan yang melanda, aku menemukan selembar kertas di antara barang-barang pribadi Gauri. Itu adalah sebuah surat yang ditulisnya untukku. Dalam surat itu, dia menuliskan betapa besar cintanya padaku dan berharap aku bisa melanjutkan hidup dengan bahagia meskipun dia telah pergi.
Setiap
kata dalam surat itu seperti menyentuh hatiku yang paling dalam, mengingatkan
bahwa meskipun fisiknya telah tiada, namun cintanya tetap abadi dalam hatiku.
Setiap
malam, aku duduk di ruang kerja kami sambil memainkan melodi- melodi yang
pernah kami ciptakan bersama. Melalui nada-nada yang mengalun, aku merasakan
kehadiran Gauri di sekelilingku, seperti dia masih ada bersamaku, menyemangati dan
mendukungku dalam setiap langkahku.
Walaupun
Gauri telah pergi, namun cintanya tetap melekat dalam jiwa dan hatiku. Aku
berjanji untuk terus mengenangnya dengan setiap nafas yang kuambil, dan merawat
kenangan indah yang telah kami bagi bersama. Hingga suatu hari nanti, saat kita
dipertemukan kembali di dunia yang lain, aku akan memeluknya erat dan mengucapkan
rasa cintaku padanya, tanpa batas dan tanpa akhir.
Maafkan
aku, Gauri. Aku akan terus mencintaimu, bahkan dalam kepergianmu yang abadi.
***
“Arga, kenapa lagu itu ajaibnya, bisa menenangkan?” Suara Gauri remaja
dulu sempat bertanya, selepas aku bilang aku suka menulis lagu dan menyanyi
karena melaluinya, aku bisa bernapas.
Saat
itu kami berada di Pantai Wertasari, mata bulatnya berkilau terkena sinar
matahari, terbersit tanda tanya.
“Seperti
kamu suka alam, wisata, Gauri. Kamu akan temukan kenapa hidup ini terasa
berarti dari-Nya. Mengapa, Gauri tertarik menjadi musisi juga?”
Mata
Gauri membelalak, kemudian menggeleng. “Tidak, aku mau cari cita-cita lain,
cita-cita itu buatmu saja. Nanti kita jadi saingan kalau sama-sama jadi
musisi.”
Ingatan
memori perbincangan itu menguar setelah sepatah guratan surat peninggalan Gauri
waktu lalu yang kubaca menerangkan: “Arga, senang bisa mencintai lagu juga
karenamu, sehingga apabila lagu-lagu itu merenggutmu juga dari pelukku, aku
tidak masalah, Arga, karena aku setengah hidupmu, dan setengahnya lagi ialah
lagu-lagu yang menyelamatkan hidupmu. Bahkan setelah berpasangan seumur hidup
denganmu, kita pernah membuat lagu bersama, di setiap lagumu yang kamu tuliskan
selalu tentangku. Semuanya tentang aku.”
Sekali
waktu aku mengunjungi rumah orang tua Gauri di Renon, sekadar bermain di area
tersebut. Aku ada di satu titik menyadari bahwa kala itu, Gauri hendak pulang
ke Renon karena ia tidak ingin sendiri. Bersamaku, ia selalu sendirian.
Aku tidak pernah menemani, pulang-pulang bukannya membawa martabak manis justru
membawa skrip lagu atau bahkan kepenatan untuk Gauri selalu terima bagian
lelahnya.
Maka
untuk menebus dosaku, setelah berbulan-bulan, menjelma tahun hingga sepuluh
tahun berlalu aku lebih banyak mengalunkan melodi dan terus mengenang Gauri
yang telah tiada, suatu waktu aku mendatangi Pura, beribadah kepada Sang Hyang
Widhi Wasa, meminta petunjuk-Nya. Meskipun Gauri terasa masih berkeliaran di
sekelilingku, mendukungku selalu menciptakan lagu, aku tahu itu bukan keinginan
Gauri, itu hanya inginku. Maka setelah menitipkan doa yang penuh permohonan
ampunan, aku juga ingin memberikan apa yang Gauri inginkan, setidak-nya,
menyelakan waktu untuk menemuinya di hal-hal yang dia suka.
Hal
inilah yang membuatku bertemu dengan anak kecil bernama Susma Saraswati.
Gauri
suka alam dan wisata, maka aku sering mengunjungi tempat-tempat yang selalu
ingin dikunjungi oleh Gauri bersamaku, berharap di sana aku bisa semakin merasa
dekat dengan Gauri.
“Kok
sedih?” Itu pertanyaan pertama dari Susma, waktu aku duduk memandang hamparan
pasir di Pantai Wertasari. Anak aneh, kalau bisa kubilang padamu, Gauri. “Biasa
lihat kakak main gitar, nyanyi-nyanyi sendiri. Sumpah seram, Kak kalau
tiba-tiba jadi pendiam begini.”
Susma
merupakan anak berusia lima belas tahun yang pandai berbahasa asing. Dia tumbuh
tanpa orang tua dan menjadi pemandu wisata. Cita-citanya jalan-jalan dan
menelusuri seluruh tempat di Bali. “Kalau boleh sih, suatu hari diajak ke luar
negeri,” katanya.
Aku
ingin sekali bilang ke Gauri kalau aku menemukan Gauri versi anak kecil. Suka
jalan-jalan, peduli sekali dengan orang asing. Sampai kesamaan itu membuatku
meneteskan air mata, sebab sempat anak itu menanyakan, sesuatu yang dulu sangat
sering Gauri tanyakan, tetapi dengan bahasa Susma yang tetap anehnya: “Kak, apa
selama ini bikin lagu, menyanyikan lagu bikin Kakak lebih tenang? Lalu apakah
menciptakan lagu bisa menjadi media bertaubat?”
Pertama,
pertanyaan itu justru membuatku merenungi. Sejatinya, ada beberapa waktu,
mengomposisikan lagu tidak membuatku tenang. Aku teringat Gauri, dan setiap
membuat lagunya, aku menangis. Artinya, ketenangan itu justru bisa aku dapatkan
dengan tidak menjadi musisi. Kedua, berkulik di lagu tidak menghapus dosaku,
atau justru menambah? Hal ini karena musiklah aku tidak bisa menjaga Gauri,
memastikan ia baik-baik saja sehingga ia tidak akan meninggal dunia.
Sekelebat
fakta itu lewat, hingga aku merasakan kerongkonganku panas, tercekat. Mataku
yang melihat mata anak kecil asal bicara itu melebar, tidak berkedip untuk
waktu lama, hingga aku kian merasa mukaku kian basah.
“Duh,
gimana, sih malah menangis. Daripada menangis mending ajak jalan-jalan aku ke
luar negeri,” candanya. “Jadi apa jawabannya, aku penasaran, tahu! Khawatir
kalau Kakak tiba-tiba jadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) gara-gara Kak
Gauri itu!”
Aku
terdiam.
Tertawa
tipis.
“Susma,”
panggilku. “Pertama, bikin lagu bikin Kakak tenang. Nafkah dari bermusik itulah
yang bisa kakak hasilkan untuk mengasihi orang-orang tersayang Gauri sekarang.
Kedua, bertaubat harusnya beribadah ke Pura. Namun karena musik bisa membuat
Kakak berbagi, menghibur orang lain, serta menyegarkan tempat kesukaan Gauri
(alam dan tempat wisata), Gauri pasti akan memaafkan.”
Selepas
itu, aku meraih tangan Susma, mengajaknya beranjak dari situ. Kebetulan hari
itu aku tidak membawa gitar. Aku ajak Susma berdiri, menjauh dari Pantai. Susma
hanya mengikuti. Tangannya yang kasar dan sedikit menghitam karena bersahabat
dengan sinar matahari justru membalas genggaman erat tanganku, seolah
senang-senang saja apabila ia dibawa pergi olehku, orang yang sebenarnya tidak
asing-asing amat tetapi punya potensi menculik.
“Kita
akan pergi ke rumah Kak Gauri? Ke rumah Kak Arga?”
Aku
menaikkan alis, menggeleng.
“Tidak,
kita akan mengunjungi tempat di manapun Kak Gauri berada, tempat kesukaannya.
Kita akan ke tempat wisata.”
“Di
mana, Kak?”
“Di
luar negeri.”
Tanpa
memberikan waktu banyak untuk Susma untuk berpikir, mencerna, bahwa di hari itu
juga ia akan terbang melintasi benua dan melihat pesawat terbang di atas
lautan, kami berangkat ke Jerman.
Petualangan
itu kalau bisa kurincikan ialah seputar: (1) Susma yang terlalu bersemangat
main ke luar negeri dan hiperaktif dengan penduduk asli. Suka mendekati orang,
dan menjadi tugas besarku, bukan aku yang menculik, tetapi menjaga ia supaya
tidak diculik ketika ditanya: “Wie wäre es, wenn wir zusammen in einem
Restaurant essen?” (Bagaimana kalau kita makan di restoran bersama?), (2)
Susma yang membuka mulutnya hampir 3 jam penuh sewaktu aku menampilkan musik
sebagai perwakilan Indonesia di kehadiran undangan kolaborasi tampilan
Indonesia-Jerman, dan bilang: “It’s cool! Why don't you let me know you
could play as the legendary Mozart does?”, atau (3) Susma yang dengan
bahagia meminta uang sumbangan ke penonton permainanku di tempat terbuka
padahal sudah kubilang: “Susma, aku tampil gratis untuk berbagi hiburan, bukan
sedang mengemis dan butuh uang.”
Sampai,
3 hari itu terasa cepat, tetapi yang aku lihat di mata Susma, ia punya
kebingungan menghadapi dunia luar. Tidak seperti di Bali, dia bisa menaruh
sesajen di beberapa tempat, beribadah dengan nyaman di rumah, atau bermain
turis-turis-an (menjadi pemandu wisata) kalau lelah tinggal pulang ke rumah,
sedangkan di sini tidak bisa. Dia harus mengikutiku. Lagipula, Susma pernah
bilang dia dekat dengan banyak turis di Bali. Namun, karena dia anak yang aneh,
dia pasti mengganggu. Dia bisa manis, tetapi manisnya membuat dia takut
diculik. Kalau di Bali dia masih bisa kabur, dia hapal 3/4 seluruh lokasi di
Bali, rumah penduduk, letak sungai, arah kompas. Nah, namun itu hanya di Bali.
Beda dengan di luar negeri, sehingga selama 3 hari Susma berusaha keras mengingat
tempat dan jalan yang ia kunjungi, tetapi berarti nihil.
Di
perjalanan pulang, hingga sampai di Bali, Susma menceritakan padaku soal
hubungan Bali dengan Jerman, padahal setahuku tidak nyambung sama sekali. Ada
kerjasama antara Indonesia dengan Jerman sejak abad ke-19 yang diperkuat dengan
kunjungan Presiden ke Berlin di tahun 2016. Hubungannya di mana? Ketika ada
pertemuan Eropa dengan Indonesia di Indonesia, Bali selalu menjadi opsi
pilihannya. Di situ aku baru menangkap di mana hubungan Bali-Jerman walau
konek-ku masih jauh sekali.
Namun,
yang mengejutkan bukan waktu Susma cerita itu secara aneh dan random,
tetapi waktu dia mengungkapkan sesuatu, yang aku yakin dia tidak bercanda.
Tidak dengan yang ini.
“Kak
Arga, tahu tidak?”
“Tidak
tahu dan tidak mau tahu," kataku sambil menunggu pengambilan koper selepas
sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai.
“Kak
Arga tidak penasaran kenapa sampai hari ini Susma bisa hidup dan bertahan
sendirian?”
Aku
hanya diam, takut ini pertanyaan sensitif, membiarkan Susma menerangkan
sendiri.
“Dahulu
kala... ehem, ini bukan dongeng ya. Intinya, sebelum kenal Kak Arga, Susma
sudah kenal dulu dengan Kak Gauri. Di usia yang ke 5 tahun, Susma diambil dari
Panti Asuhan dan tinggal di Renon, dekat rumah Kak Gauri ada sendiri, deh
pokoknya. Setelah kepergian Kak Gauri, selama sepuluh tahun ini, Susma nunggu
Kak Arga datang ke Renon. Ini rahasia besar, Kak. Rahasia negara! Orang tua Kak
Gauri saja tidak tahu Susma. Kak Gauri itu baik sekali, katanya dia selalu
dapat uang dari suaminya yang musisi. Nah, Kak Gauri minta Susma hidup bersama teman terdekat selama SMA-nya yang tinggal bersama Susma. Pergi ke Jerman ini Susma
belum izin, loh! Susma percaya-percaya saja sama Kak Arga, toh kalau diculik
yang menculik Kak Arga.”
Terjawab
sudah kenapa dahulu Gauri ingin kembali ke Renon. Dia punya anak kecil yang
dipertanggungjawabkannya.
Sekarang,
gantian Susma yang tidak membiarkanku sedetikpun untuk memahami, dia
melanjutkan.
“Nah,
Kak Arga. Susma sebenarnya punya Ibu Angkat berarti, ya, Kak Gauri. Susma baru
pertama kali dengan sepenuh hati bicara dengan orang asing itu sungguhannya
dengan Kak Arga, karena Susma ingin melaksanakan misi mendoakan Kak Gauri di
Surga dan membantu orang yang disayangi Kak Gauri: Kak Arga bahagia, tidak
sendirian karena ditinggal. Jadi, ehem ini susah sekali bicaranya. Namun
dengarkan,” Susma menjeda, “Kira-kira boleh tidak Susma panggil Kak Arga Ayah?
Atau Kak Arga mau jadi Ayah Susma?”
Seketika
seluruh album yang telah kutulis berkaburan karena ada fakta yang lebih
darurat, semua melodi yang mengalun di antara cintaku dengan Gauri berkelebat,
seolah selama ini, banyak cinta yang telah diberikan Gauri kepadaku, berlebihan
bentuknya malah. Bahkan setelah kepergiannya, walau tanpa menuliskan di surat
peninggalannya, Gauri menghadirkan cinta itu. Ia tahu anak hebat temuannya ini
akan menemukanku sendiri, tanpa Gauri beritahu aku.
Selain
melodi yang menyelamatkan hidupku, Gauri yang hadir membasuh lelah dan
ambisiku, di dalam kelam, penerimaan kepergian yang kuusahakan hadang pada
gemuruh awan gelap, tangis setiap malam, tidak terduganya, cahaya itu hadir
dari anak kecil antah berantah, salah satu titipan Gauri, bahkan setelah ia
telah di surga. Matahari ketiga di balik awan. Matahari itu: Susma Saraswati.
- TAMAT -