Kamis, 30 Desember 2021

Manusia yang Kehilangan Dunianya

Ditulis oleh: Shelma Atira.

Note: Cerita pendek ini diikutkan dalam kontes menulis Indonesiana.Id. Penulis mengupload cerita pendek ini di sini sebagai arsip.


***

 "Yesa, majalahnya bagus, ya!" Kenzo, anak laki-laki usia empat belas tahunan berteriak girang pada Yesa kecil sambil menunjukkan gambar bacaan majalah. Senyum Yesa kecil bertemuan dengan senyum Kenzo. Dua bersaudara yang terpaut usia lima tahun itu saling menyimak isi majalah dengan mata berbinar. 

Namun, semuanya tidak berjalan menyenangkan begitu saja. Seorang wanita dewasa datang merampas buku majalah itu, lantas meraih tangan Kenzo, anak laki-lakinya sambil memasang wajah murka.

"Kenzo! Sudah berapa kali Mama bilangin jangan dekat-dekat sama Yesa! Barusan apa juga yang kamu tunjukin ke dia?! Majalah?! Yesa itu autis, mana bisa dia paham yang kamu tunjukkin! Mulai besok Mama bakal taruh Yesa ke panti asuhan khusus anak berkebutuhan khusus. Dia cuma jadi beban, Kenzo. Jangan dekat-dekat Yesa, dia cuma anak pembawa sial!" Mama menyeru kasar kepada Kenzo sambil menjauhkannya dari Yesa. Yesa, anak perempuan kecil yang menyaksikan itu kaku terdiam di tempat. Terlihat tidak begitu paham, tapi apa yang disaksikannya, di mana tangan kakaknya digenggam kasar membuatnya tanpa sadar bertindak sendirinya.

Bangkit, Yesa kecil berlari mendekati Mama dan Kenzo, lantas berusaha melepas tangan Mamanya yang meremat tangan Kenzo dengan kasar.

"Mama, thangan Kenzo akit! Jhangan ditalik-talik!" pekik Yesa sambil berusaha berbicara meski tidak jelas. Mata anak perempuan itu berkaca-kaca. Apa yang dilakukan Mamanya terhadap kakaknya serasa ikut menyakitinya.

"YESA! JANGAN GANGGU MAMA!" Lengkingan suara Mama jauh lebih menggelegar membuat hati Kenzo dan Yesa kecil bergetar. Tangan Mama mulai meraih tangan Yesa yang berusaha mencekalnya, kemudian Mama menjauhkan tangan Yesa paksa, tapi, yang terjadi berikutnya jauh menggilaskan hati.

Di saat Mama melempar tangan Yesa menjauh, tubuh anak perempuan itu ikut terdorong ke belakang. Yesa kecil terpental kurang keseimbangan. Akhirnya, punggungnya terbentur lemari kaca cukup kencang. Di saat itulah, berbagai porselen di dalamnya bergoyangan. Salah satu cangkir kaca bergerak hebat, jatuh keluar menuju tempat Yesa berdiri. Detik kemudian, suara pecahan kaca terdengar. Cangkir tersebut berbenturan dengan kepala belakang anak perempuan itu, pecah berkeping-keping membuat kulit kepala Yesa kecil berdarah. Cairan merah menetes deras, Yesa kehilangan kesadaran seketika.

Kenzo yang melihat kejadian itu membelalakkan matanya, terpaku sejenak. Sontak melepas pegangan tangan Mamanya dan mendatangi adik kecilnya.

"Yesa!"

***

Sepuluh tahun berlalu. Itu adalah kejadian di mana awal mula aku kehilangan adik kesayanganku. Dia bukan adik yang sempurna seperti adik orang lain. Dia tidak bisa berbicara lancar. Dia sulit bersosial. Dia suka bermain rumah-rumahan sambil tertawa sendiri. 

Tapi dia tetaplah Yesa, adikku. Adik yang selalu bergembira ketika kuceritakan dia banyak hal. Tidak meremehkanku ketika aku membahas hal kecil tentang majalah anak-anak yang dibelikan Mama untukku. 

"Kenzo, hidupmu sekarang berantakan, ya." Haris, teman sepermainanku bicara menertawakanku sembari mengisap rokoknya. Hari ini kami berdua berada di jalan sempit antara rumah-rumah sepi sambil menikmati barang kami.

"Berantakan, katamu?" Aku berdecih. "Aku melakukan apa yang memang aku inginkan, Haris. Terlihat kacau bukan berarti itu berantakan."

Ya. Sepuluh tahun berlalu semenjak adikku mati. Tapi aku tak menyesali apa yang telah kuperbuat sepuluh tahun belakangan ini.

Aku merilekskan tubuh. Menikmati udara malam yang merangsek masuk ke dalam kulitku, memberi terpaan dingin dan sejuk sekaligus. Udara bergerak semilir. Entah kenapa malam ini terlalu kencang hingga banyak dedaunan pohon rontok dan terbang di sekelilingku. Sebuah buku tipis yang agak kumal, ikut terbang dan beberapa menit baru kusadari keberadaannya berada di hadapanku. 

"Manusia yang Kehilangan Dunianya," bacaku pada judulnya, "Karya Anesya Roman."

Itulah momen terakhir, sebelum tiba-tiba perumahan sepi itu terdengar berisik akan langkah kaki berderap. Yang bisa kulihat adalah para polisi mendatangi aku dan Haris. Aku dan kawanku yang sedang bersamaan menikmati barang kami membatu di tempat, membiarkan mereka meringkus kami.

Kejadian itu berlangsung cepat. Kata 'hidup berantakan' yang dimaksud Haris berputar terus di kepalaku. Di mana sekarang kami berdua entah sejak kapan telah masuk penjara, atas kasus narkoba yang kami konsumsi. Buku kumal yang kutemukan masih kubawa ke dalam penjara dengan izin susah payah. Buku itu sangat menarik perhatianku. Isi buku itu mengingatkanku akan banyak hal.

"Hari ini ada kegiatan hiburan, lho. Khusus para narapidana. Katanya sih acara hiburan, tapi nggak tahu gimana konsepnya." Haris berceletuk santai, seolah dia sudah terbiasa berada di balik jeruji besi ini dan memiliki banyak informasi beserta pengalaman.

"Entahlah, aku nggak tertarik," elakku.

"Yakin?" Pertanyaan Haris membuatku sepenuhnya menoleh padanya. "Ada persembahan dari buku 'Manusia yang Kehilangan Dunianya'. Ternyata buku itu terkenal juga. Isinya emang beneran motivasi-motivasi gitu?"

Aku terkejut setengah mati. 

"Kamu nggak bohong, kan?" tanyaku refleks ke Haris, memberi tatapan bersemangat.

Apa yang kemudian menjadi kenyataannya membuktikan ucapan kawanku itu. Kami, beberapa narapidana berkumpul di satu ruangan untuk penceritaan ulang buku itu dalam tancap layar lebar video. Video itu diberikan beberapa gambaran ilustrasi. Sekiranya, video itu berdurasi sepuluh menit. Semua orang yang ada di situ menyaksikan dengan penuh perhatian.

'Manusia yang Kehilangan Dunianya', oleh Anesya Roman.

Kisah tentang remaja yang kehilangan rumahnya. Dia merasa hidupnya hampa. Saking hampanya, dia melakukan banyak kejahatan untuk mengisi kekosongan hatinya. Namun, semuanya berakhir sia-sia. Sebelum pada akhirnya, kematian merenggut hidupnya. Dia menderita darah tinggi. Di ujung kematiannya, bayangan memori menyenangkan terekam. Di mana di ujung kematiannya dia bisa tersenyum lagi setelah sekian lama usai mengingatnya. Di ujung kematiannya, dia justru menginginkan sesuatu.

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku mengikuti kata-kata yang kuhapal dan sama persis dengan yang ada di video, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Karena meski semuanya tak lagi berarti, meski aku tak lagi punya rumah, orang-orang yang dulunya kucintai pasti tak menginginkan aku hidup 'rusak' seperti saat ini.

Itu pelajaran yang kutangkap dari buku itu. Aku memang suka baca buku ketika kecil. Tapi kala menemukan buku kumal suatu hari di jalanan itu, aku tak menyangka akan begitu tertampar akan isi di dalamnya. Buku terbitan setahun lalu yang sepertinya tak sengaja terbuang oleh seseorang hingga aku menemukannya.

Sepuluh menit berlangsung. Hiburan yang lebih kusebut sebagai pelajaran itu berakhir. Tersisa credit siapa yang ikut serta dalam pembuatan video visual dari buku itu. Para narapidana yang menyaksikan mulai kembali ke penjara satu persatu. Hingga aku tak menyadari bahwa hanya aku yang tersisa di situ. Haris pun tak ada lagi di sana. 

Nyatanya, tancap layar lebar itu masih menampilkan video tambahan. Di akhir itu, menampakkan foto si penulis buku, yang membuat aku terhenyak betapa cantiknya Anesya Roman, penulis 'Manusia yang Kehilangan Dunianya.'

Di akhir, sebagai penutup sungguhan. Aku bisa melihat quotes yang dipaparkan.

"Dari hidup kita belajar, tentang memaafkan dan menerima segala keadaan. Tidak dengan menelan kenegatifan mentah-mentah dan melakukan tindakan tidak terpuji. Aku tahu kamu lelah. Ambil jeda sejenak, tapi bangkitlah lagi, sebab dunia suatu hari akan kembali cerah, dan rumahmu adalah tentang apa yang kamu pikirkan tentang hidupmu sendiri."

Aku tak benar-benar membaca quotes itu, seperti kebiasaanku mengikuti isi video sebab sungguhan hapal kata-katanya. Tapi aku sungguhan benar-benar mendengar ada seseorang yang merapalkan itu, bukan dari video. Bukan juga dari mulutku.

"Kata-kata yang bagus, bukan?" Suara seseorang menyapa telingaku. Detik kemudian, remaja muda cantik duduk di sebelahku. Mungkin dialah yang barusan merapalkan quotes itu. Aku seperti mengenalnya. 

Remaja itu ... Anesya Roman.

"I-iya bagus sekali!" balasku semangat  agak terbata. Sangat kaget kenapa penulis buku itu bisa ada di sini juga. 

"Kamu tahu? Aku datang ke sini karena salah satu penjaga penjara yang mengenalku memberitahuku ada narapidana yang begitu mengagumi bukuku. Aku jadi penasaran siapa dia, dan sedikit mengulik tentang hidupmu, penyebabmu masuk penjara juga. Namamu Kenzo, kan?"

Aku mengangguk. Penulis itu mulai bicara lagi.

"Katanya kamu kehilangan adikmu di usia empat belas tahun, ya? Aku turut berduka cita tentang itu. Ada kabar lagi bahwa Mamamu meninggal tak lama kemudian. Apakah dia sebegitu terlukanya karena anaknya meninggal? Lagi, Kenzo, apa yang kamu lakukan sampai mengonsumi narkoba? Kulihat dari tampilanmu kamu bukanlah anak nakal."

Aku terhenyak. Menyimak kata-kata  penulis muda tersebut dengan jelas. 

"Selain suka menulis, kamu juga suka mengulik hidup orang, ya," seruku menyindir, tapi dengan maksud bergurau, yang membuat perempuan muda itu tertawa kecil mendengarnya. "Aku suka bukumu. Karena aku rasa bisa ikut merasakan perasaan tokoh yang kehilangan rumahnya. Tentang aku yang mengonsumsi narkoba, lebih tepatnya aku ingin meredakan rasa pahit hatiku. Dengan narkoba itu, pikiranku bisa terbang ke mana-mana dan lukaku terasa terangkat meski sejenak. Sekarang aku jadi tak tahu bagaimana melegakannya usai masuk penjara, tapi bukumu membantuku banyak untuk sadar dan belajar."

Sang penulis menatapku baik-baik. Tatapannya tak seramah sebelumnya, sebab yang kulihat sekarang adalah mukanya yang kemerahan, dengan mata berkaca-kaca. Semenyedihkan itukah ceritaku barusan?

"Aku ke sini tidak untuk bertemu penggemar, Kenzo." Si penulis muda itu menatapku sedih, entah mengapa. "Aku ingin bertemu dengan kakakku yang hanya tahu adiknya sudah meninggal. Aku Yesa, Kakak. Sejujurnya aku ke sini setelah seseorang memberitahuku keberadaanmu. Selama ini kamu ke mana, Kak? Kudengar kamu tinggal tidak tahu arah. Tapi aku tak pernah menahu kamu terjerat kasus narkoba. Kudengar Mama meninggal. Kakak berhenti sekolah. Aku kembali ke rumah beberapa tahun setelahnya tapi tidak ada orang. Aku masih hidup, Kak. Mama atau bahkan orang-orang sekitar, berusaha menutupi keberadaanku sebab mereka merasa aku gila. Orang sekitar hanya tahu bahwa aku menggila sampai melukai diriku dengan menabrakkan diri di lemari kaca. Padahal Mama pelakunya. Kakak, kenapa Mama jahat sekali? Kenapa dia hanya sayang Kakak, padahal aku anak kandungnya sedangkan Kakak anak adopsi?

"Bertahun-tahun aku tenggelam dalam duniaku sendiri, Kak. Aku mengobati diriku sendiri, berjuang supaya bisa bicara jelas dan mampu berpikir layaknya manusia normal. Imajinasiku besar sampai aku bisa menjadi penulis terkenal. Anesya Roman hanya nama pena, tanpa arti berarti. Buku yang Kakak baca, sebetulnya kutulis untuk menggambarkan hidupku dalam bentuk lain, tapi aku tak menyangka Kakak akan merasakan hal serupa."

Aku tersentak bukan main. Jadi, selama ini, penulis yang kukagumi adalah ... adikku sendiri? 

Yesa, adik kesayanganku yang kurindukan melebihi apapun ... masih hidup? Tuhan, apa yang sesungguhnya sedang terjadi hari ini?

"Kalau begitu, Yesa. Biar kuberi tahu sesuatu." Aku terdiam sebentar, mengingat salah satu perbuatanku sepuluh tahun belakangan yang anehnya tak kusesali sama sekali. "Mama mati selang kejadian itu bukan karena sakit. Mama sama sekali tak menyesal telah melukaimu. Dia justru kian membencimu. Jadi karena aku tak tahan, aku membunuhnya, Yesa. Aku membunuhnya untukmu. Mama tidak mati karena stres. Aku yang melakukannya. Tidak ada yang tahu itu."

Penjabaranku kemudian gantian membuat Yesa tergugu di tempat. Aku hanya menangkap muka pucat pasinya. Entah sejak kapan dia mulai menangis.

"Aku merasa mengenali wajahmu, Yesa. Tapi aku sudah percaya adikku mati. Namamu pun berbeda. Adikku autis sehingga tak mungkin dia bisa berbicara jelas sepertimu. Jika memang benar kamu adikku, Yesa. Jika memang benar kamu telah kembali. Jika memang berarti pertemuan ini pula untukmu. 

"Aku ingin hidup lagi untuk mengulang semua memori baik ini," seruku yang diiringi Yesa sekaligus, "Atau setidaknya aku ingin lahir kembali untuk belajar hidup lebih baik dari apa yang telah terjadi." 

Setelah semua sisa masalah ini berakhir, aku dan Yesa akan tinggal bersama. Pasti. Untuk menjadi manusia yang tidak lagi kehilangan dunianya, untuk kembali percaya bahwa di masa depan, kami masih punya hidup benderang untuk dilalui dengan kebahagiaan. 


-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar