Sabtu, 29 Mei 2021

Behind The Flaw

Ditulis oleh: Shelma Atira


〰〰

"It's not our fault if we have flaws."

〰〰


"Lara, lo nggak papa?" Seorang cowok mendekati Lara yang tiba-tiba jatuh kala upacara sedang berlangsung. Lara tak mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya. Tetapi Lara hafal suara cowok yang baru saja menanyainya. Lara tak sanggup membuka mata. Dibiarkannya badannya dibopong oleh petugas Palang Merah Remaja (PMR) yang tengah berjaga.

Setelahnya, Lara tak tahu apa yang telah terjadi. Gadis itu hanya merasa badannya terbaring di suatu ruangan. Akhirnya, Lara tersadar. Dibukanya matanya, remang-remang ruangan terlihat. Cahaya masuk dari jendela bergorden di belakang ranjangnya.

"Hah, pingsan lagi?" gumam Lara sendiri. Gadis itu menatap langit kamar Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Gadis itu tak punya gangguan khusus. Tetapi dia memang rentan pusing jika berdiri lama di bawah terik matahari.

Lara mengedarkan pandangan. Ruangan UKS tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa siswa yang sama-sama lelah dan pusing terdiam di kursi maupun ranjang sekitar situ.

Tetapi, ada satu yang membuat Lara salah fokus.

Ada satu siswa lelaki yang sedang duduk di ranjang sebelah Lara. Lara hanya bisa melihat punggungnya. Ranjang Lara dan ranjang cowok itu ada di bagian terpojok, dan itu membuat Lara merinding sebab Lara dapat melihat betapa pucat dan putih tangan cowok sebelah ranjangnya terlihat. Cowok itu terdiam sambil membelakanginya, sepertinya tak sadar Lara memandanginya sedari tadi.

"Lo," Lara berujar pelan, yang dipanggil tidak merasa.

"Lo," seru Lara lagi, kemudian memberi pertanyaan jelas atas sesuatu yang memenuhi kepalanya saat ini. "Lo bukan hantu, kan?"

Si lelaki terdiam sejenak. Tetapi lantas perlahan menoleh ke arah Lara. Tatapan mereka sontak beradu. Di tempat, Lara sontak mengucek mata. Melihat cowok itu baik-baik.

"Gue bukan hantu," jawab cowok itu serak. Cowok itu cepat-cepat membalikkan badan lagi, justru kian membuat Lara penasaran.

Lara yang sebelumnya pusing, kini jadi bersemangat lagi. Cewek itu kembali sehat. Cepat, Lara bangkit, berjalan mendekati cowok yang duduk di tepian ranjang sebelahnya.

"Lo siapa?" tanya Lara ketika kini telah berada di hadapan cowok itu. Dilihatnya muka lelaki muda itu baik-baik. Alis tebal, bibir merah muda sedikit bengkak kebiruan, mata hitam sayu, kulit putih pucat. "Kok gue baru lihat lo di sekolah ini?"

Yang ditanya diam termenung, justru memalingkan muka.

"Hei, gue ngomong sama lo." Lara tak sabar menunggu jawaban cowok itu. Inisiatif, Lara mengulurkan tangan. "Kenalin, Armalara Dinesha. Lara."

Cowok itu hanya melirik Lara dengan ujung matanya, tak membalas jabatan tangan Lara.

Tetapi akhirnya cowok itu mengeluarkan suaranya. "Johan. Johan Nandana."

Lara mengembalikan uluran tangannya lagi karena tak mendapat respon jabatan dari Johan. Gadis itu meneguk ludah, lantas dengan lancang mengambil duduk di sebelah Johan. Cewek itu santai karena kondisi UKS yang tak begitu ramai membuat dia sedikit bebas.

"Lo suka pusing juga kayak gue setiap upacara?" tanya Lara. Cewek itu mengayun-ayunkan kakinya yang terbebas sebab ranjang UKS ini agak tinggi.

Johan menggeleng.

"Terus? Lo di UKS ini kenapa?"

Johan terdiam sejenak. Kini terlihat enggan menatap Lara seolah-olah tak menyukainya.

"Gue," jeda Johan, "Gue takut."

Lara mengerjapkan mata, tak mengerti. Kenapa Johan tak nyambung? Kenapa tiba-tiba bilang takut?

"Gue takut hidup," seru Johan memperjelas.

Lara mengernyit. Ditangkapnya raut Johan yang seketika cemas. Lara kian bingung.

"Maksudnya?" Lara menilik. "Kenapa? Kenapa takut hidup?"

"Karena hidup cuma baik ke orang-orang normal."

Lara dengan cepat paham maksud kata-kata Johan, yang dia tak paham ialah alasan Johan tiba-tiba berkata demikian.

"Karena gue nggak normal, Lara." Johan mengaku. Cowok itu kini berani menatap kedua mata hitam legam Lara. Dapat Lara lihat mata Johan berkaca-kaca.

Lara jadi merasa tidak enak. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba begini?

"Standar sosial kita itu tinggi. Semua orang yang terlihat tidak seperti umumnya dianggap berbeda. Mereka yang disabilitas, yang punya gangguan psikis, yang punya penyakit tertentu, yang punya kecacatan fisik."

Lara tak tahu ke mana arah pembicaraan tersebut, tapi dia berusaha mengikuti.

"Iya, Jo. Gue ngerti." Dalam hati Lara, dia ingin sekali menanyakan ketidaknormalan apa yang Johan alami, sebab walaupun kulitnya putih pucat, bibir kebiruan, cowok itu terlihat sehat dan normal saja. Lara juga masih penasaran alasan cowok ini berada di UKS. "Di sekitar gue, selama ini juga yang cakep yang diprioritasin. Perhatian guru cuma milik anak-anak pinter. Orang-orang berkekurangan sering dipandang sebelah mata, sering dihina bahkan dikerjain."

Lara tahu banyak kasus yang pernah ia baca. Dia ingat betapa sebuah kekurangan yang tak manusia sendiri itu minta, menjadi cela untuk orang lain menghakiminya.

"Tapi, Jo." Lara tampak berpikir-pikir. "Gue rasa nggak etis kalau kita ngelakuin perbandingan yang nggak adil. Hidup ini punyanya semua orang, yang nggak normal sekalipun. Pemikiran masyarakat aja yang suka mendiskriminasi bahwa kekurangan itu mala petaka. Perlu kita tekanin kalau semua orang itu normal, mereka yang nggak normal cuma diberkati hal yang beda aja. Tapi mereka tetep manusia, kan?"

Johan menaikkan alis tampak tertarik.

"Tapi gue heran kenapa perbandingan itu tega-teganya ngebuat orang ngerasa berhak nyakitin orang lain."

Lara mengangguk. Cewek itu kemudian tergelak. "Mungkin mereka yang kayak itu otaknya dongkol, kali. Kayaknya mereka yang nggak normal, soalnya kapasitas mikir mereka terbatas. Makanya nggak mau memahami orang lain."

Johan di sebelahnya tidak ikut tergelak. Tetapi dapat Lara lihat cowok itu memberikan senyum tipis.

Lara termenung sebentar. Johan juga demikian.

Lara kini memfokuskan tatapannya ke Johan lagi. Cewek itu penuh penasaran menanyakan hal yang mengganjal di kepalanya.

"Johan," panggil Lara. "Lo nggak perlu jawab kalau ini menyinggung. Gue mau tanya."

Johan tak memberi respon, tapi tampak menunggu apa yang hendak Lara pertanyakan.

"Lo kenapa sampe di UKS ini? Lo nggak normal kenapa?" Karena terdengar tidak masuk akal saja. Apa hubungannya tidak normal sampai masuk UKS. Maksud Lara, UKS itu tempatnya murid-murid sakit. Apakah hal yang tidak normal di Johan ialah penyakit? Tapi cowok itu sungguh tampak sehat.

Johan terdengar bergumam. Baru saja cowok itu hendak menjawab, suara lelaki dari balik punggung Lara terdengar. Otomatis memberhentikan seruan Johan berikutnya.

"Lara!" panggil seorang lelaki, menghampiri Lara yang terduduk di tepi ranjang.

Lara menoleh, di sana, dia dapat melihat cowok yang menolongnya ketika pingsan tadi. Lara mengenali suaranya.

"Eh? Ezra?"

Lara melempar senyuman, masih terduduk di tempatnya, memberi balasan atas panggilan Ezra.

"Ngobrol sama siapa, Lara?"

Lara hendak menjawab Ezra sambil menunjukkan teman barunya, Johan. Tetapi, kala Lara menengok ke arah sisi sebelahnya, tempat Johan tadi duduk di sana, Lara tak menemukan keberadaan Johan.

Johan... menghilang.

Lara meneguk ludah. Gadis itu turun dari ranjang. Mengamati UKS keseluruhan, dan masih tak menemukan Johan. Kapan cowok itu pergi?

Sadar, Lara spontan menanyakan Johan pada Ezra. Mungkin Ezra sebagai pengurus OSIS mengetahui siswa bernama Johan, atau sekadar mengetahui siapa saja murid baru yang baru saja masuk di sekolahnya.

"Ezra," panggil Lara. Cowok itu terlihat menilai Lara atas hingga bawah, memastikan kondisi Lara. Ezra merangkulnya, mengajaknya keluar UKS selagi upacara sudah berakhir. "Gue boleh tanya sesuatu?"

"Hm?"

"Anu." Lara tidak tahu harus mulai dari mana. "Ada anak baru, ya? Namanya Johan?"

Ezra yang kini tengah merangkul Lara sambil berjalan menuju kelas berhenti. Cowok itu menatap Lara tak terbaca.

"Anak baru?" Ezra mengernyit. "Nggak ada. Tapi, lo barusan bilang nama 'Johan'?

"Iya." Lara mengingat nama panjang cowok yang tadi diajaknya bicara di UKS. "Johan Nandana."

Muka Ezra mendadak kaku. Cowok itu teringat sesuatu.

"Temen-temen OSIS gue pernah saling cerita akan sesuatu. Dia pernah bahas kasus viral lama yang ada di sekolah ini. Kata dia, pernah ada murid cowok namanya Johan Nandana."

Muka Ezra semakin tampak tak enak. Cowok itu yakin tak yakin hendak cerita.

"Murid itu penderita penyakit langka Xeroderma Pigmentosum. Anti matahari. Tingkat sensitifnya dia kabarnya lagi tinggi-tingginya. Suatu hari, temen-temen cowoknya iseng bawa dia ke tengah lapangan depan pas terik-teriknya matahari, pas waktu istirahat dan tempat mereka beraksi sepi. Johan tak sadarkan diri. Dia meninggal di tempat."

Lara tertegun. Cewek itu bahkan tak tahu harus berkata apa untuk sekarang.

"Murid yang melakukan itu nggak dihukum karena di bawah umur. Mereka cuma dikeluarin. Kabarnya, selama Johan di sekolah, para pelaku itulahlah yang paling sering membuli dia. Tapi emang saat itu mereka keterlaluan banget sampe kayak gitu."

Lara tersekat. Napas cewek itu tertahan. Tampak tak percaya atas cerita Ezra.

Lara kaget mengetahui bahwa Johan, murid cowok yang ditemuinya di UKS tadi bukanlah manusia. Tetapi Lara jauh lebih tertegun atas apa yang terjadi pada cowok itu. Kini Lara tahu mengapa tadi mata cowok itu berkaca-kaca. Kini Lara tahu apa ketidaknormalan Johan. Kini semuanya masuk akal. Kini Lara paham.

Sementara itu, di tempatnya, Johan hanya menatap punggung Lara dari kejauhan.

Cowok itu tersenyum. Nasihat dan omongan Lara tadi di UKS membuat dirinya tersadar dan tergugah akan sesuatu.

Memiliki kekurangan hingga diperlakukan tidak adil bukanlah salahnya. Perbandingan sosial tak wajar tak perlu jadi cela kebenciannya karena lahir dengan kondisi demikian.

Kini Johan bisa pergi dengan tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar