Kamis, 10 Juni 2021

The Sorrow of Loss

Ditulis oleh: Shelma Atira


〰〰

"You can make grief a strength or a ruin, choose it."

〰〰


Hidup Kayana baik-baik saja. Setiap harinya dijalani dengan sekolah, mengerjakan tugas, bermain, pulang lantas tidur. Berulang lagi seperti itu keesokan harinya.


Tetapi, Kayana tak menyangka hari ini akan jadi hari yang berbeda. Hal itu berawal ketika Kayana iseng mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas. Seperti biasa, kawan-kawannya melakukan hal bermacam kala jam kosong ini. Ada yang bermain kartu remi di belakang--kartu yang dibawa diam-diam, ada kumpulan cewe yang bergunjing, ada geng khusus anak pecinta Korea, animasi Jepang, dan film Thailand. Ada cowok-cowok yang berkutat dengan game-nya sambil sesekali bicara kasar. Semuanya terlihat asyik masing-masing. Kayana sendiri sedang berkumpul di bagian anak-anak rajin yang tetap bergumul dengan buku padahal guru tak ada di kelas.

Kali ini tatapan Kayana jatuh ke Agra, cowok urakan nakal yang dari tadi masuk sekolah terlihat lesu di pojok kelas. Cowok aneh. Biasanya jam kosong seperti ini dia sudah keluar untuk merokok, merencanakan kegiatan tawuran, atau pergi ke kantin lantas tak kembali lagi.

"Lo kenapa?" Tanpa sadar, sembari memikirkan Agra, Kayana sudah berada di sisi meja cowok itu. Agra tampak menelungkupkan muka lesu. Kayana yang pedulian itu tak bisa menahan diri untuk rasa penasarannya akan Agra.

Agra tersadar. Tetapi cowok itu hanya melirik dengan ujung matanya.

"Bukannya lo paling suka bolos kelas? Atau sekalipun masuk, lo sering cabut ke luar kalau ada jam kosong. Kenapa?" tanya Kayana lagi.

Agra menyunggingkan senyum tipisnya. Kali ini dia menegakkan punggungnya pelan-pelan, lantas menoleh seratus persen, mendongak menatap Kayana yang berdiri dengan tatapan tak terbaca.

"Serius?" tanya Agra.

Kayana bingung. Cewek itu mengerjapkan mata. "Serius?" Pertanyaan balik macam apa itu? "Serius apa?"

"Serius...," jeda Agra sembari tersenyum tipis, "Serius, seorang Kayana yang rajin di saat jam kosong gini bukannya pacaran sama buku, malah nyamperin gue kayak sekarang?"

Kayana mendengus, tapi kemudian tertawa kecil. Cewek itu tanpa aba-aba mengambil duduk di kursi sebelah Agra yang kosong.

"Ke mana temen-temen lo?" tanya Kayana.

"Siapa?"

"Komplotan lo yang ada di kelas ini."

Agra tampak berpikir. Cowok itu terlihat serius tak serius menimpali Kayana. "Emangnya gue punya temen?"

Kayana menaikkan sebelah alisnya. Tak tahan, Kayana mengungkapkan kegelisahannya yang sedari lama dia simpan. "Gue merhatiin lo seminggu belakangan asal lo sadar itu."

Arga tampak tertarik. "Merhatiin gue? Wah." Arga tampak tak percaya. "Lo suka gue?"

Blak-blakan sekali, Arga. Mana yang cowok itu serukan salah, lagi. Untung saja sekelas ramai dan pada sibuk sendiri sehingga perbincangannya dengan Arga tak begitu mereka perhatikan.

"Ngehayal aja, lo sana!" Kayana spontan menjitak puncak depan kepala Agra. "Gue tuh beneran khawatir sama lo tahu, Agra. Seminggu belakangan, lo masuk kelas sendirian. Temen-temen lo bolos padahal. Satu sekolah hafal kebiasaan lo. Tahu kalau lo emang suka bertengkar. Tapi hari ini lo nggak sadar muka lo udah nggak ada bentukannya, terparah yang pernah gue lihat selama ini? Lucunya lagi, jam kosong seminggu belakangan lo bener-bener mendem jadi batu di kelas."

Agra tertegun mendengar satu persatu kata Kayana. Cowok itu justru tertawa kecil.

"Kenapa lo ketawa?"

Agra menggeleng. Tetapi kemudian cowok itu memberikan alasannya. "Lo pikir gue nggak tahu? Lo suka ngelirik gue diem-diem, iseng ngelewatin lorong bangku gue pas bersih-bersih, ngalihin perhatian guru setiap mereka marahin gue dan nanyain soal bolosnya komplotan gue yang bandel."

Kayana jadi gantian terdiam. Cewek itu hendak bertanya lebih lanjut, tapi tiba-tiba suara Nilam menginstrupsinya.

"Kay, udah waktu istirahat, nih. Ke kantin, yuk!" Sepihak, Nilam meraih pergelangan tangan Kayana dan menariknya ke luar kelas beriringan dengan beberapa teman rajinnya yang lain. "Lo, tuh jangan deket-deket sama Agra! Lo nggak takut lo bakal kenapa-napa?!"

Kayana menangkap kekhawatiran Nilam,  kawan sebangkunya yang menyadari Kayana menghilang dari bangku sisinya dan mendatangi Agra.

Semua berjalan seperti biasa kembali. Kayana menghabiskan makanan dan berbincang ria dengan Nilam serta beberapa kawan yang lain. Kayana juga berencana tak mendekati Agra lagi karena perkataan Nilam soal 'kenapa-napa' berhasil membuatnya bergidik.

Tetapi, tak disangka, siang ini Agra ikut gabung makan di meja khusus anak-anak rajinnya. Cowok itu terlihat santai. Kawan-kawan Kayana juga lantas tak berkutik.

Makan siang selesai. Kayana dan kawan-kawannya kembali ke kelas. Kayana mengikuti mereka di belakang. Tetapi, tiba-tiba ada sesuatu yang menarik pergelangan Kayana hingga cewek itu kini terbawa menjauh dari kawanannya.

Agra. Agra yang menariknya.

"Mau ke mana? Kelas udah mau dimulai lagi." Kayana bingung.

Agra dengan terburu membawanya keluar sekolah, menyuruhnya membonceng di belakang motornya. Kayana tak tahu ada apa. Cewek itu cenderung takut.

Agra memahami itu. Cowok itu lekas menjelaskan, "Gue mau ngasih jawaban ke lo. Gue juga bukan orang jahat. Lo percaya gue, kan?"

Kayana tak menjawab apa-apa. Semua berlangsung begitu cepat, dan di sinilah Kayana sekarang.

Di sebuah jalanan sepi, sekitar jalan dikelilingi semak dan pepohonan besar.

"Mana jawabannya?" Kayana menagih jawaban.

"Ya ini."

Kayana bingung. Di lihatnya keseluruhan  sekitarnya. Tapi kosong. Tak ada hal khusus.

"Oke. Langsung aja. Gue seniat ini bawa lo ke sini karena lo sebegitu khawatirnya ke gue."

Kayana menunggu kalimat selanjutnya terucap dari bibir Arga.

"Ibu gue sakit, Kay."

"Sakit? Terus kenapa lo bawa guenya ke sini, Ga?"

"Ya karena di sini semuanya terjadi." Arga mengembuskan napas pelan. "Di sini. Di sini, Ibu gue kecelakaan. Ada orang nggak bertanggung jawab yang setelah nabrak justru lari."

Kayana kaget. "Yaudah, sekarang kita ke rumah sakit aja jenguk Ibu lo, kalau gitu." Seruan Kayana spontan terucap, padahal harusnya dia jadi pendengar yang baik untuk Agra hingga ceritanya selesai.

Kayana menyadari ketermenungan Arga. Cowok itu menggeleng, justru membahas hal lain.

"Ibu gue udah meninggal, Kay."

Petir seakan menggetarkan hati Kayana. Apa yang baru Arga katakan seketika membuat bibirnya membisu.

"Tiga temen gue, mereka bolos demi sekarang cari pelaku itu."

Kayana lebih memikirkan apa yang sebaiknya dia katakan. "Maaf kalau gue terlalu lancang untuk tanya. Maaf kalau justru buat lo sedih."

Arga mengangguk. "Nggak papa, Kay. Gue jadi lebih baik pas tahu ada yang khawatirin gue. Makasih."

Kayana menunduk. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. "Terus muka lo? Kenapa jadi bonyok gitu hari ini?"

"Oh, ini." Arga tersenyum simpul sambil meraba-raba bekas luka di pipi, sudut bibirnya hingga ke bengkaknya matanya. "Gue ikut tawuran saking stresnya. Gue sedih, Kay. Gue sedih."

"Lo nggak perlu masuk sekolah kalau lo lagi nggak baik-baik aja."

"Justru karena apa yang udah terjadi, gue perlu masuk sekolah."

"Maksudnya, Ga?"

"Ibu gue meninggal. Gue merasa gue harus berubah. Gue pengen jadi anak yang baik buat dia, walaupun semua terlambat."

Kayana meneguk ludah. Tak disangka, Arga punya titik kesadaran itu.

"Ga. Jangan nyakitin diri lo sendiri lagi, ya cuma demi ngelampiasin rasa kehilangan lo." Kayana cepat-cepat menambahi alasannya. "Karena lo udah cukup. Sakitnya di hati aja, tapi fisik jangan. Kalau mau ngelampiasin, dengan nangis aja. Sepuasnya."

"Nggak bisa gue, Kay. Nggak bisa." Arga tampak sama kuatnya sedari dulu. Bahkan saat sedih seperti ini pun cowok itu berusaha tegar. "Gue bahkan nggak ngasih tahu seisi sekolah kalau Ibu gue meninggal karena gue benci dipandang orang-orang kasihan. Sekalipun gue nangis pas lagi sendirian, gue cuma ngebuktiin kalau gue kalah sama perasaan sedih gue sendiri."

Kayana ikut tercekat mendengar penjelasan Arga. Cewek itu cepat-cepat menggeleng. "Lo salah, Arga. Sedih bukan berarti lo kalah menghadapi itu. Kesedihan itu bentuk lo menghargai kehilangan itu sendiri. Bahwa sesuatu yang pergi itu terbukti pernah berharga buat lo. Pernah mendapatkan tempat yang nggak akan lo relakan untuk pergi."

Kayana menatap raut muka Arga yang sendu. Bibirnya bergetar.

"Arga. Lo pikir Ibu lo bakal seneng lihat lo justru bertengkar nyakitin fisik lo sendiri? Lo pikir Ibu lo seneng lo jadi hancur sendiri gini?" Kayana memahami situasi. "Lo boleh sedih, Arga. Tapi sedih juga ada batasnya. Kehilangan itu emang nggak pernah jadi sesuatu yang wajar buat kita, tapi hidup harus tetap berjalan. Lakuin apa yang masih bisa lo perbaiki. Balas dendam terbaik atas kehilangan adalah menjadikan kehilangan itu sendiri sebagai kekuatan buat lo maju. Bangun. Bangun, Arga. Jangan mau kalah. Kalau lo mau seisi dunia tahu seberapa tegarnya lo, tunjukin ke mereka dengan memperlihatkan bangkitnya lo pada apa yang seharusnya bikin lo hancur."

Kini, sayup-sayup isak tangis Arga terdengar. Tangisan anak petakilan yang biasanya terlihat dingin dan banyak gaya di hadapan orang. Cowok itu menumpahkan kesedihannya. Hati Kayana ikut bergetar. Entah kenapa, kini air mata juga sedikit demi sedikit mengucur dari pelupuk matanya.

"Jujur Arga, gue nggak pernah tahu ternyata di balik kelesuan lo seminggu belakang ternyata emang ada hal sehancur ini. Jujur juga gue nggak ngerti sepenuhnya apa yang lo rasain, tapi gue ngerti lo sangat terpukul akan itu."

Arga tak memberi balasan. Cowok itu sibuk berduka, napasnya tersengal. Tetapi setelah menyadari Kayana ikut menangis juga, cowok itu menoleh.

"Maaf buat bawa keluar salah satu anak rajin di kelas sembarangan, dan bikin dia ikut sedih kayak gini."

Kayana tersenyum kecil mendengarnya. Mukanya terlihat merah kontras sebab kulitnya putih, berbeda dengan kulit Arga yang lebih gelap.

Selama hidup Kayana yang datar, Kayana tak mengerti rasanya menjadi 'orang lain'. Hari ini, Kayana sempurna mengerti rasanya jadi Arga. Keluar sekolah di saat pelajaran akan dimulai. Melihat sisi hati lain Arga yang tak semua orang tahu.

Baru pertama kali ini, rasanya Kayana keluar dari zona nyaman walaupun mungkin ini untuk pertama dan terakhir, dan Kayana harus memikirkan cara mengatasi konsekuensi itu.

"Salah gue juga untuk nggak nolak. Tapi nggak papa, Ga." Kayana mengusap sisa air matanya, menghentikan kesedihannya. "Kesalahan yang anak rajin ini perbuat, nggak setimpal sama kesempatan ndengerin cerita si anak urakan dan ngerasain jadi dia."

Itu lebih mahal harganya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar